Sudah kutahu rencana busuk Dahlia. Ia ingin mengakhiri hubungannya denganku. Satu hari sebelum ia melayangkan  kata putus itu. Aku disibukkan mencari siasat untuk meredamnya. Maka kutemukanlah satu penawar yang kemungkinan membuat Dahlia membatalkan segala rencananya. Dahlia suka baca Novel. Dan kupilihlah novel trilogi Dilan karangan Pidi Baiq.
Setelah dari toko buku. Kukemas tiga buku itu dengan baik. Pukul enam belas lewat tiga puluh menit kupacu motorku menuju kantornya. Dua hari sebelumnya Dahlia selalu menolak saat kutawarkan untuk mengantarnya atau menjemputnya. Intinya belakangan ini sikap Dahlia lain terhadapku. Sikapnya seperti itu tiba-tiba saja tanpa ada alasan atau kesalahan yang kulakukan padanya.
"Sebelumnya kan aku sudah bilang, sayang jangan jemput aku," katanya lembut namun raut wajahnya jengkel saat aku sudah sampai di hadapannya. Aku hanya senyum, kutarik tangannya untuk mendekat  ke motorku.Â
"Karena besok kau akan putuskan hubungan kita. Makanya kali ini kau kujemput. Untuk terakhir kalinya, boleh kan?" Ucapku. Ia terheran-heran melihatku. Tampak kewalahan mau meladeni bagaimana ucapanku itu. Rada-rada terpaksa menaiki motorku. Kurilik wajahnya dari balik kaca spion, sepertinya ia bertanya-tanya dari mana kutahu rencanya busuknya itu.Â
Tidak banyak kata di perjalanan. Aku juga malas berkata-kata. Ketika sampai di depan rumahnya. Dahlia sama sekali tidak menawariku masuk ke dalam. Biasanya kami akan menghabiskan sisa sore di teras rumahnya berbincang-bincang sambil minum-minum menunggu waktu magrib.Â
"Karena besok kau akan putuskan hubungan kita. Makanya terima ini!" Kusodorkan ke arahnya bingkisan buku yang kuikat pita warna jingga. Dahlia menerima tanpa banyak kata. Setelah itu aku pamit. Aku tidak berharap banyak Dahlia akan mengurungkan niatnya memutuskanku. Setidaknya aku sudah berupaya membendungnya dengan caraku sendiri.
Besoknya, Dahlia menelponku. Kupikir pembicaraan itu akan ada kata putus darinya. "Nanti kamu jemput aku! Harus jemput, Tidak boleh tidak," katanya tegas lalu menutupnya. Ia sama sekali tak memberiku kesempatan untuk menimpalai perkataannya. Hanya kata 'halo' sekali keluar dari mulutku.Â
Setelah itu aku tidak melakukan aktifitas apa-apa sampai pukul enam belas lewat tiga puluh menit. Selain hanya membaca kumpulan cerpen. Dalam benakku mungkin Dahlia akan melayangkan kata putus dalam keadaan empat mata, tanpa melalui perantara. Sebagaimana saat kunyatakan cinta padanya juga dalam keadaan kontakan mata. Aku membaca cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma dan Putu Wijaya. Dari kedua cerpenis tersebut kutemukan dua perbedaan mencolok gaya bahasa dari setiap cerpen-cerpen mereka. Punya ciri khas yang menjadi keunggulan masing-masing.Â
Aku banyak belajar menggarap cerpen dari keduanya.  Meniru tidak masalah asal jangan plagiat. "Serupa tapi tidak sama. Bukankah segala sesuatu sejatinya tercipta dari tiruan?" kuingat perkataan Dahlia waktu itu. Ketika kami sedang menghadiri acara pameran seni rupa. Lantas kukomentari salah satu lukisan  di sana yang kuduga mirip lukisan Afandi.
 Aku berhenti membaca cerpen ketika sudah tiba waktunya untuk menjemput Dahlia di kantornya. Kutup dua buku kumpulan cerpen yang bergantian kubaca. Lalu kusimpan rapi di atas meja. Kutarik jaketku dan berkaca sekali lagi. Kupastikan tampilanku semenarik mungkin. Siapa tahu saja akan menjadi penawar bagi Dahlia untuk tidak benar-benar memutuskanku.  Â
Di depan kantornya, Dahlia telah menunggu. Raut wajahnya berseri-seri berjalan ke arahku. Aku terkejut dengan ekspresi Dahlia seperti itu. Bisa saja ia sengaja menampakkan wajah yang baik. Toh, hari ini ia akan memutuskan hubunganku dengannya. Barangkali juga ia mau membuktikan bahwa tidak semuanya insiden putus itu berakhir dengan keadaan pelik. Ada yang berakhir damai, aman dan adem-adem saja. Begitulah kata hatiku.