"Ya, barangkali mereka mau membuktikan, disamping jago akting atau nyanyi mereka juga melek politik. Aku tahu pada pilkada tahun ini, selebriti berjubel diusung parpol," cetusmu. Aku terhenyak kaget darimana semua itu kau bisa tahu. Sedangkan waktumu kau habiskan di pinggir sungai. Â Â
Andaikan saja kau tahu siapa diriku. Kau akan jijik padaku. Bisa saja kau tidak berkenan untuk ngobrol denganku. Bisa saja kau akan mencekik leherku hingga aku mati. Atau kau akan membacokku sampai nyawaku terenggut. Mungkin juga kau akan memutilasiku. Potongan tubuhku kau masukkan ke dalam karung  lalu kau hanyutkan ke sungai.Â
Hari itu aku memutuskan untuk menceritakan sebenarnya padamu. Aku tidak pergi ke rumah pelacuran. Untuk melayani laki-laki hidung belang yang tidak pernah puas dengan pakaiaannya. Kalau saja kamu bisa menerima diriku, kita akan melakukan persetubuhan sekalipun kamu mate olo. Aku akan menjadikan diriku sebagai wanita yang menerima laki-lakinya apa adanya.Â
Nahasnya, pagi itu kutemukan dirimu tidak bernyawa lagi di pinggir sungai. Tabuhmu mengembang terlalu lama berendam di dalam air. Bahkan kau sudah busuk dikerumuni lalat. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak peduli kau telah membusuk, kupeluk dan kucium kau. Diiringi air mata tumpah ruah. Matinya kau, aku tidak akan pernah tahu tujuanmu menumpuk kayu yang hanyut itu. Dan kau tidak tahu siapa diriku sebenarnya. Aku adalah istrimu yang kau pergoki bersetubuh dengan kepala desa. Kau usir dari rumah hingga aku menjadi pelacur.*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H