Mohon tunggu...
Abdul Malik
Abdul Malik Mohon Tunggu... Penulis seni - penulis seni budaya

penulis seni. tinggal di malang, ig:adakurakurabirudikebonagung. buku yang sudah terbit: dari ang hien hoo, ratna indraswari ibrahim hingga hikajat kebonagung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Novel "Student Hidjo" Karya Marco Kartodikromo

18 Januari 2018   14:09 Diperbarui: 18 Januari 2018   21:58 7403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama belajar di Belanda, Hijo tergoda oleh Betje, putri induk semangnya, dan sempat hidup bergaya eropa. Namun hal itu tak berlangsung lama.

"Saya mesti pulang ke Jawa," kata Hijo dalam hati waktu ia duduk di bawah pohon dan memperlihatkan lautan yang luas. "Sebab kalau saya terus belajar di Belanda sini, barangkali tidak jarang kalau saya terus jadi orang Belanda, karena saya tentu kawin dengan seorang nona Belanda. Kalau saya meninggalkan sanak famili dan bangsaku...bah!Europeeschebeschaving! (hal.132)

Di bagian lain novel ini, Marco menggugat hubungan bangsa Belanda dan Jawa, dalam hal pekerjaan dan perkawinan, melalui dialog antara Controleur Walter dan Regent Jarak.

"Bercampuran bangsa itu bisa jadi baik, kalau bangsa satu dan lainnya sama derajatnya, sama kekuatannya, sama kepercayaannya, dan lain-lain.Kalau tidak begitu, saya kira susah sekali.Biasanya jadi baik itu perkara assosiate (persaudaraan).Lebih-lebih buat kita orang Bumiputera,itu susah sekali bisa melakukan assosiate dengan bangsa Eropa memandang kita seperti budaknya. (hal.134-135)

Selain sebagai jurnalis, Marco adalah aktivis Sarekat Islam (SI).Karenanya bisa dimaklumi jika dalam novel ini digambarkan suasana Kongres SI di Sriwedari, Solo, 3 Maret 1913.(hal.150-165)

Di zaman kolonial, pemerintah menetapkan seluruh bacaan berbahasa Melayu-Tionghoa atau Melayu rendah sebagai "bukan sastra" dan bahkan sebagai "bacaan yang merusak akhlak dan berbahaya", termasuk disini karya Marco. Tindakan pemerintah mendapat dukungan dari "penguasa sastra "sezaman, yaitu commissie voor de volkslectuur(komisi bacaan rakyat) yang kemudian menjadi Balai Pustaka.

Lembaga ini secara agresif mengembangkan kritik sastra untuk mengenyahkan "bacaan tak bermutu" alias bermuatan politik serta roman picisan dari khazanah sastra saat itu, dan sebagai gantinya mengembangkan sastra Balai Pustaka yang "bermutu tinggi". 

Pemisahan "sastra bermutu" dan "tidak bermutu" -sejak awal-lahir dari percampuran kepentingan penguasa politik untuk menekan ekspresi yang mengancam dan pemikiran "penguasa sastra" yang bekerja dalam kerangka kekuasaan pihak pertama.(Menentang Peradaban pelarangan buku di Indonesia, Jaringan Kerja Budaya, ELSAM,1999).

Penerbitan kembali novel Student Hidjo oleh Yayasan Aksara Indonesia, Yogyakarta, seperti halnya Kesusatraan Melayu Tionghoa sebanyak 25 jilid oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta perlu mendapat dukungan banyak pihak, untuk melengkapi sejarah Sastra Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun