Politik identitas terdiri dari dua kata: identitas dan politik. Pengetahuan tentang ketatanegaraan, negara, atau pemerintah disebut politik. Identitas seseorang, menurut Hogg, adalah gagasan tentang bagaimana mereka, macam jenis mereka, dan cara mereka berhubunan dengan individu lain. Secara keseluruhan, politik identitas merupakan sudut pandang politik yang berhubungan dengan identitas tertentu. L.A. Kauffman pertama kali menjelaskan makna politik identitas dalam buku Buya Syafi'i Maarif, "Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita." Kaufman belajar tentang gerakan mahasiswa anti kekerasan di Amerika Serikat pada tahun 60-an, organisasi hak-hak sipil yang dikenal sebagai SNCC (the Student Nonviolent Coordinating Commitee) (Anam, 2019).
Namun, menurut Lukmantoro, politik identitas berarti mengutamakan anggota atau kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik itu berdasarkan ras, etnisitas, gender, atau agama. Selain itu, politik identitas adalah upaya politik untuk menyampaikan aspirasi dan mempengaruhi kebijakan publik yang dianggap penting. Ada upaya untuk memasukkan prinsip agama ke dalam kebijakan dalam konteks politik identitas agama.
Politik identitas tidak sama dengan indentitas politik, identitas politik berkaitan dengan identitas yang dimiliki individu atau kelompok orang yang berbeda satu sama lain, sedangkan "politik identitas" merujuk pada upaya untuk memiliki identitas untuk menciptakan perbedaan antara "kami" dan "bukan kami", yang biasanya didasarkan pada ras, etnik, budaya, atau bahkan agama. Identitas politik dapat didefinisikan sebagai kumpulan pemahaman, sikap, dan tindakan politik yang didasarkan pada emosi, konsep, atau kategorisasi yang berbeda dari kelompok atau masyarakat lain (Fautanu et al., 2020).
Menurut (Fautanu et al., 2020), Saat ini, politik identitas dalam masyarakat Muslim menjadi topik yang cukup relevan dalam kajian ilmu sosial-politik dan agama. Ini karena fenomena politik identitas yang terjadi dalam masyarakat Muslim ini adalah fenomena yang menarik dalam kehidupan sosial-politik dan keberagamaan. Akibatnya, politik identitas menjadi masalah atau topik yang cukup "seksi" untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut.
Sebagian orang di Indonesia telah menemukan bahwa politik identitas yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir memiliki konsekuensi yang merugikan. Strategi politik identitas ini, sayangnya, terlalu menekankan perbedaan daripada mengadu tentang visi dan misi. Karena tawaran program yang jelas kepada masyarakat menjadi tidak jelas dan ditutupi oleh perbedaan identitas antara calon yang didukung dan calon pesaing, kualitas para calon pemimpin juga dipertanyakan (Ardipandanto, 2023).
Menurut (Fautanu et al., 2020), Kasus Pilkada 2017 di DKI Jakarta telah menjadi fenomena dan menarik perhatian masyarakat, baik di DKI Jakarta maupun di seluruh Indonesia. Â Kasus penghinaan Al-Quran Q.S. Al-Maidah [5]: 51 oleh salah satu paslon telah membangkitkan semangat keberagamaan umat Islam sehingga memicu aksi damai 212 untuk berunjuk rasa di Jakarta, yang merupakan bagian yang sangat fenomenal. Aksi damai 212 di Jakarta menunjukkan hubungan yang kuat antara agama (Islam) dan politik (Negara), yang merupakan gejala politik identitas yang sangat signifikan dalam Pilkada.
Menurut artikel berita yang ditulis oleh (Farisa & Galih, 2020), Ray Rangkuti selaku Direktur Madani Indonesia menilai bahwa politik identitas yang terjadi di Pilkada pada 2017 berdampak besar dan sangat berbahaya. Menurutnya akibat dari politik identitas yang terjadi di tahun 2017, hingga saat ini dampaknya masih dirasakan Masyarakat luas, bahkan keterbelahan public masih belum dapat dihilangkan. Menurut Ray pun politik identitas lebih berbahaya dari pada politik uang, sebab politik uang bersifat temporal, sedangkan politk identitas dampaknya menyebar dan berkepanjangan. Bahkan politik identitas rawan bersinggungan dengan kekerasan.
Politik identitas sebetulnya menjadi "modal" dan sangat efektif dalam memenangkan pasangan calon pemimpin tertentu dalam politik, seperti yang terbukti dengan terpilihnya pasangan Anies-Sandi sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Ini terbukti dengan fakta bahwa pasangan Anies-Sandi dapat terpilih sebagai gubernur karena didukung oleh kekuatan politik identitas yang terbentuk secara natural atau dibentuk oleh Islam politik.
Contoh yang lain adalah seperti adanya partai politik islam yang jelas jelas menggunakan politik identitas ini, seperti PKS, PPP, Dan PBB, sering menggunakan identitas agama untuk menarik dukungan. Mereka mempromosikan atau menyebarluaskan agenda-agenda yang selaras dengan nilai-nilai islam dan berupaya menjadi representasi politik umat islam, ditambah lagi Masyarakat di Indonesia ber-mayoritas beragama islam. Terdapat perbedaan Pro dan Kontra pendapat terhadap adanya partai politik islam, di sisi pro, ini bisa memberikan platform politik bagi umat untuk menyalurkan aspirasi dan kepenetingan mereka, sedangkan Kontra, pati menguatnya polarisasi politik dan konflik identitas.
Pandangan politik Islam tentang politik identitas di Indonesia memiliki banyak perspektif yang rumit dan kadang-kadang bertentangan. Identitas agama dapat membantu memupuk solidaritas dan mobilisasi politik, tetapi juga menimbulkan risiko polarisasi, eksklusivitas, dan konflik identitas yang dapat mengancam kohesi sosial.
Memang sebetulnya dalam konsep agama islam, diantara politik dan islam tidak bisa dipisahkan, ini sudah menjadi kepentingan/kebutuhan dalam kehidupan yang bersosial dan keagamaan. Dan hal ini sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW., dan para sahabatnya.
Dengan cara yang sama, para shahabat tidak hanya menjadi penyebar agama tetapi juga menjadi khalifah. Oleh karena itu, politik dan Islam menjadi satu. "Bila seseorang bisa memisahkan gula dari mAniesnya, ia akan bisa memisahkan Islam dari politik," kata KH. A. Wahab Hasbullah, menunjukkan hubungan Islam dengan negara (Fautanu et al., 2020). Pernyataan ini menunjukan bahwa islam dan politik atau agama dan negara itu adalah sesuatu yang tidak dapat di pisahkan satu sama lain.
REFERENSI
Anam, H. F. (2019). Politik Identitas Islam dan Pengaruhnya Terhadap Demokrasi di Indonesia. Politea, 2(2), 181. https://doi.org/10.21043/politea.v2i2.5953
Ardipandanto, A. (2023). Politik Identitas Pada Pemilu 2024. Info Singkat, XV(6), 1--5.
Farisa, F. C., & Galih, B. (2020). Ray Rangkuti: Luka akibat Politik Identitas Pilkada DKI 2017 Belum Sembuh. Kompas.Com. https://nasional.kompas.com/read/2020/08/14/08475971/ray-rangkuti-luka-akibat-politik-identitas-pilkada-dki-2017-belum-sembuh?page=all
Fautanu, I., M, B., & Gunawan, H. (2020). Politik Identitas dalam Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017: Perspektif Pemikiran Politik Nurcholish Madjid. Politicon: Jurnal Ilmu Politik, 2(2), 87--112. https://doi.org/10.15575/politicon.v2i2.8146
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H