Atas penjelasan di atas, apabila Kapolri ingin serius menumbuhkan kembali kepercayaan publik, maka tidak cukup hanya dengan menegakkan kode etik kepada anggota-anggotanya yang melakukan pelanggaran itu atau melarang dengan gaya hidup hedonisme, melarang suap/pungli, dan bersikap profesional. Namun, lebih pada merubah pola fikir dan moralitas dari semua anggota Polri, baik pada pelayanan hukum (legal service) pada bidang administrasi seperti pembuatan SKCK atau SIM, serta pada penegakan hukum (hukum pidana) yang menjadi perhatian lebih. Mengingat, pada Unit Reserse ini yang sering menjadi perhatian masyarakat dalam profesionalisme penyelesaian perkara. Anggota Polri seharusnya berani untuk mengatakan "tidak" pada "suap atau pemberian hadiah", apabila ada pihak-pihak yang hendak memberikan itu. Meskipun, itu hanya sebagai "ucapan terima kasih". Apabila budaya ini sudah menjadi kebiasaan di dalam pelayanan hukum atau penegakan hukum, maka secara mutatis mutandis, kepercayaan publik akan tumbuh baik pada Polri. Saya yakin itu! Dengan demikian, perilaku Polri tidak cukup apabila hanya berpedoman pada kode etik, tetapi juga berpedoman pada nilai-nilai etika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H