Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Surat untuk Maria

26 Januari 2018   20:23 Diperbarui: 28 Januari 2018   13:46 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih di kamar yang pengap. Di luar mau gelap. Koran-koran berserakan di lantai. Beberapa buku telanjang di atas meja. Pada televisi telah dilantungkan azan. "Hayyalashshala" aku abai dan baru menggoreskan beberapa kalimat pada suratku ini.

Maria sayangku. Ketika kesempatan membawamu datang padaku. Kuingin sekali melarikan kedua tanganku untuk mendekapmu. Ada rindu yang menyiksa harus kau tahu. Dan, kalau kau tak keberatan, biarkan bibirku menjamah bibirmu. Tapi sayang kau datang bersama dia yang telah beruntung menjadi suamimu. Inginanku dibatasi ruang dan keadaan.

Masih kuingat raut wajahmu kala itu. Kau sedih melihat keadaanku kumal. Hanya kau yang tahu pasti alasanmu. Mungkin saja memang benar kau bersimpati. Bisa saja kau tidak rida mantan pacarmu berujung begini. Kau pun menangis. Kulihat air matamu mengucur deras mengaliri pipimu. Dia mengusap pundakmu mencoba menenangkanmu. 

Kenapa kau tidak datang seorang diri saja Maria? Batinku bertanya. Sehari saja kuminta waktumu untuk menemaniku. Ada banyak perihal penting yang harus kubagi. Ataukah kau merasa tidak aman menemuiku seorang diri. Sehingga kau butuh partner untuk membendung segala kemungkinan yang terjadi, apalagi keadaanku seperti ini. Tidak Maria! Aku tidak cukup berani untuk mengusikmu yang sekarang sudah menjadi istri orang. Kendati akal sehatku sering tidak berfikir sehat untuk menakalimu terakhir saja. 

Sangat kusayangkan kau tidak bisa membaca sorot mataku, Maria. Pancarannya masih sama dari yang kau rasakan dan kau saksikan ketika kita masih bersama. Sorot mata seperti ini sama apa yang kau lihat saat kubacakan sajak-sajak cinta Gibran padamu. Sorot mata yang sama ketika kita berdua di kafe menikmati secangkir kopi dan teman-temannya. Sorot mata yang sama saat kuminta kau menanggalkan segala pakaianmu dan kulepas juga yang ada pada diriku. Bertahun-tahun kita melalui banyak kenangan. Bagaimana bisa semudah itu kau lupa?

Biarlah kau bersama orang-orang salah kaprah tentang keadaanku. Karena kenyataannya aku tidak benar-benar seperti ini. Kupilih begini untuk mengakali satu dari dua pilihan keadaan. Dan, diakhir surat ini kau akan tahu mengapa. Kalau kau masih tidak percaya, Maria. Baiklah, dengarkan aku sekarang. 

Ketika orang-orang terbuai dengan berita-berita yang ada. Pilkada serentak memakan anggaran membukit. Tentang berita partai politik yang tidak ada habisnya untuk dibahas. Tentang LGBT yang masih menjadi polemik. Tentang seratus hari kinerja salah seorang gubernur yang terus diberitakan. Apakah puas atau tidak puas khalayak. Sementara seratus hari kinerja puluhan gubernur tidak bernafsu untuk dibicarakan. Mungkin kau akan beranggapan itu wajar, toh ibu kota negara harus diprioritaskan.

Iya harus menjadi prioritas. Sampai-sampai semua pada kaget ketika menyaksikann derita Asmat. Busung lapar dan campak di sana bikin hati menjerit. Ketika semua sudah terlanjur terjadi, barulah kita saling menampakkan diri memberikan pertolongan bak malaikat kesiangan. Wajar Maria. Kita memang bangsa yang suka mengobati, bukan bangsa yang suka mencegah. 

 Di salah satu sekolah dasar, ada oknum guru olahraga mencabuli 16 siswanya. Bayangkan Maria! 16 siswa, bukan satu atau tiga siswa. Dan, ini bukan kali pertama yang terjadi seperti itu di dunia pendidikan kita, ada banyak kejahatan dengan bermacam-macam modus. Kalau sudah seperti ini, saya makin percaya diri membenarkan perkataanku waktu kita bersama, bahwa pendidikan di tempat kita memang pincang dan matanya picek. 

Maria cintaku. Masih belum kau percaya kalau aku hanya pura-pura dalam kondisi seperti ini? Orang yang tidak waras, tidak akan mau mati-matian menonton televisi membaca koran. Lalu menyimpulkan apa yang ia lihat diketik rapi pada komputer kemudian dicetak untuk dikirimkan pada mantan pacarnya. Hanya aku yang seperti itu, tandanya aku memang pura-pura seperti ini. 

"Untuk apa satu periode lima tahun memerintah jika dinilai belum cukup melaksanakan program kerja?" Pertanyaanmu waktu itu. Sengaja kuingatkan kau kembali, bahwa ingatanku masih waras.

 Iya Maria, satu periode memang belum cukup. Buktinya tiap pemilihan selalu terdengar calon petahana. Bahkan dua atau tiga periode pun aku yakin belum cukup. Andai saja tidak ada undang-undang yang mengatur batas maksimalnya memerintah. Calon petahana akan terus nongol bila perlu sampai menyamai lamanya Pak Harto.

Bahkan untuk tingkat pemerintahan desa pun seperti itu. Kemarin si Musliadi kembali menduduki tahta kursi kepala desa. Ia kembali dipercaya rakyat. Toh, namanya calon petahana. Bahkan ada warga yang mulutnya busuk berkata "Musladi menang, lantaran main sogok. Uang yang seharusnya dipake untuk membangun desa tahun ini malah digunakan untuk membayar suara." 

Aku tahu Maria kau akan emosi mendengar ini. Tidak akan pernah kulupakan kau tipikal perempuan yang tidak senang bentuk kemenangan seperti itu. Aku sering diperdengarkan unek-unekmu menyoroti hal begituan. Kau tidak hanya mengkritisi tapi lebih dari itu, Maria. Sehingga beruntungnya dia yang sekarang menjadi suamimu.

Maria kasihku. Kuingatkan kau sepenggal kisah kita. Di sebuah kantin ketika kita dilanda rasa lapar. Di luar mendung, kantin sepi. Aku masih hapal raut wajah pemilik kantin kusut menunggu pelanggan. Terpancar senyuman darinya saat kita memesan nasi goreng. Kita duduk berhadapan. Kamu masih ingat perkataanmu sendiri? "Jangan ada kata-kata putus di antara kita!" Katamu begitu tegas. Begitu serius kulihat kedua bola matamu. Ya, benar sejauh ini belum ada kata-kata putus yang terciprat keluar dari mulutmu atau pun mulutku. Tapi untuk apa tidak putus jika pada akhirnya kau telah menjadi istri orang lain. 

Lama kita membiarkan suasana lengang setelah kita saling mengangguk. Tanda sepakat dengan pernyataanmu itu. Hanya ada suara spatula yang bertabrakan dengan wajan manakala pemilik kantin mengolah pesanan kita. Serta suara televisi. Kita kompak mengarahkan pandangan pada televisi yang menggantung beberapa meter dari samping kita. 

Itu acara bincang-bincang. Narasumbernya salah seorang wartawan ternama berkepala plontos. Wartawan itu sudah tidak asing bagimu. Kau mengoleksi beberapa buku-bukunya. Aku masih ingat, kuyakin kau juga masih ingat. Wartawan itu bilang, "Ini ironis. Ada perguruan tinggi negeri di negara kita yang tidak memiliki perpustakaan..." Usai mendengar, emosimu kembali tersulut. Kalau sudah begitu kau tidak bisa menahan diri untuk tidak bertutur panjang lebar menyoroti hal demikian. Kau tidak hanya mengkritis Maria, tapi lebih dari itu. 

"Ini kampus negeri lho, sangat tidak wajar dan tidak bisa dimaklumi kalo tak punya perpus." Kau tidak henti-hentinya berucap bahkan ketika dua piring nasi goreng sudah berada di hadapan kita. 

Kau tidak tahu Maria, dan tidak pernah kuberitahu padamu. Salah seorang temanku juga kuliah di salah satu kampus negeri. Kenyataannya sama apa yang dituturkan wartawan itu, berstatus negeri tapi tak punya perpustakaan. Bahkan gedung kampusnya saja tidak cukup menampung mahasiswanya. Alternatifnya harus menumpang di gedung-gedung lain, misalnya di gedung sekolah SMA. 

Bahkan jalan ke kampusnya sangat memprihatinkan. Belum sampai di situ Maria, di sana juga kekurangan tenaga dosen. Ironis sekali bukan? Kita  beruntung pernah mengenyam perkuliahan di kampus yang berfasilitas mumpuni. Dibanding mereka yang menjadi tumbal tidak meratanya segala sesuatu di negeri ini. 

Kau sudah percaya kalau aku masih waras, Maria? Jika tidak, lain waktu datanglah padaku. Tapi kau seorang diri. Pastikan suamimu sedang berada di luar kota. Ada banyak rindu yang harus kau cabut dari diriku. Ada banyak keadaan di negeri ini yang harus kita bincangkan. Jangan bosan dan jangan sekali-sekali beranggapan itu hanyalah kesia-siaan.

Kata-kata kita memang tidak bakal mengubah keadaan. Tapi kata-kata kita bukan sekedar kata-kata. Kata-kata yang mempertegas posisi kita tidak bersama dan membenarkan mereka. "Lebih baik mati daripada menyerah pada kemunafikan," ucapmu padaku mengadopsi perkataan Shoe Hok Gie.

Maria rinduku. Sejak kau memutuskan untuk menikah. Keadaan hanya memberiku dua pilihan. Mati dalam keadaan bunuh diri. Ataukah hidup namun gila. Sekarang aku telah gila. Itu keputusan yang tidak mungkin kusesali. Harusnya kau menyesali keputusanmu berpaling dariku. Karena kudengar kabar suamimu sang pengacara tersohor itu sering tidur dengan kliennya. Itulah kebenarannya dan harus kau ketahui, Maria.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun