Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Laras dan Matinya Pengarang yang Mengarang Kisah Laras

29 Januari 2018   17:54 Diperbarui: 29 Januari 2018   17:59 1374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: inpixio.com

Sampai saat ini ia masih terus menulis. Menulis berbagai persoalan yang disuguhkan dalam bentuk cerita. Pagi-pagi sekali ia duduk di teras rumah bersama laptopnya. Jemarinya sibuk menari-nari di atas keyboard. Kalau sudah seperti itu ia tidak ingat waktu lagi. Teramat sibuk mencumbui ide-idenya. Melahirkan kata demi kata terangkai menjadi kalimat hingga menjadi paragraf. Dari kumpulan paragraf itulah lahir sebuah cerita. Dan inilah salah satu cerita yang ia buat.

***

Sudah tiga malam aku melihat Laras. Ketika segala urusan tetek bengek mengarang kusudahi. Manakala waktu sudah sampai jam satu dini hari. Aku akan beranjak ke tempat tidur. Kubiarkan tubuhku istrihat. Pikirannku kuberhentikan untuk mengakali cerita. Aku tidak ingin menjadi pengarang yang mati-matian menggarap cerita sementara kondisi kesehatanku terabaikan. 

Di luar sudah lengang. Kumatikan lampu yang ada di kamar. Punggung kuluruskan di atas ranjang. Saat aku sudah setengah tertidur, antara sadar dan tidak sadar. Seketika Laras tiba-tiba menampakkan dirinya di depan pintu kamar. Dalam keadaan remang-remang kulihat sorot mata Laras menghujaniku. Mataku menangkap pisau penuh darah menggantung di salah satu tangannya. 

Aku tidak mungkin mengelak kalau perempuan yang berdiri di depan pintu kamar itu bukan Laras. Sebagai pengarang, aku masih hapal betul keadaan Laras sebelum memutuskan bunuh diri. Rambut indahnya acak-acakan, matanya sembab berair. Ia memakai baju dominan warna putih dengan motif bunga berwarna jingga. Nampak kaki jenjangnya yang mulus. Bagian depan bajunnya disobek oleh tangan-tangan nakal. Tampilan Laras memang seperti itu sebelum mayatnya ditemukan warga dalam keadaan bunuh diri. Kelaminnya ia tusuk dengan pisau.

Tubuhku gemetar melihat Laras dalam keadaan nyata. Nafasku bergemuruh, dadaku berdegup hebat. Dua malam sebelumnya memang ia selalu menampakkan dirinya di tempat itu, namun aku cuek dengan keberadaannya. Aku tidak membenarkan penglihatanku kalau ia memang Laras. Toh, aku berada dalam keadaan sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan itu penglihatanku kadang suka ngawur. 

Tapi kali ini ia benar-benar Laras. Mataku sudah kukucek beberapa kali dan sudah kulebarkan. Ia masih berdiri di sana menatap tajam padaku. Ia genggam erat pisau itu. Seakan-akan ada dendam kesumat yang ingin ia balas padaku. Aku ketakutan. Sepertinya Laras sengaja datang ingin membunuhku.

"Apa salahku?" Kataku gemetaran. Aku dalam keadaan ketakutan. Laras membisu. Aku hanya seorang pengarang. Bukan tokoh penting dalam hidup Laras. Seharusnya Laras mendatangi tokoh yang memperkosanya hingga ia bunuh diri. 

"Pergilah! Saya hanya seorang pengarang yang tengah menjalani proses kreatifitas menulis. Aku tidak punya sangkut pautnya dengan kehidupan Anda. Lagi pula Anda hanya tokoh imajinasi yang dibuat. Tidak pantas hadir di dunia nyata. Pergilah! Kalau Anda memang ingin membalas kematianmu. Temui Berlin dan Burahimah! Merekah juga tokoh imajinasi yang dibuat untuk memperkosamu," jelasku pada Laras. Kuliahat raut wajahnya ada pancaran emosi yang tersulut. Sepertinya ia marah mendengar penjelasanku tadi. 

 "Kenapa kau meninggalkanku pada waktu itu?" Laras bertanya. Aku terhenyak kaget, sedikit heran setelah mendengar suaranya. Laras tidak hanya menampakkan diri. Ia juga bersuara layaknya tokoh nyata. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Terbersit pertanyaan seperti itu dalam batinku. 

"Aku tidak punya hubungan dengan Anda. Pergilah! Bukan aku yang meninggalkanmu." Keringatku dengan sendirinya timbul. Aku menepi disudut ranjang dan menempel ke dinding kamar. 

"Kau pengecut! Setelah kau setubuhi aku. Kau dapati kenikmatan dariku. Kau berlari cepat-cepat. Sementara aku yang sedang memakai pakaian kalah cepat dari mereka yang memergoki kita."

"Aku tidak mengerti apa maksud Anda. Bisa Anda ceritakan lebih detil," kutaku pada Laras. Aku memintanya menceritakan lebih detil untuk memastikan saja firasatku. Ia diam beberapa saat.

"Sudah berapa banya cerita yang kau tulis?" Tiba-tiba saja Laras bertanya seperti itu. Membuatku semakin gagal paham.

"Sudah sangat banyak."

"Sudah sangat banyak juga orang yang baca?"

"Belum! Hanya ada beberapa teman dekatku yang mengapresiasi. Katanya karanganku sudah mumpuni dan sudah pantas berbicara banyak di koran-koran. Tapi aku selalu menganggap karanganku belum baik, harus banyak latihan lagi. Lagi pula aku masih dalam tahap menekuni proses kreatifitas menulis."

"Aku sepakat dengan temanmu itu. Kau memang sudah piawai mengarang. Karanganmu sudah memiliki roh. Roh itu akan selalu hidup di hati pembacanya. Jangan pesimis! Cobalah untuk mengirim karanganmu ke redekaksi. Aku yakin ia akan dimuat. Kalau pun tidak, terima dengan lapang dada." 

"Aku sudah pernah mencobanya. Tapi gagal!" Kataku.

"Coba lagi! Jangan menyerah!" Mendengar ucapan Laras seperti itu, perlahan-lahan rasa takutku terusir. Tapi beberapa detik kemudian aku kembali takut.

"Kau boleh mengarang sesuka hati. Menciptakan banyak karakter dalam karangan-karanganmu. Tapi sayang, kau akan mati di tanganku," perkataan Laras seperti itu membuatku takut. 

"Tunjukkan kesalahanku!" Kataku. Laras kemudian melangkah mendekatiku. Sekarang ia berdiri di pinggir ranjang. Sementara aku masih menepi di sudut ranjang. Wajah Laras semakin jelas, wajah yang sama sebelum ia memutuskan menusuk kemaluannya dengan pisau hingga ia mati. 

"Baiklah! Kulanjutkan ceritaku! Dengar baik-baik!" Laras yang tadi berdiri duduk di pinggir ranjang. Pisau masih berada dalam genggamannya. Bisa saja sewaktu-waktu pisau itu ia lemparkan ke arahku, mengenaiku hingga aku mati. Mendekatnya Laras kurasakan ajal semakin dekat pula padaku. Laras melanjutkan ucapannya.

"Kita sepasang kekasih yang saling mencintai. Sekat-sekat agama bukan penghalang lagi. Hingga kita berani melanggar sesuatu yang dilarang. Malam itu, kita menyetujui untuk melakukan persetubuhan di suatu tempat. Saat puncak kenikmatan itu kita raih. Dua orang pemuda sialan mengarahkan senternya ke arah kita yang masih dalam keadaan berpeluk. Mereka meneriaki kita, dan bergegas menghampiri kita.

Kau yang sudah diambang ketakutan tak kalah cepat dari mereka. Cepat-cepat kau bangkit dan memungut pakaianmu. Lalu kau lari tanpa terbersit dipikiranmu untuk menungguku. Kau meninggalkanku begitu saja. Aku tidak mungkin menyusulmu dalam keadaan telanjang. Kupakai kembali bajuku. Dan, saat ingin menyusulmu aku sudah ditangkap oleh mereka." Laras berhenti sejenak mengatur nafasnya, menatap lekat-lekat ke arahku. Sebenarnya aku hapal betul apa yang ia ceritakan. Tapi kubiarkan ia melanjutkannya.        

"Kau tahu apa yang dua pemuda itu lakukan padaku?"

"Anda diperkosa mereka," aku menjawab.

"Ya, aku diperkosa. Lihatlah bajuku ini, tangan nakal merekalah yang merobek-robek," kulirik leher bajunya yang sobek itu. Sekilas kulihat dadanya di balik sobekan itu.

"Mereka binatang! Mereka mengancamku untuk melaporkanku ke warga bahwa aku telah berbuat mesum. Aku tidak takut apabila mereka melaporkanku. Jika kabar perzinahan kita diketahui oleh banyak orang. Toh, kita akan dinakahkan sebagaimana aturan adat. 

Tapi mereka menakut-nakutiku. Katanya aku akan digebukin warga. Bisa saja mereka tutup mulut andai aku mau melayaninya. Tapi aku tidak mau, dan tetap bertahan. Sudah cukup harga diriku hilang olehmu. Aku tidak ingin diperparah lagi melayani nafsu mereka.

Aku bersikukuh menolak dengan keras. Sayangnya aku tetaplah perempuan yang lemah dan dihinakan. Mau tidak mau aku harus menjadi salah satu korban dari sekian banyaknya kejahatan seksual yang dialami oleh kaum perempuan." Laras menjedah ucapannya beberap detik. 

"Tidak benar kalau aku mati bunuh diri. Dan kau keliru memberikan informasi pada orang lain perihal kematianku. Setelah pemerkosaan itu. Mereka khawatir jika aku masih hidup dan membuka mulut. Tentu mereka akan dalam bahaya. Tanpa hati nurani lagi, mereka mengambil pisau. Lalu mereka menusuk kemaluanku dengan pisau itu. Aku benar-benar tidak menyangka kematianku bakal setragis itu. Aku merasa salah satu dari banyaknya perempuan paling malang di dunia. Yang paling membuatku bersedih. Hukum abai pada kematianku. Bungkam, tak mau mengusut tuntas. Menerima begitu saja kalau aku bunuh diri," Air mata Laras makin mengucur deras.

"Ini semua gara-gara kamu. Kau egosi! Mengapa pada waktu itu kau meninggalkanku? Maka kau harus menerima ganjarannya yaitu mati di tanganku ...."  

Aku tidak bisa mencerna dengan baik lagi perkataan Laras selanjutnya. Apakah setelah kata-kata itu ia akan membunuhku atau tidak. Aku disibukkan mengingat salah satu karanganku yang kubuat ada masa silam berjudul 'Kisah Laras'. Karangan yang ditolak beberapa redaksi. Gara-gara penolakan mentah-mentah itu sehingga aku kepincut untuk menekuni proses kreativitas menulis. 

Dalam kisah itu aku menggunakan dua sudut pandang. Sudut pandang orang pertama, 'Aku' berposisi sebagai kekasih Laras yang meninggalkannya. Dan sudut pandang orang ketiga menggambarkan keadaan Laras setelah tokoh 'Aku' meninggalkannya. Garis besar cerita itu persis apa yang Laras paparkan tadi padaku. Hanya berbeda pada bagian cara kematian Laras. 

Kisah itu kutuliskan Laras mati dalam keadaan bunuh diri, menusuk kemaluannya menggunakan pisau. Terus terang saja, sebelum aku memutuskan itu, aku sempat menuliskan bahwa Laras mati karena dibunuh oleh si pemerkosanya yaitu Berlin dan Burahimah. Tapi buru-buru kuhapus dengan berbagai pertimbangan. Sehingga aku terhenyak kaget mendengar pengakuan Laras bahwa ia mati bunuh diri. Apakah karena  itu, ia ingin aku mati di tangannya?

***

Cerita pertama usai, ia berlanjut menggarap cerita baru. Menjelang waktu duhur, ia menyudahi aktifitas menulisnya. Mandi, makan dan beribadah kemudian rehat sejenak. Setelah itu, ia akan menulis lagi sampai  tengah malam. Ia hanya berhenti saat tubuhnya menuntut hak-haknya. Begitulah kegiatannya seratus hari terakhir ini. Yang ia bilang sedang menekuni proses kreativitas menulis, demi menjadi pengarang profesional. 

Pada hari keseratus satu proses kreatifitas menulisnya. Gerombolan anak sekolah tidak melihat lagi ia duduk di teras rumah di hadapan laptopnya bercumbu dengan ide-idenya. Beberapa  petani akan menyunggingkan senyum ke arahnya manakala lewat di depan rumah itu, tapi hari ini tidak lagi. Tukang ojek, ibu-ibu, para tetangga tak melihat batang hidung si pengarang itu. Usut punya usut si pengarang itu telah mati. Ia dibunuh  salah satu tokoh yang ia buat sendiri dalam karangannya. Tokoh itu bernama Laras. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun