Penembakan misterius - biasanya disingkat di sebut sebagai 'petrus' - terjadi di sejumlah kota besar di wilayah besar di Indonesia pada kurun periode tahun 1982-1985.Â
     Rangkaian peristiwa petrus ini telah diakui oleh negara  sebagai sebagai sebuah pelanggaran HAM berat pada peristiwa itu lebih dari 1.000 orang yang dicap sebagai preman dibunuh tanpa  sebab dan tanpa diadili terlebih dulu. Di Yogyakarta, operasi ini dipimpin oleh pihak militer.
 Salah satu contohnya ini seperti yang di alami oleh seorang Ibu dua anak itu terlihat gelisah memikirkan karna suaminya yang sudah beberapa hari tak kunjung pulang. Dia sangat waswas, Kentus adalah julukan suaminya yang mati dibunuh.
 Wahyu Handayani, nama perempuan tersebut, ia sangat khawatir Kentus menjadi korban dari operasi pembunuhan atau petrus terhadap orang-orang yang telah dianggap meresahkan oleh masyarakat.
Saat itu di Yogyakarta, pada tahun 1983, nyaris tiap hari ditemukan mayat-mayat yang tak dikenal yang telah  tergeletak di jalanan. Mereka dicap sebagai stau di sebut dengan  gali, akronimya ialah gabungan anak liar untuk mengistilahkan sekelumpulan orang-orang bertato yang telah melakukan kejahatan.
Pada ketika itu, sebagian orang  banyak yang dicap sebagai  sosok penjahat mati, dibunuh  tanpa pernah diadili karena dianggap telah meresahkan masyarakat. Mayatnya biasanya diletakkan atau taruh di pinggiran jalanan ataupun dibuang ke dalam hutan. Kondisi tangannya dari gali tersebut biasanya terikat dan atau dibungkus  dengan  karung.
Inilah yang membuat seorang masyarakat yang bernama Wahyu gelisah. Apalagi pada pagi itu salah seorang dari tetangganya tergopoh-gopoh memperlihatkan salah satu berita di surat kabar.
"Bu Nuk, Pak Kentus masuk ke dalam koran Kompas," cetus dari sang tetangga. Adapun Bu Nuk adalah sebuah panggilan akrab dari Wahyu, istri Kentus.
Jari jemari Wahyu kontan sangat gemetar saat membaca judul dari  berita koran pagi itu.
"Tiga warga dari Yogyakarta pergi serta melarikan diri ke kota Jakarta," kata Bu Nuk, mencoba untuk mengingat lagi peristiwa 40 tahun silam, kepada para wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, yang telah melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Dari pemberitaan itu, Bu Nuk akhirnya baru tahu, suaminya bersama dua warga Yogyakarta lainnya, Monyol serta Mantri, berada di kota Jakarta untuk mengadu kepada kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Dari Tiga orang ini, termasuk Kentus, dicap oleh aparat keamanan sebagai  sosok kriminal penjahat yang harus dihabisi. Inilah yang melatari mereka untuk berangkat ke kota Jakarta.
Koran Kompas yang dimaksud oleh  Bu Nuk itu, terbit  tnggal 8 April 1983. Surat kabar itu menurunkan berita di halaman tiga,  yanag berjudul: Tiga Penduduk Yogya Mengadu ke LBH Jakarta.
Mereka berangkat ke ibu kota Jakarta saat Garnisun Yogyakarta tengah  menggelar Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) dengan target yakni  orang-orang yang dicap sebagai preman atau di Yogyakarta dikenal sebagai sosok gali --- akronim dari "gabungan anak liar".
Kelak dari peristiwa kekerasan ini, yang akhirnya  terjadi pula di beberapa kota besar di Jawa, disebut sebagai 'penembakan misterius' alias di singkat 'petrus'.
Operasi petrus ini bersifat tertutup, yang digelar antara tahun 1982 dan 1985 ini, menargetkan orang-orang yang telah dicap sebagai sosok penjahat. Yang pada akhirnya Nantinya, pemerintahan Suharto mengakui biang yang berada di balik operasi yang telah menewaskan lebih dari 1.000 orang itu.
Setelah Reformasi tahun 1998, muncul tuntutan kepada pihak  pemerintah untuk mengusut tuntas tentang  kasus petrus karena dianggap sebagai sebuah melanggar hak asasi manusia. Komnas HAM pada akhirnya kemudian telah  memutuskan untuk melakukan penyelidikan kasus ini mulai dari tahun 2008 hingga tahun 2012, antara lain mewawancarai para  penyintas dan keluarganya, serta mendatangi titik-titik lokasi pembunuhan. Temuan mereka telah menguatkan adanya indikasi pelanggaran HAM berat.
Mereka pada akhirnya lantas menyampaikan temuannya kepada para Kejaksaan Agung untuk menindaklanjutinya. Namun hal ini tidak pernah direalisasikan dengan berbagai alasan dan sebab.Dan barulah pada akhir Desember tahun 2022 lalu, Presiden Joko Widodo, atas nama pemimpin negara, Â telah mengakui dan menyesalkan atas 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia yang telah terjadi di masa lalu, termasuk kasus pembunuhan misterius tahun 1982-1985.
Sumber : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-64871690
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H