Berbicara tentang politik maka berbicara pula tentang ketimpangan yang terjadi terhadap perempuan, khususunya di Indonesia. Hal ini didasari oleh faktor pembedaan dan bias gender yang terjadi terhadap perempuan, terutama dalam berperan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Quraish shihab dalam bukunya yang berjudul "perempuan", peranan perempuan sebagai pembentuk watak atau pendidik bukan berarti dia tidak memiliki peranan yang lain atau tidak boleh bekerja. Pemikiran yang bertolak belakang dengan perkataan tersebut sering kali terdengar dan mengakibatkan terbentuknya pola pikir yang membatasi peran perempuan dalam mendorong perubahan.
Salah satu peran perempuan yang menjadi permasalahan dan perdebatan dimasyarakat adalah peranannya dalam berpolitik. Dimana perempuan dianggap sebagai kaum yang tidak layak menjadi seorang politisi. Banyak dalih yang ditafsirkan oleh orang-orang yang menentang adanya hak perempuan. Hal itu terjadi karena dinilai sebagai penghalang mereka dalam berkarir dan menyandang haknya. Namun nyatanya tidak ditemukan dasar yang kuat dalam penafsiran tersebut. Justru ditemukannya banyak dalil keagamaan yang sah untuk dijadikan dasar dalam mendukung hak-hak perempuan dalam berpolitik.
Secara harfiah diakui bahwa di masa lalu para pemikir dan ulama tidak membenarkan perempuan menduduki suatu jabatan terkhususnya menjadi seorang pemimpin disuatu instansi atau sejenisnya. Tetapi hal itu terjadi karena situasi dan kondisi para perempuan sendiri yang belum siap untuk memimpin. Jika dibandingkan dengan era modern seperti saat ini, perempuan perlu dan berhak memiliki citra dan cita sebagai seorang politisi. Sehingga perempuan dapat mengasah kemampuan dalam belajar dan meningkatkan kualitas dirinya. Dan jika hal tersebut dapat diraih maka perempuan akan memiliki dua hal terbaik yaitu perasaan halus yang dapat menyentuh kalbu dan argumentasi kuat yang menyentuh nalar.
Dalam UUD 1945 secara jelas tidak ditemukan adanya larangan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam segala bidang, terkhususnya dalam berpolitik. Beberapa pasal yang terkait dengan persoalan hak asasi pun tidak pernah ditemui perkataan atau pernyataan yang membedakan gender seseorang, tetapi istilah yang digunakan ialah warga negara. Dijelaskan dalam pasal 27 UUD 1945 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapat pekerjaan yang layak serta memiliki kedudukan yang setara di hadapan hukum. Begitu juga tentang persyaratan menjadi presiden, tidak dicantumkan secara spesifik syarat yang membatasi hak perempuan untuk menjadi pemimpin. Hal tersebut dijelaskan dalam pasal 6 ayat 1 UUD 1945 bahwa presiden ialah warga negara Indonesia. Pasal tersebut mengandung dua ketentuan yang bersifat umum. Pertama, perempuan diperbolehkan menjadi presiden atau pemimpin politik dan kedua, kedudukan perempuan dan lelaki adalah setara di hadapan undang-undang.
Salah satu cara untuk meningkatkan peran perempuan dalam partisipasi politik yaitu dengan adanya kebijakan khusus atau disebut dengan affirmative action. Tujuan dari affirmative action ini adalah peningkatan peran perempuan dalam berpolitik dan tercapainya kesetaraan gender dalam semua tingkat. Tuntutan tersebut semakin meluas ketika dalam pemilu pertama di era reformasi pada tahun 1999 menghasilkan persentase perempuan yang duduk di parlemen lebih rendah dibandingkan dengan pemilu 1997 pada era otoritarianisme Orde Baru. Namun saat ini persentase tersebut perlahan mulai mengalami kenaikan dan memberikan warna tersendiri dalam perjalanan politik di Indonesia. Meskipun ketimpangan gender tetap saja menjadi isu yang berkembang dan tak luput diperbincangkan di masyarakat.
Keterlibatan perempuan dalam berpolitik akan sangat berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap upaya pengembangan dimasyarakat terkhususnya pemberdayaan perempuan. Jika tingkat partisipasi politik masyarakat terutama perempuan mengalami penurunan, maka akan ada indikasi yang menyatakan bahwa pelaksanaan demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia memberikan tanda yang kurang baik dan tidak berhasil membuat persentase perempuan dalam berpolitik menjadi semakin meningkat. Hal tersebut bisa dinyatakan sebagai ketidakberhasilan suatu negara dan dapat merugikan bangsa dan negara.
Sehingga ditegaskan bahwa politik di Indonesia memerlukan peran perempuan bukan sebagai saingan atau lawan namun menjadikan kawan dalam membangun dan merealisasikan pembaharuan. Citra dan cita perempuan merupakan suatu hak yang perlu dibebaskan dan tidak dibatasi oleh ketimpangan gender. Indonesia bukan lagi negara yang akan terus memikirkan dan mempermasalahkan perbedaan gender. Indonesia butuh kolaborasi tanpa diskrimanasi terhadap setiap perbedaan. Dan kebebasan perempuan dalam berperan merupakan keharusan yang tidak patut untuk dibatasi dari pihak manapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H