Mohon tunggu...
Kurnia AdiWibowo
Kurnia AdiWibowo Mohon Tunggu... -

S1 Akuntansi FE UNISSULA

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Keadilan Perpajakan UMKM

29 Desember 2018   23:06 Diperbarui: 29 Desember 2018   23:35 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam mendesain sebuah kebijakan di bidang perpajakan, pembuat kebijakan berkewajiban memberi perhatian terhadap asa perpajakan sehingga kebijakan tidak menjadi timpang. Hal ini dikarenakan jika terjadi ketimpangan akan merugikan pihak -- pihak tertentu. Formulasinya adalah asas keadilan (Equity). Pemilihan kebijakan yang sudah adil secara formulasi belum tentu adil dalam kenyataan di lapangan.

Untuk mengukur keadilan sangat relatif  tergantung dari sudut pandang atau parammeter penilai. Masalahnya adanya ketidakadilan tersebut tampak dalam kebijakan pengurangan tarif PPh bagi WP badan UMKM ini.

Sebagaimana dikemukakan oleh Richard A. Musgrave dalam  buku klasiknya yang berjudul Public Finace in Theory and Practice (1984:61-94), untuk mengukur keadilan dapat dilakukan dengan pendekatan benefit approach dan ability to pay approach.

Prinsip pengenaan pajak berdasarkan pendekatan manfaat ( benefit approach ) mengatakan bahwa dalam suatu sistem perpajakan yang adil setiap wajib pajak harus membayar sejalan dengan manfaat yang dinikmati dari kegiatan pemerintah tertentu. Sedangkan prinsip kemampuan untuk membayar berdasarkan daya pikul wajib pajak ( ability to pay approach ) mengatakan bahwa wajib pajak membayar sesuai dengan kemampuan wajib pajak masing -- masing.

Wajib pajak yang mempunyai kemampuan membayar sama dikenai pajak yang sama dengan bebannya ( Horizontal Equity , dan wajib pajak yang kmamuannya berbeda akan dikenai pajak yang berbeda pula bebannya ( Vertical Equity ). Kedua prinsip tersebut secara teori dapat dijelaskan, namun pada praktik lapangan tidak mudah untuk dilaksanakan.

Dalam Buku Optimizing Corporate Tax Management karya Chairil Anwar Pohan dijelaskan keadilan secara Horizontal dalam suatu pemungutan pajak dapat terpenuhi apabila memenuhi 2 unsur.

Unsur pertama adalah wajib pajak yang berada dalam kondsi penghasilan kena pajak yang sama diperlakukan sama ( equal treatment for the equals ). Unsur selanjutnya semua orang yang mempunyai tambahan ekonomi sama dengan tanggungan yang sama tanpa membedakan jenis atau sumber penghasilan, harus membayar pajak dalam jumlah yang sama.

Poin pada  Equal treatment for the equals ialah dalam kondisi yang sama UMKM yang mempunyai penghasilan kena pajak yang sama akan dikenai tarif yang sama. Tapi pada Pasal 31E memiliki kecenderungan diskriminasi dalam pemberian fasilitas insentif atau kemudahan badan UMKM.

Secara lebih mendalam fasilitas insentif yang diberikan kepada subjek pajak sama yaitu badan UMKM, namun aspek keadilan dibidang perpajakannnya terabaikan dalam perhitunngannya karena tarif dikenakan berdasarkan peredaran bruto.

Keadilan secara vertikal dalam perpajakan dapat terpenuhi apabila wajib pajak dalam kondisi yang berbeda diperlakukan secara berbeda pula. Kemudian  dalam kondisi yang tidak sama akan dihasilkan pajak terutang yang tidak sama pula. Jumlah pajak yang dibayar semakin besar sebanding dengan kemampuan bayar UMKM.

Kebijakan pasal 31 E tidak sesuai dengan teori unequal treatment for the unequals karena pada penghasilan kena pajak yang lebih besar sekalipun akan menghasilkan pajak yang sama dengan penghasilan kena pajak yang lebih kecil.

Dengan diterbitkannya PP 46 Tahun 2013 yang kemudian diperbarui menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, maka perencanaan pajak untuk PPh badan pun mengalami perubahan.

Bila ketentuan pasal 31  E dalam penerapannya hanya dibatasi untuk wajib pajak badan, ketentuan PP PP No 23 Tahun 2018 dapat diterapkan untuk WP Badan atau Orang Pribadi. Bahkan tarifnya lebih rendah yaitu 0,5% dari peredaran bruto, dengan syarat omzet tidak melebihi 4,8 miliar.

Dalam implementasi tax planning masih dimungkinkan mengelaborasi PP 23 Tahun 2018 dengan pasal 31 E dalam mengoptimalkan penerapan strategi spin off untuk menghasilkan efusiensi yang maksimal dalam pembayaran pajak. 

Namun demikian penerapan strategi spin off harus dilihat dari konteks yang luas, bahwa memang secara relatif terdapat suatu efisiensi dalam pembayaran pajak dalam koridor peraturan perundang --undangan pajak yang berlaku, tetapi yang dapat dibidik dapat memberikan manfaat yang lebih dari itu.

Spin off memungkinkan spesialisasi yang tajam dalam bidang barang yang diproduksi sehingga berpotensi meningkatkan produktivitas, efisiensi, serta temuan produk -- produk dan teknologi baru. Secara lebih luas juga berpotensi meningkatkan pertumbuhan pendapatan nasional.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun