"Konon para nelayan pernah melihat putri duyung di sekitaran tempat ini"
"Tapi itu dulu Jun. Sekarang zaman sudah beda. Kalaupun itu ada benarnya. Mungkin putri duyungnya sudah migrasi ke benua Afrika atau Amerika" Junai sedikit kesal mendengar tuturan Sampar. Seperti ia ingin sekali menggampar mulutnya biar tidak banyak ngomong lagi.
"Kalau memangnya kau tak suka dengan perburuan ini, mending kau pulang saja"
"Bukan begitu Jun, hanya saja saya tidak ingin kita terlarut-larut melakukan pekerjaan yang sia-sia. Bagaimana nantinya anggapan orang-orang jika kita selalu bergelut ekspedisi gila ini. Bahkan kuat dugaanku, Meiji tak menerima cintamu tempo hari lantaran semua ini"
"Ah, itu hanya spekulasimu saja. Tidak ada kaitannya alasan Meiji menolakku lantaran perburuan putri duyung" Ucap Junai berbohong. Sejujurnya memang itulah alasan Meiji mengabaikan cinta Junai, sebagaimana sangkaan Sampar.
Kala itu matahari senja yang indah menghiasi kaki langit. Di tepi dermaga Junai dan Meiji duduk bersama layaknya sepasang kekasih. Perahu nelayan sudah diikat erat, ada juga beberapa nelayan yang baru melepaskan perahunya kelaut. Sekelompok anak laki-laki tertawa riang usai berenang dilaut.
Sebentar lagi senja akan menjemput malam. Namun Junai hanya bisa bergeming sembari menatap wajah manis Meiji. Tak tahu dia harus memulainya dari mana.
"Apa yang ingin kau katakan padaku?" tampak Meiji kesal melihat Junai hanya bisa diam. Sepuluh menit berlalu belum ada satu huruf pun yang terlontar dari mulutnya.
"Mei, aku tak tahu harus memulainya dari mana, dan juga tak tahu sejak kapan aku mulai merasakannya" Junai terdiam sejenak. Dia benar-benar grogi. Meiji menatapnya seraya menunggu apa yang selanjutnya hendak dia ucapkan.
"Disatu sisi aku malu mengatakan ini padamu dan disisi lain aku tak kuat menyembunyikan ini semua"
Junai menarik nafas dalam-dalam.