Saat ini, media sosial merupakan bagian dari kehidupan semua orang. Anak-anak, remaja, sampai orang tua menggunakan media sosial dalam kesehariannya.
Tidak hanya untuk berkomunikasi, media sosial pun sering digunakan untuk hal-hal unik lainnya. Tidak jarang, media sosial menjadi wadah ajang "pamer" bagi sebagian orang.
Barang-barang mewah hingga pencapaian-pencapaian pribadi menjadi hal yang paling sering "dipamerkan". Apresiasi diri merupakan alasan pamungkas yang melatarbelakangi hal tersebut.
Pencapaian yang sedang hangat bagi mahasiswa saat ini adalah Indeks Prestasi Semester (IPS). Mahasiswa yang ber-IP tinggi berlomba-lomba menyebarkan IP-nya di berbagai media sosial, seperti base Twitter, story Instagram, hingga video TikTok.
Bahkan ada yang sengaja "merendahkan diri" untuk mendapat pujian. Sebagai contoh, IP yang sebenarnya tinggi pun masih ia katakan rendah. Maka tidak jarang, orang-orang menyebutnya dengan "merendah untuk meroket". Hal tersebut biasanya dilakukan untuk mengundang simpati dari orang lain.
Dari sisi psikologi, apresiasi diri memang sangat diperlukan. Dengan apresiasi diri, rasa percaya diri dan rasa bersyukur akan meningkat.
Namun, yang baik menurut diri sendiri belum tentu baik di mata orang lain. Apresiasi diri via "pamer" tak selalu menjadi inspirasi, justru kerap menjadi "ladang insecure" bagi orang lain.
Yap, insecure merupakan istilah yang sedang tren di kalangan anak muda masa kini. Insecure merupakan sikap tidak aman yang membuat orang merasa gelisah, malu, tidak percaya diri bahkan minder.
Orang yang insecure akan merasa dirinya payah saat melihat pencapaian orang lain di media sosial. Lalu, siapa yang patut disalahkan akan hal tersebut?
Bagi orang yang pro kepada si pengunggah konten, ia akan mengatakan bahwa menggapai prestasi butuh perjuangan yang luar biasa. Sehingga, mengapresiasi diri di media sosial dapat dikatakan wajar. Menjadi inspirasi dan menggungah semangat orang lain pun kerap menjadi alasan kewajaran tersebut.
Sedangkan, bagi orang yang kontra kepada si pengunggah konten, ia akan mengatakan bahwa pamer pencapaian di media sosial itu kurang baik karena dapat menyinggung orang lain yang sedang gagal. Bagaimana, Anda termasuk tim yang pro atau kontra?
Salah satu solusi dari semua itu adalah media sosial harus dapat digunakan dengan bijak. Sikap saling menghargai dan saling memaklumi harus dimiliki agar tidak terjadi perpecahan maupun omongan buruk di belakang orang lain.
Banyak cara lain untuk mengapresiasi pencapaian Anda. Misalnya, belanja untuk diri sendiri, travelling, bahkan bersedekah sebagai rasa bersyukur atas pencapaian Anda.
Ketahuilah bahwa setiap individu pasti memiliki pencapaian masing-masing. Tetap berusaha dan berkarya untuk meraih pencapaian Anda. Jauhi insecure dan yakini bahwa Anda hebat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H