data tempo
Perang Sampit atau di sebut dengan Konflik Sampit adalah suatu peristiwa pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia yang berawal pada bulan Februari  tahun 2001 dan terus berlanjut hingga hampir sepanjang tahun. Konflik ini dimulai dari ibukota Sampit, di Kalimantan Tengah dan meluas ke hingga seluruh propinsi termasuk sampai ke iukota Palangkaraya bahkan ke seluruh Kalimantan Tengah antara suku Dayak yakni suku asli dan warga migran dari pulau Madura yakni orang madura.
Di dalam sejarahnya, perang Sampit di tahun 2001 merupakan sebuah bagian dari beberapa insiden atau peristiwa yang sudah terjadi sebelumnya antara Suku Dayak dan juga dengan juga Suku Madura. Awal mula terciptanya sebuah konflik pada Peristiwa Sampit terjadi sejak diadakannya suatu proses transmigrasi oleh pemerintah kolonial Belanda pada zaman itu. Warga suku Madura tiba pertama kali di Kalimantan pada  kisaran tahun 1930 dalam program transmigrasi pemerintah hindia Belanda yang akhirnya dilanjutkan oleh  pemerintah RI. Hingga pada tahun 2000, para transmigran ini telah mencapai sekitar 21 persen darin populasi masyarakat di Kalimantan Tengah. Warga Madura kian hari semakin agresif di dalam  melakukan persaingan dengan suku Dayak sehingga  hal ini membuat suku Dayak tidak puas dengan hal tersebut.
Sejak kedatangannya suku madura  di Kalimantan, warga  Madura telah berhasil  dalam menguasai banyak bidang terutama dalam sektor perekonomian serta  industri komersial seperti perkayuan, penambangan dan juga perkebunan. Kemudian oranhg orang  dari Suku Dayak juga menilai bahwasanya orang orang dari  Suku Madura tidak bisa  diatur, mereka bahkan berbuat sesukanya sendiri serta  menganggap bahwasanya daerah di Sampit seperti halnya daerah di tempat mereka sendiri Hal inilah yang membuat geram  para suku Dayak dan tidak menyukai suku Madura dikarenakan  atau di sebabkan sifat ambisi dari orang orang dari suku Madura dan juga sikap mereka yang seolah olah tidak bisa untuk menghargai budaya dari Suku asli Dayak. Rasa tidak suka dari Suku Dayak kepada Suku Madura kemudian dibalas dengan di lakukanya  pembakaran rumah-rumah dari warga Madura yang telah menetap menetap di Sampit. Salah satu dari faktor tersebutlah yang telah mejadikan di antara kedua belah pihak yaitu orang orang dari Suku Dayak dengan Suku Madura menjadi semakin memanas.
Puncaknya, pada  sekitar tanggal 18 Februari 2001 kedua suku ini yakni suku dayak dan madura akhirnya terlibat perang, korban demi korban sudah semakin berjatuhan baik dari Suku Dayak maupun dari Suku Madura sendiri. Sehari setelahnya, Suku Madura merasa diatas angin dan merasa berkuasa  dikarenakan banyaknya korban yang berjatuhan dari  Suku Dayak dari keadaan itulah orang orang dari  Suku Madura tersebut akhirnya ingin menguasai Sampit dan menobatkan Sampit sebagai Sampang II.  Tetapi pada tanggal  20 Februari 2001 situasi justru berbalik arah dengan kedatangan sejumlah besar orang orang Dayak dari luar kota ke  daerah Sampit.
Dalam peperangan ini warga dari Dayak mulai menggunakan berbagai alat atau jenis senjata tradisional seperti senjata tradisional mandau, lunju atau tombak, sumpit, senjata api yang disebut sebagai dum -- dum seperti pahlawan nasional dari Madura, tetapi ada juga yang menggunakan senjatat tradisional mereka yakni celurit dan sejumlah bom rakitan. Selama terjadinya sejarah perang Sampit, dalam kurun waktu bulan  Desember  tahun 1996  hingga Januari 2007 yang telah menewaskan sekitar 600 orang (Marry, 2014).
Pembersihan etnis atau suku yang dilakukan oleh Suku Dayak terus dilakukan hingga beberapa minggu ke depan ke seluruh  wilayah Kalimantan Tengah hingga ke wilayah ujung jalan raya Trans Kalimantan bahkan hingga  ke wilayah  Kuala Kapuas di sebelah Tenggara, bahkan sampai ke  daerah Pangkalan Bun di sebelah Barat. Besarnya jumlah korban  yang tewas yang terjadi di dalam sejarah perang Sampit terjadi dikarenakan  dari pihak dari Suku Dayak di dalam puncak kemurkaannya telah mempraktekkan ritual perburuan kepala atau (Ngayau atau Kayau).
Alhasil para tokoh dari Suku Dayak ini mengincar kepala-kepala dari orang orang Suku Madura untuk dijadikan alat sebuah ritual dalam  menambah kesaktiannya padahal ritual ini sebenarnya sudah sempat dihentikan melalui sebuah perjanjian Tumbang Anoy pada tahun 1884.
sumber : https://sosial.unmermadiun.ac.id/index.php/sosial/article/download/112/73
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H