Mohon tunggu...
Kurnia Dewi
Kurnia Dewi Mohon Tunggu... Lainnya - IRT

Semua untuk Allah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pandangan Islam Tentang Toleransi Termasuk Kebolehan Mengucapkan Hari Raya Mereka

10 Januari 2023   16:43 Diperbarui: 11 Januari 2023   07:05 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kita perhatikan, saat ini banyak ulama dan santri yang datang ke gereja. Entah untuk merayakan hari besar agama mereka (Natal) ataupun untuk dialogis keberagaman atas nama toleransi umat beragama. Apa padangan Islam tentang toleransi seperti ini? Dan apa penyebabnya? 

Makna toleransi menurut Islam

Toleransi adalah menyatakan ketegasan sikap dalam berpegang teguh pada keyakinan/akidah Islam. Tak ada campur-aduk agama Islam dengan agama lain. Saat yang sama, membiarkan pihak lain dengan keyakinan atau agama mereka. Dalam bahasa al-Quran: L ikrha f ad-dn. Tak ada paksaan bagi orang-orang non-Muslim untuk memasuki agama Islam. M. Ismail Yusanto dalam Pengantar al-Wa'ie: Toleransi Dalam Islam. 

Adapun pernyataan yang memandang bahwasanya Islam sebagai agama yang datang dari Arab harus menghargai budaya dan adat istiadat yang ada di Indonesia, mengingat di Indonesia ada berbagai agama, budaya dan adat istiadat, maka kita harus mendetili apa makna dari kata 'menghargai' yang mengacu pada toleransi tersebut.

Dalam pandangan Islam, adanya keragaman agama, budaya dan adat istiadat adalah hal yang normal, lumrah, wajar. Namun, Islam melarang kaum muslim untuk memaksa penduduk setempat yang non-muslim/kafir untuk masuk kepada agama Islam. Allah SWT berfirman:

"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." (QS al-Kafirun 109: Ayat 6)

Sehingga jelas larangan Allah SWT untuk mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran lain. Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga berfirman:

"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS al-Mumtahanah 60: Ayat 8)

Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan QS al-Mumtahanah 60: ayat 8, bahwasanya dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat baik kepada sesama manusia, meskipun dia kafir. Selama kekafiran mereka itu tidak memerangi agama Islam. Toleransi terhadap mereka berupa; membiarkan mereka beribadah sesuai agamanya, membiarkan mereka memperingati hari besar agamanya, tidak menghina Tuhan mereka, tidak merusak tempat ibadah mereka, Islam memperbolehkan untuk bermuamalah dengan orang kafir (jual-beli, sewa, ajar-mengajar dalam sains dan teknologi), berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka. Kaum Muslim hanya diperintahkan untuk mendakwahkan Islam kepada mereka dengan hikmah dan argumentasi yang ahsan. Jika mereka tetap tidak mau untuk masuk ke dalam agama Islam, maka umat Islam dilarang untuk memaksa mereka. 

Itulah wujud toleransi dalam Islam yang sesungguhnya. Bukan dengan berpartisipasi dalam kegiatan ibadah maupun tradisi agama mereka. Sebab ini menyangkut keyakinan Islam yang paling dasar. Misalnya, Islam meyakini Nabi Isa AS adalah nabi, sedangkan umat Nasrani meyakini Nabi Isa AS adalah anak Tuhan. Seperti Yahudi yang meyakini bahwa Uzair anak Tuhan. Dalam QS Maryam ayat 30 dan 31, Nabi Isa tegas menyatakan dirinya sebagai AbdulLah (hamba Allah), bukan IbnulLah (anak Tuhan), yang diberi kitab (Injil) dan ditetapkan sebagai nabi. Menuduh Tuhan beranak adalah sebuah kemungkaran amat besar. Sedemikian mungkarnya bahkan digambarkan dalam QS al-Maidah ayat 88 sampai 92, langit pecah, bumi terbelah dan gunung runtuh.

Bagaimana hukum mengucapkan kata selamat atas hari besar mereka?

Sebagaimana yang telah tercantum pada ayat 33 QS Maryam, yang seolah ada ucapan selamat atas kelahiran Nabi Isa, Ibnu Katsir menjelaskan, "Dalam ayat ini ada penetapan ubudiyah Isa kepada Allah, yaitu bahwa ia adalah makhluk Allah yang hidup dan bisa mati dan beliau juga akan dibangkitkan kelak sebagaimana makhluk yang lain. Namun, Allah memberikan keselamatan kepada beliau pada kondisi-kondisi tadi (dihidupkan, dimatikan, dibangkitkan) yang merupakan kondisi-kondisi paling sulit bagi para hamba. Semoga keselamatan senantiasa terlimpah kepada beliau." Maka jelas bahwa tidak diperbolehkan untuk mengucapkan Selamat Natal. 

Kebolehan mengucapkan untuk hari raya non-Muslim

Yang boleh, adalah mengucapakan dengan ucapan yang baik yang tidak menyalahi syari'at. Bukan memuji hari raya mereka. Ucapan yang baik misalnya; "Idukum mubarak" (Semoga hari raya Anda diberkahi). Adapun jika kita menerima ucapan dari mereka, maka kita boleh menjawabnya dengan ucapan; "Mubarak alaykum".

Namun pengucapan seperti ucapan "Idukum mubarak" hanya sebatas pada mereka yang memenuhi syarat-syarat berikut:

a) Non-Muslim tersebut termasuk ahludz-dzimmah yang hidup di tengah-tengah kaum Muslim di negeri kaum Muslim dan terikat oleh aturan bahwasannya mereka tidak akan mengkhianati kaum Muslim. 

b) Mereka tidak memerangi kaum Muslim karena agama, tidak mengusir kaum Muslim, serta tidak menampakkan niat untuk mengusir kaum Muslim dari negerinya. Seperti yang dikisahkan dalam HR Bukhari nomor 1356 dari Anas ra:

Ada seorang anak dari Yahudi. Dia melayani Nabi SAW. Lalu dia sakit. Nabi SAW kemudian datang menjenguk dia. Beliau duduk di samping kepala ank itu. Beliau bersabda, "Masuk Islamlah kamu!" Anak itu memandang kepada bapaknya yang ada di samping kepalanya. Bapaknya berkata kepada dia, "Taati Abu al-Qasim." Lalu anak itupun masuk Islam. Nabi SAW kemudian keluar dan bersabda, "Segenap pujian hanya milik Allah yang telah menyelamatkan dia dari api neraka." Yang demikian adalah gambaran ahludz-dzimmah yang boleh kita berikan ucapan kepada mereka. Sayangnya jumlah ahludz-dzimmah sangat sedikit. Dinukil dari Jawab-Soal Syaikh Atha' bin Khalil, (13/01/2022). 

Sebab kaburnya makna toleransi

Muslim saat ini banyak yang belum memahami hakikat dari toleransi tersebut. Ada yang mengucapkan selamat atas hari besar mereka, bahkan ada pula yang menghina agama mereka. Kekaburan atas makna toleransi seperti ini penyebabnya tidak lain adalah karena umat Muslim saat ini hidup dalam naungan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), sehingga tidak ada jaminan bagi mereka untuk memahami ilmu agama Islam yang notabene hukumnya wajib bagi setiap Muslim yang berakal. Juga jaminan atas penerapan hukum Islam dalam kehidupan hanya sebatas upaya individu, itu pun tidak menyeluruh.

Umat Muslim pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, memerlukan penerapan kebijakan Islam yang menyeluruh dalam bentuk sistem pemerintahan. Karena ada hal-hal yang tidak bisa individu lakukan sendiri untuk menuntaskan berbagai persoalan dalam kehidupan, sehingga memerlukan peran negara dengan kebijakannya untuk mengatasi persoalan tersebut. Seperti halnya permasalahan pengertian toleransi yang terkaburkan seperti ini. Tidak bisa jika negara tidak bergerak untuk memahamkan masyarakat, juga penerapan sanksi atas pelanggaran terhadap kebijakan tersebut.

Juga bagi non-Muslim, dalam sistem Islam adalah upaya untuk melindungi mereka karena Islam mengajarkan untuk berbuat adil pada siapapun. Ini terbukti ketika Daulah Islam berdiri selama hampir 13 abad lamanya, masyarakat di dalamnya termasuk non-Muslim terpelihara keimanannya dan terjamin kehidupannya. Karen Armstrong: There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire (Tidak ada tradisi persekusi agama dalam imperium [Khilafah] Islam)." (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World, McMillan London Limited, 1991, hlm. 44). T. W. Arnold mencatat bahwa keadilan Khilafah Islamiyah membuat warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Khilafah dibandingkan dipimpin oleh Kaisar Romawi. Padahal Kaisar Romawi beragama Kristen (Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, hlm. 134). Demikian gambaran toleransi negara dengan sistem pemerintahan Islam. Bukan seperti yang dihembuskan oleh para pembenci Islam seolah Islam adalah agama yang penuh kebencian. 

Namun, sesungguhnya toleransi kebablasan dengan mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran agama lain adalah produk dari moderasi. Dimana ujung dari moderasi Islam adalah pemisahan agama dari kehidupan. Jika ini terus terjadi, maka pintu-pintu kemaksiatan, kerusakan dan penjajahan senantiasa terbuka lebar jika tidak segera disembuhkan dengan diterapkannya syari'at Islam secara keseluruhan oleh institusi negara. Kemudian,agar tercipta penerapan Islam di semua lini kehidupan, maka umat Muslim harus tetap konsisten mendakwahkan Islam kaffah baik kepada individu maupun pemerintah sesuai dengan metode yang Rasulullah SAW telah ajarkan. WalLahu a'lam bishawab. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun