Mohon tunggu...
Abdul Malik
Abdul Malik Mohon Tunggu... Penulis seni - penulis seni budaya

penulis seni. tinggal di malang, ig:adakurakurabirudikebonagung. buku yang sudah terbit: dari ang hien hoo, ratna indraswari ibrahim hingga hikajat kebonagung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cupak Tanah

21 Januari 2018   06:09 Diperbarui: 21 Januari 2018   08:32 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cupak Tanah

oleh Abdul Malik

 

BAU dupa mulai tercium begitu memasuki Gedung Gelanggang Mahasiswa IAIN Sunan Ampel di Jalan Achmad Yani, Surabaya. Setting panggung sangat sederhana. Tampak level setinggi dua meter dan bambu berbentuk segitiga dibalut kain kotak hitam putih. Tata lampu sederhana.

Saat itu, Senin, 12 Nopember 2007 sekitar pukul 19.00 WIB. Kurang lebih 30 menit kemudian, penonton mulai memasuki ruang pertunjukan. Sekitar 200 penonton memenuhi Gedung Gema meskipun tidak semuanya membeli tiket seharga tiga ribu rupiah. Mereka berasal dari Pasuruan, Malang, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan tentu saja Surabaya. Banyaknya penonton (khususnya luar kota) yang hadir, merupakan kerja yang patut diacungi jempol dari Luhur Kayungga dkk dari Lintas Masyarakat Teater Jawa Timur. Suasana gedung cukup panas, hanya ada beberapa kipas angin, sedangkan pendingin udara tidak tersedia.

Pukul 20.15 WIB Lampu padam dan pementasan Cupak Tanah Produksi Sanggar Kampoeng Seni Banyoening, Singaraja, Bali, dimulai.[1] Sembilan pemain---dua di antaranya perempuan---muncul membawa daun pisang menutup wajah mereka. Seluruhnya memakai kostum kotak-kotak hitam putih khas Bali. Mereka bergerak di panggung sambil menumpahkan air. Tanah di atas panggung menjadi becek. Penonton hanya berjarak satu meter dengan pemain. Separuh penonton berdiri di belakang. Mereka terlihat antusias mengikuti pementasan. Salah seorang pemain membacakan riwayat Cupak.

Lampu padam karena konsleting. Pementasan berjalan terus. Lampu neon gedung dinyalakan. Di sini terlihat kekuatan pemain Cupak Tanah sebagai seniman tradisi. Terlatih spontanitas. Cupak (Nengah Wijana) tengah tiduran dengan kaki bersilang di atas level. Sembilan pemain berjejer di sekeliling Cupak. Mereka berusaha membangunkan Cupak yang sedang terlelap. Cupak bangun dengan perlahan. Mereka mulai berdialog tentang rakyat yang sudah mulai habis memiliki tanah tempat mereka hidup. Mengingatkan penonton pada tragedi lumpur Lapindo yang tak begitu jauh dari kampus IAIN Surabaya.

Humor seringkali hadir di atas pentas membalut narasi yang sarat kritik. Sehingga pementasan tidak terlalu membuat kening kita berkerut. Humor muncul dalam bentuk teks maupun bahasa tubuh. Pementasan malam itu seakan mengingatkan akan kebiasaan pemimpin di negeri kita yang mudah lupa---lupa pada tragedi lumpur Lapindo, hutan tropis Kalimantan yang mulai habis, tambang emas Freeport yang tak juga membuat masyarakat Papua sejahtera. Malam itu Milan Kundera seakan hadir menyampaikan pesan bahwa,"Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa."

Mereka memasukkan isu-isu lokal agar pementasan malam itu lebih mengena pada penonton misalnya soal pemilihan Gubernur Jatim yang memang mulai menghangat, namun tak semuanya tepat seperti ungkapan, "Harga tanah paling mahal adalah tanah Balaikota di Jalan Pahlawan". Letak Balaikota Surabaya di dekat Jalan Walikota Mustajab, sementara di jalan Pahlawan adalah kantor Gubernur Jawa Timur.

Deddy Obeng salah satu penonton memberikan komentar bahwa pementasan Cupak Tanah menarik dari sisi vitalitas dan eksplorasi bahasa tubuh, juga spontantitas pemain misalnya ketika lampu padam, terjatuh karena tanah becek di panggung.

Secara pribadi saya tertarik dengan pementasan Cupak Tanah karena Kampoeng Seni Banyoening memadukan spirit tradisi (mengingatkan pada pementasan ludruk Karya Budaya di Mojokerto) dengan semangat modern lewat sosok Putu Satria Kusuma. Dalam diskusi seusai pentas, Putu Satria Kusuma mengaku telah membaca literatur Teater Miskin (Grotowski), Teater Realis (Stanislavsky).

Tepat pukul 21.15 WIB pementasan berakhir.

Lantas berlanjut dengan diskusi dengan narasumber Drs Hardiman, M.Si (Dosen Seni Rupa Universitas Pendidikan Singaraja (Undiksha), Kurniasih Zaitun, S.Sn (dosen Teater STSI Padangpanjang Sumatera Barat), Putu Satria Kusuma (sutradara Cupak Tanah), moderator Anwar Sobary (Teater Pancar).

Suasana diskusi berjalan serius namun santai diikuti sekitar 100 peserta. Sebagian besar pertanyaan berkutat pada istilah teater tradisi dan modern. Hardiman menjelaskan perkembangan teater di Bali dan posisi Kampoeng Seni Banyoening (nama ini diberikan oleh penyair Umbu Landu Paranggi) sebagai sebuah kampung seni. Pada bagian lain Hardiman menjelaskan sosok Putu Satria Kusuma sebagai warga Kampoeng Seni Banyoening namun terpengaruh juga dengan kehidupan teater di luar Kampoeng Seni.

Kurniasih Zaitun merasa terkesan dengan penampilan Cupak Tanah di mana spirit tradisi begitu kental. Putu Satria Kusuma menjelaskan pemilihan bentuk setting yang berbeda dari dua tempat sebelumnya---Celah celah langit (Bandung) dan ISI (Yogyakarta). Sebagai penutup Halim HD menjelaskan ada baiknya peserta diskusi tidak terlalu mempersoalkan istilah tradisi dan modern tetapi lebih melihat pada vitalitas tubuh aktor dan tema yang diusung malam itu bahwa tanah bukan hanya persoalan tempat tinggal tetapi hidup mati. Diskusi berakhir pukul 22.30 WIB.

Banyaknya penonton malam itu semoga menunjukkan indikasi segmentasi penonton seni di Surabaya sudah mulai terbentuk mengingat pada saat yang sama Taman Budaya Jatim sedang menyelenggarakan Festival Cak Durasim. Selamat dan sukses untuk pementasan Cupak Tanah Sanggar Kampoeng Seni Banyoening.*

*Tulisan ini adalah liputan pementasan teater dari Sanggar Kampoeng Seni Banyoening, Singaraja, Bali, sebagai salah satu lembaga penerima hibah seni untuk program Pentas Keliling dari Yayasan Kelola. Liputan ini sekaligus sebagai bentuk keterlibatan langsung saya untuk kesekian kalinya di Yayasan Kelola sejak berdiri 1999. Sebelumnya ini saya terlibat langsung dengan program Yayasan Kelola menjadi peserta Lokakarya Penulisan Karya Tari dan Teater. Nirwan Dewanto (sastrawan, editor, pengulas seni) menjadi pemateri dari kegiatan yang diadakan di Cisarua, Bogor, 9-11 April 2005.  Yayasan Kelola  adalah yayasan untuk seni dan budaya yang memberi banyak kontribusi bagi perkembangan seni budaya di negeri ini.

[1] Tulisan ini adalah liputan pementasan teater dari Sanggar Kampoeng Seni Banyoening, Singaraja, Bali, sebagai salah satu lembaga penerima hibah seni untuk program Pentas Keliling dari Yayasan Kelola. Liputan ini sekaligus sebagai bentuk keterlibatan langsung saya untuk kesekian kalinya di Yayasan Kelola sejak berdiri 1999. Sebelumnya ini saya terlibat langsung dengan program Yayasan Kelola menjadi peserta Lokakarya Penulisan Karya Tari dan Teater. Nirwan Dewanto (sastrawan, editor, pengulas seni) menjadi pemateri dari kegiatan yang diadakan di Cisarua, Bogor, 9-11 April 2005.  Yayasan Kelola  adalah yayasan untuk seni dan budaya yang memberi banyak kontribusi bagi perkembangan seni budaya di negeri ini.

     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun