Mohon tunggu...
Abdul Malik
Abdul Malik Mohon Tunggu... Penulis seni - penulis seni budaya

penulis seni. tinggal di malang, ig:adakurakurabirudikebonagung. buku yang sudah terbit: dari ang hien hoo, ratna indraswari ibrahim hingga hikajat kebonagung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mbah Kadam, Maestro Ludruk yang Bersahaja

1 Februari 2018   07:35 Diperbarui: 2 Februari 2018   02:05 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Kadam, Maestro Ludruk yang Bersahaja (Dok. Lembaga Kesenian Indrokilo)

Mbah Kadam, Maestro Ludruk yang Bersahaja

Oleh Abdul Malik

MELAKONI dunia seni tradisi adalah meniti jalan sunyi nan senyap. Kita bisa meneladani dari sosok Mbah Kadam (75), yang tetap setia menekuni dunia ludruk hingga akhir hayatnya.

Saya pertama kali mendengar nama Mbah Kadam dari diskusi bersama Pak Yongki Irawan, penari dan Ibu Dyah Mayangsari, Ketua Lembaga Kesenian Indrokilo di sekretariat Dewan Kesenian Malang. Tanggal 26 Mei 2012 Lembaga Kesenian Indrokilo memberikan penghargaan kepada Mbah Kadam, tokoh tandak ludruk dan Mbah Munawi, maestro tari topeng Malangan Gunung Sari.

Penghargaan diserahkan di Kampoeng Malang sebagai bagian dari Malang Tempo Doeloe di Jl.Pahlawan TRIP. Saya datang agak malam sehingga tidak sempat bertemu Mbah Kadam. Video wawancara singkat tim LKI dengan Mbah Kadam diunggah ke Youtube oleh Arif Suhandha,  20 Mei 2013. Dalam dokumentasi video yang dikerjakan oleh Adhi Kristijono, VmBroadcast, Surabaya, kita bisa mencatat bahwa Kadam memulai pentas ludruk tahun 1956 dengan Ludruk Nusantara Warna Warni, Malang.

Namanya makin moncer setelah bergabung dengan Ludruk Marhaen, Surabaya. Ludruk Marhaen didirikan oleh pelawak Rukun Astari, Wibowo dan Samsudin tahun 1949. Perkumpulan Ludruk Marhaen pada masa jasanya berulang kali mendapat undangan Presiden Soekarno melakukan pementasan di Istana Negara. Berdasarkan pengakuan Rukun Astari, tercatat 16 kali Ludruk Marhaen menerima undangan Bung Karno. Beberapa lakon ludruk yang pernah dipentaskan Ludruk Marhaen yang kemudian difilmkan adalah Kunanti di Yogja, Memburu Menantu, Mawar Merah di Lereng Bukit dan lakon Pak Sakerah.

Di samping prestasi di atas, Ludruk Marhaen juga mendapat kesempatan sebagai penghibur militer di Trikora II-B (Tri Komando rakyat II-B), yang pernah mendapat piagam penghargaan dari Panglima Mandala Mayjen TNI Soeharto pada 10 Agustus 1962. Demikian catatan Henri Supriyanto, penelaah ludruk dalam bukunya Ludruk Jawa Timur, Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon, penerbit Dinas P dan K Propinsi Jawa Timur, 2001, halaman 17.

Popularitas Ludruk Marhaen mengingatkan saya pada Wayang Orang Ang Hien Hoo, Malang yang juga sama-sama membuat Bung Karno kepincut.Tahun 1957, Wayang Orang Ang Hien Hoo yang mayoritas pemainnya adalah warga Tionghoa, diundang oleh Presiden Soekarno untuk tampil di Istana Negara di Jakarta. Ratna Juwita (Nelly Ie) adalah primadona Ang Hien Hoo, sementara Mbah Kadam adalah primadona Ludruk Marhaen. Saya berkesempatan melihat foto Mbah Kadam bersama Bung Karno saat pentas di Istana Negara tahun 1967 di rumah Mbah Kadam Jl. KH Yusuf 59 RT 5 RW 4 Dusun Karangsuko Desa Tasikmadu Kecamatan Lowokwaru Kota Malang.

"Fotonya sudah lama, hitam putih. Pak Sutak, salah satu sahabat Bapak membantu membersihkan foto tersebut sehingga hasilnya makin jelas, Bung Karno berdekatan dengan Bapak." Mida Atmaja Ningtyas (32), putri Mbah Kadam menjelaskan perihal foto bersejarah yang menjadi bukti otentik perjalanan panjang Mbah Kadam dalam dunia ludruk, 31 Juli 2014. Sekali lagi saya dituntun lewat selembar foto untuk membuat sebuah tulisan.

Sang Maestro Itu pun Berpulang

Samiah (60), istri Mbah Kadam, dan Mida Atmaja Ningtyas, menuturkan bahwa Mbah Kadam sakit sepulang dari umroh. Beliau sakit asam urat dan gagal ginjal. Dan Kamis, 31 Juli 2014, subuh, Mbah Kadam berpulang. Saya membaca berita duka cita Mbah Kadam di grup whatsapp Museum Musik Indonesia, diposting oleh Mas Leo Tani Maju.

Berpulangnya Mbah Kadam membuat kesedihan mendalam bagi banyak seniman. Salah satunya Didik Nini Thowok, seniman tari Yogja." Waktu saya singgah di rumah Pak Kadam saya langsung merasa dekat dan cocok bahkan ngobrol kita sangat nyambung, bahkan guyon-guyon sampai gayeng. Itulah contoh bahwa seorang maestro sungguh-sungguh merasa dirinya biasa-biasa saja, rendah hati. Kita bisa belajar banyak dengan beliau. 

Sebenarnya saya sudah berbicara dengan Pak Kadam merencanakan kolaborasi ludruk di Yogyakarta bulan Desember besok, dengan Cak Kartolo dan istrinya juga. Akan tetapi Tuhan punya rencana lain yang kita tidak mengerti. Saya merasa sangat kehilangan seorang seniman besar. Selamat jalan Pak Kadam. Semoga Tuhan menyediakan tempat yang indah buat panjenengan di sana. Saya punya foto dengan almarhum. Beliau salah satu seniman ludruk yang sangat senior dan fokus di bidangnya. Spesialis peran cross gender. Jadi menurut saya seperti Cak Kartolo yang matang di bidang perludrukan."

Lebih lanjut, Didik Nini Thowok menuturkan bahwa sekitar tiga bulan lalu buku biografinya terbit dalam bahasa Jepang. Ditulis Prof.Madoka Fukuoka dari Osaka University. Melengkapi buku biografinya yang ditulis Herry Gendut Janarto.

Perkenalan Didik Nini Thowok dengan Mbah Kadam setahun lalu lewat Cak Marsam Hidayat, seniman ludruk asal Gondanglegi Malang.

"Indonesia memang selalu terlambat menghargai senimannya" kata Didik Nini Thowok.

Cak Marsam Hidayat, sahabatnya dalam dunia ludruk menuturkan :

"Saya merasa kehilangan, karena Pak Kadam sudah seperti orangtua sendiri. Lerok Anyar tinggalkan tokoh Mbok Sarip yang tidak ada yang menggantikan Mak Kadam menurut saya adalah sosok Mbok Sarip secara utuh. Mak Kadam banyak memberi wejangan tentang ajaran budi luhur selama berada di belakang panggung ludruk Persada, Manggala dan Lerok Anyar. Ilmu pitutur kebaikan dari Mak Kadam selalu melekat dalam hati saya. Selamat jalan Mbok Sarip, semoga Tuhan menempatkan arwah Mak Kadam sesuai amal ibadahnya".

Prof.Henricus Supriyanto mengirim ucapan duka cita lewat pesan pendek; "Bintang panggung termuda Ludruk Marhaen 1965 telah tiada. Dia setia pada janji, disiplin organisasi. Sulit mencetak bintang panggung seperti dia. Namanya besar, tapi tidak jual mahal. Selamat jalan Mama Kadam. Doaku mengiringmu."

Sosok Mbah Kadam termuat dalam buku Lakon Ludruk Jawa Timur, Henri Supriyanto, penerbit Grasindo, Jakarta, 1992 di halaman 39.

Main Film

Tahun lalu, Mbah Kadam terpilih sebagai salah satu pemeran dalam film 9 Summers 10 Autumns besutan sutradara Ifa Ifansyah. Film yang diangkat berdasar novel dengan judul serupa karya Iwan Setyawan, anak sopir angkot yang berhasil menembus New York. Adalah Herman Aga, salah satu sahabat di Batu yang juga bermain di film tersebut sebagai Mas Yani, pelatih Teater Pandu, selain sebagai acting coach.

"Mbah Kadam sebagai Mbah Carik, dukun bayi yang membantu proses kelahiran Iwan Setyawan. Satu scene dengan Dewi Irawan, Alex Komang dan Ade Irawan. Mbah Carik itu yang meramal Iwan akan menjadi 'sesuatu' di masa depan.

Yang menemukan Mbah Kadam, koordinator lokal namanya Bramasoma putra dan Nico. Mereka yang menyodorkan nama Mbah Kadam untuk berperan sebagai Mbah Carik, dukun bayi. Awalnya Mbak Dewi Irawan sebagai casting director-nya agak keberatan, karena mbah carik itu tokoh perempuan sementara Mbah Kadam kan pria tapi akhirnya Mbak Dewi berhasil diyakinkan kalau Mbah Kadam itu biasa main sebagai perempuan di pentas ludruk. Dan beliau memang berperan dengan baik sebagai Mbah Carik. Ini juga bentuk penghormatan kepada seniman ludruk senior Kota Malang. Selain Mbah Kadam juga ada Cak Wito yang biasa main ludruk dengan Kartolo cs, juga ikut main di film ini".

Herman Aga menuturkan bahwa selama proses syuting film 9 Summers 10 Autumns, Mbah Kadam bisa mencairkan suasana dan cukup religius. Tidak pernah lupa sholat lima waktu. "Beliau cerita ke teman-teman crew, kalau tidak pentas ludruk ya beliau bertani. Ini cukup mengesankan. Antara laku seni dan kenyataan keseharian seiring sejalan. Mengingatkanku pada maestro tari (pemain film juga dari Jepang, Min Tanaka) yang juga seorang petani jika tidak sedang berpentas.Kesenian harusnya tak berjarak dengan kehidupan seperti sajak Sebatang Lisong-Rendra,apa artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan, apa artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan".

Selamat jalan Mbah Kadam.Maafkan saya terlambat menuliskan perjalanan hidup panjenengan.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun