Tokoh-tokoh yang banyak berperan dalam pendirian Dewan Kesenian Malang ini diantaranya Henri Suprijanto, Munajad, Kacik, Djati Kusumo, Sulaiman dan beberapa orang lainnya. Dewan Kesenian ini pernah mendapatkan Gedung Cenderawasih sebagai pusat kegiatan dari Walikota Soegiyono. (hal.56, Mencintai Kota Malang dan Jawa Timur).
Riwayat Pendidikan
Djanalis lahir di desa Parit Lintang, Ladang Lawas, Kecamatan Banu Hampa Kabupaten Agam Sumatera Barat, 20 November 1943. Ibunya, Raminan Gani, perempuan pedagang yang gigih dan pekerja keras. Ayahnya, Djanaid Sutan Rangkai Bungsu, pedagang perhiasan yang saleh. Djanalis mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat dan SMP kelas 1 di Bukittinggi Sumatera Barat.Â
Tahun 1957 terjadi pergolakan di daerah Sumatera Barat, Djanalis masih di SMP kelas 1. Djanalis pindah ke Surabaya dan masuk SMP IV. Djanalis tekun belajar dan akhirnya lulus dan dapat masuk SMA 5 di Surabaya, sekolah favorit. Setelah lulus SMA, Djanalis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Universiats Brawijaya.Â
Bagi Djanalis, dunia orang-orang teknik tampaknya tidak cocok dengan dirinya. Melalui berbagai pertimbangan, ia akhirnya pindah kuliah ke Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan, yang dikemudian hari berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Administrasi. Djanalis aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa. Ia terpilih sebagai Wakil Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Brawijaya membantu Agil Haffi Ali, Ketua Dewan Mahasiswa.
Dunia Literasi dan Jurnalistik
Minatnya yang besar dalam tulis menulis mengantarkannya ke dunia pers bersama aktivis lain. Bersama Agil H.Ali, Djanalis menerbitkan tabloid mahasiswa yang terbit mingguan: Mingguan Mahasiswa dan Mimbar Brawijaya. Saat itu tabloid tersebut mendapat sambutan hangat dari dari para mahasiswa karena tulisannya yang sangat kritis pada kekuasaan Orde Baru.
Guna memperluas jangkauan pembaca dan juga mendapatkan iklan yang lebih banyak untuk mendukung penerbitan tersebut, Mingguan Mahasiswa pindah ke Surabaya.Â
Setelah beberapa lama berjalan, Djanalis memutuskan untuk balik ke Malang melanjutkan kuliahnya di tingkat sarjana. Ia tetap mengiimkan tulisan-tulisannya ke Mingguan Mahasiswa. Tahun 1978 Mingguan Mahasiswa berubah menjadi Mingguan Memorandum. Akhir 1981 menjadi Harian Memorandum.