Mohon tunggu...
Efendik Kurniawan
Efendik Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Publish or Perish

Pengamat Hukum email : efendikkurniawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyoal Sanksi Kebiri dari Perspektif Filsafat Pemidanaan

5 November 2022   04:05 Diperbarui: 5 November 2022   04:22 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pelaku Anak

Pemikiran seorang anak belum bisa sempurna, belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, apalagi jika berkonflik dengan hukum. Jika anak berkonflik dengan hukum, maka hal ini perlakuannya berbeda dengan orang dewasa, yaitu di UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.  Mengapa hal ini dibedakan? Jawabnya, memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak tersebut yang mempunyai masa depan yang masih panjang, serta memberi kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri,bertanggung jawab, dan berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara (2006:23). Faktor-faktor yang mempengaruhi anak menjadi anak nakal, yang dahulunya baik ialah pertama Teori Asosiasi Diferensi Sosial, asumsinya perilaku kejahatan identik dengan perilaku non kejahatan, sebab keduanya merupakan sesuatu yang dipelajari. Kedua, Teori Kontrol Sosial, asumsinya individu di masyarakat mempunyai kecenderungan perilaku yang sama.

Karena perilaku baik dan perilaku jahat bergantung pada lingkungan tersebut (2006:42). Beranjak dari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku anak nakal ini, sangat keliru, jika sanksi yang dikenakan kepada anak ini sanksi pidana penjara, lebih lagi lapasnya satu tempat dengan lapas dewasa. Karena yang sudah penulis sampaikan diatas tadi, bahwa anak itu masih mempunyai masa depan, karena perilaku nakal ini, mari kita sama-sama berusaha memperbaiki dari sisi moralitasnya. Sanksi tindakan (treatment) ialah sanksi yang baik dan layak diberikan kepada anak, bukan sanksi pidana penjara.

Dalam bentuk sanksi tindakan ini ialah dalam bentuk pembinaan di pondok pesantren selama hukuman yang divoniskan, jadi anak tidak menjalani dalam bentuk sanksi pidana penjara, tetapi sanksi tindakan yaitu dalam bentuk pengawasan selama tinggal di pondok pesantren. Tetapi di dalam UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ada pengecualian, jika anak belun berumur 14 tahun, maka hanya dikenakan sanksi tindakan. Tapi penulis berpendapat lain, sebelum anak berumur 18 tahun, sanksi tindakan diterapkan. Ya, dengan sanksi hidup di pondok pesantren dengan putusan hakim tetap untuk berapa lamanya. Jadwal padat dari pondok pesantren dengan ilmu-ilmu agama, diharapkan mampu merubah moralitas anak nakal ini, supaya seketika kembali ke masyarakat dapat kembali menata masa depannya dengan baik dan hidup berprinsip moral.

Keadilan bagi Korban

Paparan diatas sudah menjabarkan sanksi alternatif bagi pelaku, sekarang keadilan korban. Jika korban masih hidup dan masih trauma, maka dari pihak keluarga pelaku bertanggung jawab untuk memulihkan keadaan psikologis korban. Dan jika korban sudah meninggal maka keluarga pelaku melakukan mediasi dengan keluarga korban. Ya, dengan membayar denda, tetapi hal ini harus ada kepala adat dan/atau kepala desa sebagai mediator. Dalam hal ini delik adat yang menjadi hukum sebagai cita-cita tentang keadilan ( idea of justice ) di dalam prinsip delik adat tidak mengenal 'ne bis in idem', selama ketentraman warga masih terasa terganggu, terusik, maka sanksi adat masih bisa diberikan. Meskipun pelaku sudah di berikan sanksi menurut hukum positif.

Penutup

Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis ingin menerapkan teori pemidanaan gabungan (integratif). Di dalam penerapan sanksi, tidak boleh hanya memuat makna pembalasan semata, tetapi dari apa yang perlu dan cukup demi ketertiban masyarakat. Sanksi juga tidak boleh memuat apa yang lebih berat dari perbuatan yang dilakukan terpidana. Pemikiran progresifnya ialah sebuah alternatif yang dapat dilakukan dari apa yang ada di hukum positif, yaitu memanfaatkan Pondok Pesantren sebagai tempat untuk memperbaiki moral-moral para pelaku tindak pidana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun