Jika kebetulan hujan deras, volume air sungai naik. Kau siap sedia berdiri di pinggir sungai. Menanti kayu-kayu besar yang hanyut. Kau seret ke daratan dengan sekuat tenaga. Kau kumpulkan dan kulihat tumpukan kayu itu sudah menggunung. Jika tidak hujan, pekerjaanmu hanya menjadi pelamun. Orang-orang kampung sudah menganggapmu sebagai orang gila.Â
Saat aku menyambangimu di pinggir sungai. Awalnya kau sering membahas tentang dirimu yang mate olo. Tentang persetubuhan istrimu dengan kepala desa. Namun semakin ke sini celotehmu tidak melulu soal itu. Kau kadang menyinggung tentang keserakahan manusia yang mengeksploitasi alam besar-besaran.
Pernah aku menanyakan tujuanmu menumpuk kayu sebanyak itu. Kau malah memberikan jawaban yang sumbang sangat tidak kuharapkan. Jawabanmu seperti ini, "Dulu sungai ini jernih, sepinggirannya dipenuhi pohon-pohon yang rindang. Tapi penebangan pohon yang tidak pilih pilah. Asal tebang saja yang penting dapat uang, jadinya begini. Tanahnya sering longsor. Orang-orang pun seenak hati membuang sampahnya di sungai. Lihatlah! Kecantikan sungai ini sudah hilang. Seperti kecantikan si keparat itu sejak kelaminnya ia serahkan pada anjing itu untuk ia jilati," ucapmu raut wajah jengkel. Kau tahu hatiku menjerit dan terpukul saat kau memaki istrimu.Â
Kau menarik nafasmu kau hembuskan perlahan, tatapanmu kosong. Kau kembali bertutur, "Anjing jantang kalau lagi ngaceng akan mencolok kelaminnya ke sembarang kelamin anjing betina. Ya, mereka memang pantas disebut anjing." Kau mengangguk-angguk. Hatiku bagai disayat.
"Semakin tua zaman, alam semakin menunjukkan keganasannya. Kita tak boleh menerima begitu saja kalau itu adalah takdir Tuhan. Bukankah sekarang banyak ditemukan praktek-praktek terlarang dilakukan manusia yang tidak tahu diri. Seperti yang telah diperbuat si keparat dan anjing itu."
Aku hanya akan mengangguk manakala bibirmu tak ada lelahnya meluapkan segala unek-unekmu. Ada kebenaran disetiap ucapanmu yang tidak pantas aku lewatkan. Makanya sebisa mungkin aku selalu menyempatkan waktuku menemuimu. Minimal aku bisa menjadi pendengar yang baik buatmu. Untuk menebus segala kesalahanku padamu. Kalau bisa aku akan membuat keluargamu seperti sedia kala. Kau tahu zaman sekarang, banyak orang yang ingin menjadi pembicara yang baik tapi enggan menjadi pendengar yang baik.Â
"Apa maksudmu menumpuk kayu sebanyak itu?" Sudah sering aku bertanya seperti ini padamu. Selalu kau menjawabnya sumbang.Â
"Menyukai sesama jenis, prakteknya sudah ada sejak zaman Nabi Luth. Hasilnya mereka diazab sangat pedih. Betapa lucunya sebuah negara jika praktek itu dilegalkan. Apabila fenomena itu dibiarkan, sama saja kita menentang Tuhan," katamu, sebisa mungkin meyakinkanku.Â
"Iya aku tahu. Tapi apa tujuanmu menumpuk kayu sebanyak itu?" Aku menunjuk pada tumpukan kayu yang menggunung di belakang kita. Hanya itu yang membuatku penasaran. Sejak awal pertama kalinya aku menyambangimu di tempat itu. Tentangmu mate olo, dan tentang istrimu yang berzina sudah terlalu jauh aku ketahu banyak hal. Tapi tentang maksudmu mati-matian menumpuk kayu di pinggir sungai, itu yang belum kutahu.
"Negara kita negara lucu. Negara agraris, banyak orang bertani. Negara maritim, garis pantainya panjang . Kurang sekaya apa di lautan? Tak megakah di daratan? Sehingga harus impor garam dan rencananya mau impor beras. Aneh kan?" Bola matamu membesar.
"Iya, lebih aneh lagi selebriti tanah air berlomba-lomba terjung ke dunia politik," timpalku.