Mohon tunggu...
Kurnia Winata
Kurnia Winata Mohon Tunggu... -

Orang yang hidup dari bercerita dengan gambar.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Petugas PLN yang Membantu

17 Maret 2015   15:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:31 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitaran Mei 2013, listrik rumah mati. Meteran pra-bayar kami rusak, kemungkinan ada kucing tetangga yang nakal. Mika penutup MCB patah. Kami telepon layanan PLN untuk masalah ini. Keluhan kami cepat ditangani. Petugas PLN datang memperbaiki sambungan. Katanya,

"Ini dilangsung dulu. Untuk sementara yang penting bisa dipakai. Nanti kami kembali lagi."

Begitu janji petugas PLN. Jadi sementara waktu kami tidak perlu bayar listrik. Tapi petugas PLN tak datang jua. "Sementara waktu" yang dijanjikan menjadi "waktu yang lama". Setahun lebih kami tak perlu menambah token listrik.

Jadi kami mengeluh lagi ke PLN,

"Sudah setahun lebih kami tidak bayar listrik!"

Ternyata sistem pengaduan PLN terbangun dengan baik. Mbak petugas menanyakan nomor pengaduan kami waktu lalu. Kami tidak mencatat. Jadi ia menanyakan nomor pelanggan dan kira-kira kapan kami mengadu. Ternyata ketemu juga pengaduan kami saat itu.

Sayang sehabis pengaduan itu tidak ada petugas yang datang. Kami malas mengurus kembali. Kan enak, tidak perlu bayar. Tapi kami tidak lupa mencatat nomer pengaduan kami barusan. Siapa tahu kalau besok PLN menuduh yang bukan-bukan, kami bisa bilang, "Kami sudah mengadu, lho."

Beberapa bulan kemudian, akhir tahun 2014, tegangan rumah naik turun seperti dongkrak. Lampu kedap kedip seperti ada hantu lewat. Coba-coba, kami mengadu.

Petugas datang. Datang-datang langsung ke meteran. Segel dilepas meteran diperbaiki. Memperbaikinya cuma mengelem plastik dudukan baut yang patah. Terus ketika sudah mau selesai,

"Lho, ini dilangsung ya Mas?"

Saya menerangkan kronologi kejadian. Termasuk menyebutkan kalau kami sudah mengadu kalau tidak bayar listrik dalam waktu yang lama.

"Waaah, ini kalau saya laporan nanti Mas-nya bisa kena rata-rata. Kemarin sebulan bayar berapa?"

Saya jawab kira-kira harga sebenarnya, walau tahu akhir-akhir itu harga listrik naik tinggi.

"Nah, itu nanti dikali...sudah berapa bulan?"

Hitung punya hitung, muncul nominal yang besar untuk sekali bayar.

"Bagaimana? Berat enggak?"

"Wah, berat juga kalau harus langsung segitu!" jawab saya sambil mengendus bau-bau tak sedap.

"Apa begini saja, saya bantu. Mas-nya bayar setengah saja. Nanti bisa saya atur agar normal kembali."

Wow!

"Tapi dahulu saya sudah lapor kalau tidak bayar, nanti ketahuan."

"Tenang, nanti saya bisa atur laporannya."

Saya mengingat-ingat berapa rupiah saldo rekening kami.

"Enggak usah Pak, terima kasih. Takut ketahuan," jawab saya pura-pura.

"Bener ini, nanti saya buat laporan apa adanya lho!"

"Iya Pak."

"Ya sudah kalau enggak mau," ujar petugas PLN tetap ramah.

Duh, saya bisa membusungkan dada sok-sokan berintegritas menolak kecurangan. Tapi itu karena saya punya uang yang cukup. Kalau saat itu keuangan saya pas-pasan, mungkin saya membiarkan diri "dibantu".

Sudah lewat dua tiga bulan. Tidak ada permintaan untuk membayar "rata-rata" dari PLN. Mungkin petugas PLN sibuk berusaha "membantu" pelanggan yang lain.

Yogyakarta, Sanggar Koebus, 12 Maret 2015
hujan-hujan dingin sambil minum perasan jeruk nipis hangat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun