Mohon tunggu...
adwin kurniawan
adwin kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Student

Reading

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sri Sultan Hamengku Buwono X: Pemimpin Simbolis dan Politis

27 September 2023   22:49 Diperbarui: 28 September 2023   07:15 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deklarasi Ciganjur, November 1998 (Repro buku Gerak dan Langkah) | Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id

“Koalisi adalah alat untuk mempraktekan kekuasaan” (Bolman & Deal 2017, 184)

“Sebuah koalisi terbentuk karena anggota-anggotanya saling membutuhkan. Meskipun kepentingan-kepentingan mereka mungkin saja saling tumpang tindih” (Bolman & Deal 2017,  185)

Namun Indonesia waktu itu memiliki banyak sekali pemimpin-pemimpin dengan organisasi yang beragam di kancah nasional. Sri Sultan HB X juga menjadi salah satu tokoh penting dalam deklarasi Ciganjur, dimana beliau dilihat sebagai tokoh yang membawa kepentingan sosial dan kultural di Indonesia. Deklarasi tersebut menjadi salah satu komitmen penting bagaimana semangat reformasi 98 tidak akan melibatkan unsur Orde Baru. Sebagai pemimpin kultural sekaligus politik, Sri Sultan HB X melibatkan diri dalam sebuah proses politik dan koalisi dengan sejumlah tokoh penting lainnya: Megawati dengan PDI, Gus Dur dengan NU dan Amin Rais.

Setidaknya reformasi 98 telah menunjukan bagaimana kepemimpinan politis Sri Sultan HB X telah sukses merangkul lautan manusia dan membangun konsolidasi dengan elit-elit. 

“Aktifitas politik lebih terlihat dan dominan didalam kondisi yang beragam dibandingkan dalam kondisi yang seragam. Kesepakatan dan harmoni lebih mudah dicapai ketika setiap orang berbagi nilai, kepercayaan dan pandangan kultural” (Bolman & Deal 2017, 185)

Masa-masa awal Orde Reformasi menjadi bukti bahwa Megawati, Gus Dur dan Amien Rais berhasil memegang kekuasaan di Jakarta. Sementara itu Sri Sultan HB X kembali ke Yogyakarta. Sri Sultan HB X harus mengemban tugas sebagai raja Jawa, namun dinamika sejarah Indonesia justru menjadi alur utama, yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung keberlangsungan kepemimpinan keraton Yogyakarta Hadiningrat. Justru melalui dinamika multidimensi seperti inilah kepemimpinan raja Jawa harus melangkah secara luwes dan adaptif dalam mengemban dan memangku semangat zaman.

Daftar Pustaka

Bolman, L., & T, Deal. (2017). Reframing Organizations, 6th edition. Jossey-Bass.

Endraswara, S. (2013). Falsafah Kepemimpinan Jawa. Narasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun