Kekuatan Diplomasi adalah merupakan salah satu dari 9 elemen kekuatan nasional (Morgenthau, 1948), yang kemudian diperjelas lagi bahwa keberadaan dari Diplomasi adalah sebagai satu mekanisme yang digunakan untuk kepentingan nasional dan perlindungan keamanan nasional (Fendreck, 2010). Diplomasi juga tidak bisa dilepaskan dari Perang Semesta, oleh karena dalam bentuk perang ini tidak saja menggunakan kekuatan Militer, tetapi juga memanfaatkan kekuatan Nir Militer (Abdi & Wijayanto, 2020). Bahkan kekuatan Diplomasi inilah yang kemudian menjadi pendukung dari keberhasilan Indonesia pada saat mempertahankan kemerdekaan dari upaya Belanda yang ingin menjajah kembali bumi Nusantara pada periode tahun 1945-1949 (Hassan, 1980).
Aplikasi dari kekuatan Diplomasi sangat tergantung kepada budaya, keistimewaan masing-masing individu dan juga sejarah dari negara tersebut. Dalam perang Jawa pengertian nasional diartikan sebagai pendukung dan kepentingan dari Pangeran Diponegoro untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Apabila dikatakan perang Jawa menggunakan Strategi Perang Semesta, maka tentunya Pangeran Diponegoro juga menggunakan kekuatan diplomasi untuk mencapai kepentingan yang diharapkannya.
Diplomasi yang dilakukan Pangeran Diponegoro yang paling utama adalah dalam rangka menggalang kekuatan untuk mendukung perang yang dilancarkan. Seperti yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte, untuk mendapatkan dukungan dalam upayanya untuk mempersatukan Eropa, beberapa kali melakukan negosiasi dengan negara-negara tetangganya sehingga pada awalnya Perancis berhasil meraih kemenangan (Driault, 1919; Markham, n.d.). Â Salah satu Diplomasi yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro, adalah melakukan serangkaian diplomasi dengan para tokoh agama, golongan priyayi dan juga rakyat kebanyakan.Â
Bentuk negosiasi yang dilakukan dengan para tokoh agama, salah satunya adalah Kyai Mojo, adalah menyampaikan bahwa nantinya akan didirikan pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam, sehingga hampir seluruh ulama yang memiliki banyak pengikut kemudian menyatakan jihad fisabillilah dan siap melakukan perang syahid (Carey, 2014). Sementara untuk menggalang dukungan dari para kaum priyayi, Diponegoro menyampaikan akan menghilangkan pengaruh Belanda dalam urusan internal Keraton Yogyakarta (Anderson, 2006).
Diplomasi yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro tidak saja dilakukan kepada pihak-pihak yang akan mendukungnya, tetapi juga ditujukan kepada pihak-pihak yang bermusuhan dengan dirinya. Diplomasi yang dilakukan pada saat perang berlangsung ini ditujukan untuk memperjelas kepentingan yang ingin dicapai, beberapa kali upaya negosiasi dilakukan oleh perwakilan atau dihadiri secara langsung oleh Pangeran Diponegoro. Salah satu Diplomasi yang dilakukan dengan pihak Belanda, yang diwakili oleh Kyai Mojo pada bulan Agustus 1827 di Klaten, Pangeran Diponegoro menyampaikan serangkaian tuntutan yang dinilai terlalu berat untuk dapat dinegosiasikan dan disetujui oleh pihak Belanda (Djaelani, 1999). Dari beberapa kali Diplomasi yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro, tidak ada satupun yang berhasil mencapai kesepakatan.
Pangeran Diponegoro sangat menyadari bahwa kekuatan Diplomasi sangat penting untuk keberlangsungan perang yang diselenggarakan, terutama dalam melakukan negosiasi ataupun membangun image atas perjuangan yang dilakukan. Bahkan ada banyak persepsi yang kemudian mengkaitkan Perang Jawa dengan kekhalifahan Islam yang dikampanyekan oleh Bani Usmaniyah di Turki (Carey, 2011), ataupun mengkaitkan dirinya dengan bangkitnya Ratu Adil (Carey, 1976). Kepercayaan terhadap diplomasi inilah yang kemudian menjadikan dirinya ditangkap dan kemudian ditawan oleh Belanda pada saat menghadiri perundingan yang dilakukan di Karesidenan Kedu (Wahyuni, 2017).
Referensi
Abdi, R. N., & Wijayanto, J. (2020). Aspek Diplomasi, Strategi Pertahanan Semesta, dan Irregular Warfare dalam Penanganan Gerakan Disintegrasi di Indonesia. Mimbar Agama Budaya, 37(1), 8--12.
Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism (Revised). Verso.
Carey, P. (2011). Revolutionary Europe and the Destruction of Java'S Old Order, 1808-1830. Historia: International Journal of History Education, 12(2), 296--317. https://doi.org/10.17509/historia.v12i2.12107
Carey, P. (2014). Destiny: The Life of Prince Diponegoro of Yogyakarta (1785-1855) (P. Lang (ed.)). Oxford University Press.