Mohon tunggu...
kurnianto purnama
kurnianto purnama Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara

Pendiri Law Office KURNIANTO PURNAMA , SH, MH. & PARTNERS, Jakarta since 1990.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nyonya LIM

16 September 2022   15:57 Diperbarui: 16 September 2022   16:13 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hore....Hore....Hore....aku lulus ! aku lulus! aku lulus !"

Sorak siswa-siswi  SMA ku di Kota Palembang pada suatu hari yang cerah, pada awal tahun dua ribu. Begitu juga aku, setelah membaca pengumuman kelulusan SMA. Aku pun ikut bersorak:

"Aku lulus....aku lulus ....aku lulus...." Bersorak sambil melompat-lompat senang.

Namaku Eva Salma, seorang gadis kelahiran di Pulau Sumatera pada awal tahun sembilan belas delapan puluhan. Aku dilahirkan sebagai seorang gadis biasa saja, agak pendiam dan penurut. Teman-teman sekolah memanggilku "Eva".

Seusai saling semprot baju masing-masing dengan cat pilok warna-warni, lalu kami konvoi naik motor di seputar jalan-jalan SMA kami dengan girang yang tak terbilang.

Inilah saat-saat yang sangat menyenangkan bagi semua siswa-siswi  yang lulus pada waktu itu. Termasuk aku.

Menjelang magrip, aku pun pulang dengan sepeda motorku, dengan seorang teman yang sama-sama lulus SMA di belakang. Melewati jalan aspal, sepanjang jalan ini rindang, karena tumbuh pohon-pohon dukuh dan pohon-pohon durian di kiri-kanan jalan.

Tatkala di tikungan jalan, tiba-tiba datang sebuah truk dari depan yang bermuatan penuh batu batu. Musibah pun tak terelakan. Sepeda motorku bertabrakan dengan truk ini.

"Praaak....praaak" kecelakaan dan musibah pun terjadi.

Aku terjatuh dan telungkup di tengah aspal jalan. Pada saat telungkup ini, aku tidak merasa sakit, yang terasa hanyalah panas di wajahku. Ketika aku hendak bangun, dan membuka mata, ternyata banyak darah mengalir di pipiku.

Ketika  melihat darah begitu banyak, badanku menjadi lemas. Lalu mata ku terasa sakit. Akhirnya aku baru sadar bahwa darah yang mengalir ini adalah darah dari mata kananku.

Bukan hanya mata kananku yang luka, namun wajahku pun penuh luka, satu gigi patah dan tangan kiriku patah juga.  Salah satu kaki temanku juga patah.

Tak lama datang sebuah mobil ambulance, lalu aku dibawa ke sebuah rumah sakit terdekat. Namun, rumah sakit ini tidak bisa menerimaku, karena peralatan medisnya tidak memadai. Lalu aku dibawa ke sebuah sakit lain di Kota Palembang juga.  

Dokter bilang padaku:

"Eva, mata kananmu lukanya sangat serius, sehingga tidak dapat kami selamatkan. Mata bola kananmu terpaksa harus dioperasi dan dibuang". Setelah mendengarnya, lantas badan langsung lemas seketika. Dadaku berdebar-debar.  

Operasi pun dimulai dan memakan waktu sekitar empat jam. Sebab mata begitu rumit karena terdapat syaraf-syaraf penting. Lebih dari dua minggu, aku dirawat dan terbaring di rumah sakit ini, kemudian berobat jalan.

Setelah luka bekas operasi mataku betul-betul kering dan sembuh, baru dipasang mata bola palsu. Maka sejak saat itu, aku memakai mata bola batu atau mata bola palsu di mata kananku.

Setelah aku kehilangan mata bola, hatiku terasa begitu pilu dan sedih. Kini aku sulit menyesuaikan diri dengan mata satu. Karena jarak pandang menjadi berbeda. Jarak yang jauh terasa dekat. Aku pun sulit melangkah dan sulit turun naik tangga.

Bahkan menuang air ke dalam gelas pun,  tidak bisa tepat. Aku merasa sudah tepat dan masuk ke gelas, tahu-tahu tidak masuk ke dalam gelas dan airnya tumpah.

Saat aku hendak menjemur baju di tali, tangan ku terasa dekat dengan tali jemuran, tanganku terasa mencapai tali jemuran, tapi ternyata tak sampai-sampai. Seperti seorang buta, tangannya menggapai-gapai, tapi tak sampai-sampai.

Sempat hatiku berkata "Lebih baik aku mati saja" Tetapi aku punya keluarga yang baik, penuh perhatian dan sabar. Sehingga aku punya semangat berjuang untuk hidup.  Aku baru dapat penyesuaian diri, sekitar enam bulan setelah kehilangan sebelah mataku.

Aku berusaha menghilangkan kepedihan dan kesedihanku dengan bergabung dengan komunitas orang-orang catat seperti diriku ini. Disini, aku baru menyadari, ternyata banyak orang catat yang lebih berat dan parah ketimbang diriku. Sehingga dapat menambah semangatku untuk terus hidup dan berjuang.

Berapa tahun setelah kehilangan mataku. Aku coba mendaftar ke agen untuk menjadi seorang TKI di Malaysia. Tatkala pendaftaran, aku menghadapi proses nan panjang dan berliku serta rumit, karena aku ada kekurangan di mata ku, mata palsu. Setelah melalui proses yang rumit, akhirnya aku bisa menjadi seorang TKI di Malaysia.

Aku bekerja di sebuah  restoran yang begitu megah di Negeri Jiran ini. Aku bekerja sepenuh hati. Bekerja dan berdoa. Karyawannya pun banyak. Bekerja sambil rindu akan orang tua di Pulau Sumatera.

Pemilik restoran adalah keluarga Tionghoa Malaysia beragama Kong Hu Cu. Bermarga "Lim". Anak majikanku seorang lelaki muda bernama Lim Kok Hin. Dia lebih aktif mengelola restoran ini, karena ayahnya sudah sakit. Setelah satu dua tahun bekerja. Lim Kok Hin menaruh hati padaku. Tanpa aku tahu.

Berjalannya waktu, kami berpacaran dan menjalin cinta. Suatu hari ia pun melamarku. Akhirnya kami menikah di Pulau Sumatera.

Setelah menikah, saat aku kembali ke restoran di Malaysia. Teman-teman kerja ku pun senang, lalu ramai-ramai memanggilku dengan "Nyonya Lim". Aku pun terharu.  ##

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun