Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Anjing di Kantor Pengadilan

17 Maret 2019   19:40 Diperbarui: 17 Maret 2019   20:07 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anjing di Kantor Pengadilan

Karena kantor pengadilan sedang terkena renovasi
sementara waktu dipindahkan pada bangunan tua di belakang pasar baru
malam-malam banyak anjing berkeliaran di gedung itu
di tempat parkir mereka kencing
di gundukan pasir dekat teras mereka berak
seringkali pegawai kantor marah-marah pagi-pagi
menyoroti bau pesing dan alas sepatunya melekat tahi anjing
sedangkan saat siang anjing-anjing itu tidak diketahui kemana rimbanya.

Hanya malam mereka berkeliaran di gedung itu
beberapa dari mereka melolong keras hingga air matanya mengalir deras
suatu malam karena lolongannya aku tak bisa tidur
di teras aku mengamati mereka kencing, berak dan menangis
aku heran dengan ulah mereka
ingin kubertanya tapi tak pandai aku berbahasa anjing

Berhari-hari kemudian sampailah koran hangat di hadapanku
tertulis; hakim dan konco-konconya terbukti menerima suap saat mengadili perkara
sejak saat itu malam-malam di sekitar gedung tak ada anjing-anjing
yang merayakan kesuciannya atas anjing-anjing yang menyamar jadi hakim.

Teknologi

Ketika di rumah kami belum ada televisi dan gawai
malam-malam kami dihabiskan membaca cerita rakyat
menjawab soal pilihan ganda dari buku pelajaran
dan bermain tebak-tebakan.
tidur kami pun sangat nyenyak sekolah kami tak terusik.

Ketika televisi bertamu di rumah kami
dan gawai bertengger di jari-jari kami
malam-malam kami dihabiskan bersama mereka
misalnya; menikmati acara dangdut
jeda iklan berselancar di media sosial
tidur kami jadi bermasalah
di sekolah kami ingin tidur.

Egosentris

Jakung yang tumbuh di batang leher kami
semakin menonjol semakin kami merasa asing di sini
semakin kami muak didikte  telunjuk orangorang tua
yang lambang, yang tak mengerti modern
dan kemajuan zaman.

Kami merencanakan A, mereka menentang
kami dianggap anak ingusan tak mengerti persoalan.

Suatu waktu kami enggan pulang  ke tanah kelahiran
mereka menyoroti kami yang banyak
berbuat apa-apa di tempat lain.

Mereka bertanya; apa artinya pendidikan kami
di kota-kota besar tak bisa berbuat apa-apa di tempat sendiri?

Bukan kami tak tahu apa-apa
sehingga belum bisa berbuat apa-apa
apa gunanya bertahan di rumah sendiri
ketika suara anak dianggap lelucon?

Jakung yang tumbuh di batang leher kami
semakin menonjol semakin besar
ego yang bersemayam di kepala mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun