Berjalan kakilah saya, menelusuri jalan-jalan, sesekali berpapasan orang-orang. Beberapa bertegur sapa menanyakan hendak ke mana, beberapa hanya saling senyum saja.
Kedatangan saya disambut baik oleh Halleenda. Wajahnya yang menarik, usianya belumlah lagi terlampau tua, menjelang kepala empat, sewindu atau sedekade di atas saya. Hallenda malah lebih memilih hidup sendiri. Saya katakan hidup sendiri karena memang dia tidak punya suami dan siapa-siapa lagi. Itu yang saya tahu, toh sekampung dengannya.Â
Akan tetapi kehidupannya di kota saya tidak tahu menahu. Bisa saja di sana dia tinggal bersama kekasihnya, walaupun tanpa ikatan pernikahan. Kehidupan di kota kita tahulah seperti apa. Monyet yang lugu saat di kampung, di kota bisa saja menjadi singa beringas.
Belum apa-apa saya langsung disuguhi teh hangat, dan kue-kue. Sangat cocok dinikmati pagi-pagi. "Saya mau mendengar permasalahan yang Anda alami," demikian kata Halleenda mempertahankan senyumnya.Â
Teh saya teguk baik-baik, kue saya telan beserta ampasnya yang terasa mengganjal di mulut. Setelah itu saya tuturkanlah pada Halleenda permasalahan saya. Berharap dia bisa memberikan solusi pada saya yang sakit ini.
Sialnya, dan tidak pernah kami duga sebelumnya. Belum juga selesai keluh kesah saya padanya. Terdengar keriuhan di luar. Kami penasaran, bangkit dari posisi berjalan ke muka pintu. Sekelompok orang telah mengepung rumah Halleenda.Â
Saya melihat wajah-wajah mereka. Saya tahu mereka adalah anggota ormas. Ormas baik, kata orang, tetapi tidak bagi saya. Saya sudah banyak tahu kedok ormas sok suci itu.
Jantung saya berdebar-debar. Dalam hati saya betanya-tanya apa yang telah terjadi sebenarnya? saya lihat kepanikan pun ada di wajah Halleenda. Beberapa orang mendekat, menyentak kami dengan paksa.Â
Mereka membawa kami keluar rumah. Kami tidak tahu akan di bawa kemana, pandangan orang-orang di jalan tertuju pada kami. Sayup-sayup saya mendengar umpatan, melihat kebencian mereka. Halleenda hanya bisa bungkam dan tertunduk.
Ternyata kami dituduh telah berbuat mesum. Sungguh tuduhan yang salah alamat dan membabi buta. Bahkan kami tidak diberi kesempatan itu memberikan suara. Kami dibungkam. Saat-saat itulah saya semakin merindukan kematian, kehidupan semakin tak menarik lagi setelah banyak melihat wajah-wajah siluman bertopeng malaikat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H