Mohon tunggu...
Efendik Kurniawan
Efendik Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Publish or Perish

Pengamat Hukum email : efendikkurniawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyoal Sanksi Kebiri dari Perspektif Filsafat Pemidanaan

5 November 2022   04:05 Diperbarui: 5 November 2022   04:22 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemerintah telah mengesahkan PP yang mengatur pelaksanaan 'sanksi kebiri'. Dilihat pada konsideransnya PP ini merupakan peraturan pelaksana dari UU 17/2016 yang telah mengubah jenis dan bentuk sanksi dalam UU Perlindungan Anak.

Pada pokoknya, perubahan yang dilakukan oleh kebijakan legislasi yakni menambahkan jenis sanksi tindakan dengan macam bentuk sanksi berupa 'kebiri kimia' dan 'pemasangan alat pendeteksi elektronik'. Tetapi, dilihat dari persepektif teori dan filsafat pemidanaan. Tepatkah 'bentuk sanksi' tersebut, masuk dalam 'jenis sanksi' tindakan yang lebih mempunyai tujuan merehabilitasi?

Konsep jenis sanksi tindakan dan sanksi pidana yang dijadikan satu dalam hukum positif merupakan perwujudan dari ide dasar Double Track System. M. Sholehuddin dalam disertasinya pada pokoknya menyatakan bahwa konsep ini diibaratkan dua rel kereta api yang sejajar demi satu tujuan, yakni antara sanksi pidana (straf) dan sanksi tindakan (maatregel), kedudukannya setara, tidak ada yang diprimadonakan, atau tidak boleh tumpang tindih demi tujuan pemidanaan yang hendak dicapai.

Sebelum menganalisis pada pokok permasalahan itu, kita harus mengetahui latar belakang pemerintah yang mengesahkan undang-undang ini pada tahun 2016 silam. Salah satunya adalah kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat, serta mengancam peran strategis anak sebagai generasi penerus masa depan bangsa. Pada pertimbangan sosiologis itu, ditambahkan juga bahwa pemerintah berkeyakinan untuk 'memperberat sanksi pidana dan memberikan tindakan'. Di situ terdapat kata 'dan' artinya, antara sanksi pidana dan sanksi tindakan harus diterapkan secara 'kumulatif'. Pertimbangan politik hukum yang dilakukan oleh Pemerintah juga mutatis mutandis dengan kebijakan formulasi norma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (8) yang menyatakan bahwa penjatuhan sanksi tindakan itu, diputuskan 'bersama-sama dengan pidana pokok'. Dengan kata lain, penerapan sanksi kebiri kimia yang digolongkan termasuk sanksi tindakan, jika dilihat dari teori dan filsafat pemidanaan, maka tidak tepat. Karena ia (kebiri kimia) lebih bersifat menderitakan dari pada merehabilitasi kembali pelaku.

Melihat pada kebijakan formulasi sanksi pidana seperti itu, artinya implementasi antara sanksi pidana (pokok) dengan sanksi tindakan harus dilakukan secara bersama-sama, tidak bisa dipilih salah satu sebagai alternatif. Pada titik inilah yang bisa menimbulkan persoalan. Seseorang dikenai 'double sanction' terhadap kejahatan yang dilakukannya. Terdapat adagium yang juga menyatakan bahwa 'budaya bangsa dapat dilihat dari budaya hukumnya, khususnya pada penerapan sanksi pidananya'.  Apakah bangsa kita 'biadab' atau 'beradab' dilihat dari sistem sanksi hukum pidananya.

Persoalan sanksi hukum pidana, dari masa ke masa terus menjadi perhatian, karena pada titik itulah, terjadi sebuah 'pergulatan kemanusiaan'. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bebas. Kebebasan merupakan ungkapan martabat manusia. Ya, hakikatnya suatu kebebasan terletak pada kemampuan eksistensial manusia untuk menentukan diri sendiri. Dari asumsi ini perlu adanya hukum yang mengatur masyarakat atas kebebasannya itu, supaya tercipta suasana perdamaian, ketentraman, dan menghilangkan rasa ketakutan. Semua  ini adalah tugas dari negara, begitu konteks pemikiran Spinoza, peralihan dari status naturalis ke status civilis. Dari sini penulis akan mencoba menjabarkan terhadap sanksi alternatif yang dapat dijadikan hukum positif terhadap sanksi apa yang baik, pantas untuk para pelaku ini. Hakikatnya manusia ialah makhluk yang baik, makhluk yang sempurna. Atau pendek kata,  kodrati manusia ialah das Bild Gotes(Hidup berprinsip moral dan berkeadilan).

Terhadap pemikiran penulis ini, asumsi sementara penulis menyatakan bahwa 'sanksi kebiri kimia' tidaklah etis jika diberikan kepada seorang manusia, karena kebiri kimia merupakan 'kekerasan yang di legal-formalkan'. Jika ini terjadi, maka ini bukan hukum yang sesungguhnya. Mengapa demikian? Jawabnya, tak bermakna sebuah hukum positif jika konsepnya bertentangan dengan hukum kodrat. Karena sebuah peraturan itu tidak hanya sebuah pasal yang hitam-putih saja, melainkan ada kaidahnya. Ya, ada roh hukumnya. menurut Thomas Aquinas, hukum kodrat ajaran yang berkaitan erat dengan sebuah aktivitas moral. Karena hukum yang tidak berlandaskan dari konsep-konsep hukum kodrat, maka itu bukan hukum yang baik bagi masyarakat, baik dalam artian hidup secara bermoral dan bertika.

Tetapi, kejahatan seksual terhadap anak juga tidak bisa ditoleansi. Harus difikirkan bersama-sama sampai pada pemikiran 'apa penyebab meningkatnya kejahatan ini'. Apakah dengan menerapkan sanksi yang sangat berat, akan sedikit mengurangi frekuensi kejahatan ini? Menginta, jika memberantas, akan sangat sulit. Kejahatan akan tetap ada selama manusia ada di dunia ini.

Banyak dorongan dari masyarakat untuk segera mengeluarkan peraturan pelaksana dari sanksi kebiri kimia ini, supaya dapat memberikan rasa jera. Ya, sanksi kebiri kimia itu yang diinginkan banyak orang. Penulis tidak sependapat, karena faktor pencegahan (deterrence) dari masyarakat supaya tidak melanggar hukum tidak hanya berfokus pada ancaman sanksi, tetapi ada faktor lain supaya masyarakat taat pada hukum. Faktor individu akan menaati hukum, lebih sering dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Jangan ada kesempatan pada lingkungan sekitar. Kewasapadaan orang tua dan orang-orang sekitar yang baik lebih diutamakan.

Tetapi, bagaimana jika perbuatan melanggar hukum ini sudah terjadi, beranjak dari sebuah moralitas, setidaknya ada usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal, yakni untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal, dengan pertimbangan individu-individu, ya termasuk individu yang terkena oleh tindakan tersebut.

Dari peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi, sebelum pelaku melakukan kejahatan seksual itu, pelaku seringkali dalam melakukan perbuatan cabulnya dipengaruhi oleh minum-minuman keras dan video porno. Dengan demikian, akal tidak dapat bekerja dengan semestinya. Jadi, faktor penyebab ini yang harus segera diatur lebih ketat, karena kebanyakan mendatangkan mudharat. Harus ada sanksi alternatif yang dapat dikenakan kepada pelaku. Sesungguhnya hukum positif sudah mengaturnya, tetapi perlu ada pemikiran progresif disini, yakni menggunakan kebijakan non-hukum pidana (non penal policy). Mengapa demikian? Karena terhadap perbuatan cabul, menurut penulis, moralnya sedang sakit, maka itu butuh lingkungan-lingkungan yang menyadarkan moralnya. Ya, pondok pesantren ialah tempat yang layak, karena disana moral agama diajarkan secara penuh. Jadwal padat akan sebuah ilmu-ilmu agama, menjaga etika dengan manusia lainnya. Hal ini bertujuan supaya seketika kembali ke masyarakat, manusia ini kembali ke kodratnya, sebagai manusia yang baik dan berprinsip moral. Perlu menjadi perhatian terhadap pemerintah sebuah gagasan ini, supaya wajah penegakan hukum pidana lebih bernurani.

Pelaku Anak

Pemikiran seorang anak belum bisa sempurna, belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, apalagi jika berkonflik dengan hukum. Jika anak berkonflik dengan hukum, maka hal ini perlakuannya berbeda dengan orang dewasa, yaitu di UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.  Mengapa hal ini dibedakan? Jawabnya, memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak tersebut yang mempunyai masa depan yang masih panjang, serta memberi kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri,bertanggung jawab, dan berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara (2006:23). Faktor-faktor yang mempengaruhi anak menjadi anak nakal, yang dahulunya baik ialah pertama Teori Asosiasi Diferensi Sosial, asumsinya perilaku kejahatan identik dengan perilaku non kejahatan, sebab keduanya merupakan sesuatu yang dipelajari. Kedua, Teori Kontrol Sosial, asumsinya individu di masyarakat mempunyai kecenderungan perilaku yang sama.

Karena perilaku baik dan perilaku jahat bergantung pada lingkungan tersebut (2006:42). Beranjak dari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku anak nakal ini, sangat keliru, jika sanksi yang dikenakan kepada anak ini sanksi pidana penjara, lebih lagi lapasnya satu tempat dengan lapas dewasa. Karena yang sudah penulis sampaikan diatas tadi, bahwa anak itu masih mempunyai masa depan, karena perilaku nakal ini, mari kita sama-sama berusaha memperbaiki dari sisi moralitasnya. Sanksi tindakan (treatment) ialah sanksi yang baik dan layak diberikan kepada anak, bukan sanksi pidana penjara.

Dalam bentuk sanksi tindakan ini ialah dalam bentuk pembinaan di pondok pesantren selama hukuman yang divoniskan, jadi anak tidak menjalani dalam bentuk sanksi pidana penjara, tetapi sanksi tindakan yaitu dalam bentuk pengawasan selama tinggal di pondok pesantren. Tetapi di dalam UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ada pengecualian, jika anak belun berumur 14 tahun, maka hanya dikenakan sanksi tindakan. Tapi penulis berpendapat lain, sebelum anak berumur 18 tahun, sanksi tindakan diterapkan. Ya, dengan sanksi hidup di pondok pesantren dengan putusan hakim tetap untuk berapa lamanya. Jadwal padat dari pondok pesantren dengan ilmu-ilmu agama, diharapkan mampu merubah moralitas anak nakal ini, supaya seketika kembali ke masyarakat dapat kembali menata masa depannya dengan baik dan hidup berprinsip moral.

Keadilan bagi Korban

Paparan diatas sudah menjabarkan sanksi alternatif bagi pelaku, sekarang keadilan korban. Jika korban masih hidup dan masih trauma, maka dari pihak keluarga pelaku bertanggung jawab untuk memulihkan keadaan psikologis korban. Dan jika korban sudah meninggal maka keluarga pelaku melakukan mediasi dengan keluarga korban. Ya, dengan membayar denda, tetapi hal ini harus ada kepala adat dan/atau kepala desa sebagai mediator. Dalam hal ini delik adat yang menjadi hukum sebagai cita-cita tentang keadilan ( idea of justice ) di dalam prinsip delik adat tidak mengenal 'ne bis in idem', selama ketentraman warga masih terasa terganggu, terusik, maka sanksi adat masih bisa diberikan. Meskipun pelaku sudah di berikan sanksi menurut hukum positif.

Penutup

Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis ingin menerapkan teori pemidanaan gabungan (integratif). Di dalam penerapan sanksi, tidak boleh hanya memuat makna pembalasan semata, tetapi dari apa yang perlu dan cukup demi ketertiban masyarakat. Sanksi juga tidak boleh memuat apa yang lebih berat dari perbuatan yang dilakukan terpidana. Pemikiran progresifnya ialah sebuah alternatif yang dapat dilakukan dari apa yang ada di hukum positif, yaitu memanfaatkan Pondok Pesantren sebagai tempat untuk memperbaiki moral-moral para pelaku tindak pidana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun