Mohon tunggu...
Abdul Malik
Abdul Malik Mohon Tunggu... Penulis seni - penulis seni budaya

penulis seni. tinggal di malang, ig:adakurakurabirudikebonagung. buku yang sudah terbit: dari ang hien hoo, ratna indraswari ibrahim hingga hikajat kebonagung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mat Pelor, Sang Anak Zaman dari Kepanjen

17 Januari 2018   22:52 Diperbarui: 18 Januari 2018   12:34 1924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BATAVIA 1830. Pada tahun itu jang menjadi Gubernur Djenderal adalah Van den Bosch, si pentjipta "tanam paksa", sistim ini dilakukan untuk mengisi kekosongan kas pemerintahannja akibat beaja2 jg dikeluarkan terus menerus untuk menanggulangi, perang-djawa jg dicetuskan oleh Pangeran Diponegoro!

ROMAN SEJARAH demikianlah Teguh Santosa (1942-2000)  menyebut komik Sandhora yang dibuatnya pertengahan Oktober 1969 tersebut. Kita dapat membaca teks di atas di komik Sandhora jilid 3 halaman 156. Teks tersebut memantapkan pembaca bahwa komik Sandhora yang diterbitkan U.P Pantjar Kumala, Jakarta merupakan sebuah roman sejarah. Terdiri dari 9 jilid setebal 540 halaman. Teguh Santosa menggambar komik Sandhora dengan setting serampung perang Diponegoro (1825-1830).

Theresia Sandhora, nama lengkap Sandhora, merupakan putri kembar Djenderal van Lawick dan Esterlitta (dari keluarga Gipsy). Margaretha nama saudara kembar Sandhora. Saat Sandhora berusia satu tahun dititipkan pada Marcos Varga, pedagang senjata, kakak Esterlitta. Marcos membawa Sandhora ke Filipina yang merupakan koloni Spanyol. (komik Sandhora jilid 3 halaman 169-170).

Menurut penuturan Dhany Valiandra (48), putra kedua Teguh Santosa, nama Sandhora terinspirasi dari nama Titiek Sandhora, penyanyi dan bintang film tahun 60-an, istri Muchsin Alatas.

Dikisahkan, Theresia Sandhora menjalin asmara dengan Mat Pelor. Lelaki anak wedana di Surabaya yang memiliki nama asli Achmad. Mat Pelor, piawai dalam menggunakan senjata serupa namanya, mengawal Sandhora saat kumpeni mengejar kapalnya di laut sumatera hingga terdampar di sebuah teluk di Sumatera Tengah. Disini, Teguh Santosa meramu  roman sejarahnya dengan menarik. Mat Pelor dan konco pleknya Dul Rasjid, serta Sandhora terseret masuk dalam kecamuk Perang Padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol tahun 1803-1838 di Sumatera Barat.

Petualangan dilanjutkan ke sebuah pulau di selat Malaka milik Hamid Sulthon, orang Gujarat, pedagang senjata dan memiliki hubungan khusus dengan Thomas Stanford Raffles. Cerita bergeser dari satu pulau ke pulau lain. Dari Weltevreden, komplek militer Belanda di Batavia hingga ke bumi Minahasa di pulau Sulawesi.

Sang anak jaman

Mat Pelor muncul saat preview pameran seni komik Trilogi Sandhora karya Teguh Santosa di House of Juminten Jl.Kahuripan 18 Kota Malang, Minggu (24/5/2015). Mat Pelor hadir lewat sosok Jumali (46), seniman multi talenta kelahiran Kepanjen. "Mat Pelor adalah anak jaman. Dia memilih melawan kumpeni ketimbang menjadi begundal tengik kumpeni," tukas Jumali, alumnus Institut Seni Indonesia, Jogjakarta. Sejak SMA, Jumali kerap main ke rumah Teguh Santosa di Jl.Anjasmoro 10 RT 7 RW 2 Kepanjen. Sering berdiskusi dengan Teguh Santosa saat beliau rehat menggambar komik. 

Tak heran, jika Jumali akrab dengan semua putra putri pasangan  Teguh Santosa dan Sutjiati. Tea Terina Onwardhini (l.1965), Dhany Valiandra (l.1967), Aprodita Anggraeni (l.1969), Dhodi Syailendra (l.1977). Jumali sama-sama bersekolah di SMA Kepanjen dengan Aprodita Anggraeni, putri ketiga Teguh Santosa. Saat kuliah di Jogja, Jumali gandeng renteng dengan Dhany Valiandra yang kuliah di IKIP Negeri Jogjakarta. 

Kedekatan Jumali dengan Teguh Santosa dan keluarganya membuat Jumali rileks menafsirkan sosok Mat Pelor dalam kekinian. "Sosok Mat Pelor akan selalu hadir dimana keadilan dan keberpihakan pada rakyat sudah lenyap," imbuh Jumali yang pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya.

Seusai memerankan Mat Pelor di preview pameran seni komik Trilogi Sandhora di House of Juminten, Malang, Jumali menuangkan ide untuk membuat Wayang Komik Mat Pelor untuk launching komik Trilogi Sandhora di Malang, 25 Oktober 2015.

Jumali memang seniman dan aktivis kebudayaan yang selalu gelisah. Tahun ini, agenda kebudayaannya begitu padat, antara lain roadshow Wayang Soekarno Kecil bersama Arie Sai Bhumi dan Vivian Idris. Peristiwa kebudayaan tersebut bermula dari skenario film Bung, Son of The Dawn karya Arie Sai Bhumi, diterbitkan Surya Karsa Bumi Nusantara, Jakarta tahun 2014. Arie Sai Bhumi menulis skenario film tersebut sebagai kado 70 Tahun Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 2015. Bukan hanya Wayang Soekarno Kecil, Jumali juga tengah melakukan riset Wayang Tenun untuk film dokumenter Tenun Toraja. Dan, Wayang Siluet-nya telah dikoleksi SDIT Bekasi sebagai media pembelajaran.

Layar lebar

Di komik Sandhora jilid 8, Teguh Santosa membubuhkan tulisan Strip scenario. Membaca halaman demi halaman komik Sandhora seperti sedang menonton adegan film. "Karakter komik Bapak memang banyak  terinspirasi adegan film. Mulai penggambaran karakter tokoh  dengan angle ekstrem close up sampai adegan out of frame yang terinspirasi film 3 D," kata Dhodi Syailendra, putra bungsu Teguh Santosa. 

"Di tahun 80-an Komik Sandhora sudah ada rencana untuk diangkat ke layar lebar. Pada waktu itu tokoh Mat Pelor akan diperankan oleh Alm.Dicky Zulkarnain (Ayahanda Nia Zulkarnain). Karakter beliau cocok dengan karakter tokoh Mat Pelor". 

Dhodi Syailendra, alumnus SMAN Gondanglegi dan Institut Seni Indonesia, Jogjakarta Jurusan Fotografi, kini fotografer di majalah Men's Emporium, Jakarta. "Seandainya Komik Sandhora diangkat ke layar lebar, harapanku bisa terinspirasi film 'Pirates of the Caribbean'. Khususnya adegan yang ber-setting di perairan laut Thailand pada tahun 1960-an".

Sebenarnya Indonesia punya banyak kisah yang bisa diangkat ke layar lebar. Mulai dari kisah rekaan / fiksi para komikus dan penulis cerita, sampai kisah legenda yang ada di Indonesia. Semua itu bisa divisualkan ke media film dengan sentuhan teknologi digital. Dan Indonesia sudah banyak memiliki para 'art worker' yang memiliki kemampuan di bidang tersebut. Jangan sampai cerita legenda Indonesia diangkat ke layar lebar oleh pihak Hollywood. Dan itu bisa saja terjadi, karena saat ini kisah Majapahit sudah diangkat menjadi sebuah game di Amerika. Dhodi Syailendra, menambahkan.

Memang, menurut penuturan Dhany Valiandra, putra kedua Teguh Santosa, sutradara Hanung Bramantyo (40), sedang membaca komik Trilogi Sandhora karya Teguh Santosa. "Dulu Bapak berpesan kalau Trilogi Sandhora diangkat ke layar lebar, filmnya harus hitam putih.".

Epilog

Mat Pelor adalah anak wedana di Surabaya. Achmad, nama aslinya, lebih memilih keluar dari 'zona nyaman'. Senantiasa membela rakyat dari perlakuan tak adil kumpeni. Ada 'elan vital' dalam tubuh Mat Pelor. Meski tubuhnya makin ringkih, karena peluru menembus bahu kanannya, dan kaki kanannya harus diamputasi, semangatnya tak lekang melawan kebatilan. Mat Pelor menolak menjadi 'begundal tengik' kumpeni. 'Elan vital' dalam tubuh Mat Pelor-lah yang membedakannya dengan sosok Hamid Sulthon, Nisayo, Marcos Varga, Hasan Badrowi, Miguel, Letnan Daniel, Djenderal van Lawick, Bondjet, Major Djenderal Dudzeele, tokoh-tokoh dalam komik Sandhora karya Teguh Santosa. 

Sosok Mat Pelor dapat menjelma menjadi sosok Munir, Hazim Amir, Ratna Indraswari Ibrahim,  Marsinah, Tjokroaminoto, Tan Malaka, Wiji Thukul, Sakerah, Soekarno, Gus Dur, Romo Mangunwijaya, Rendra, Max Arifin, KH Nawawi, Cak Durasim, Soewono Blong. Sosok Mat Pelor adalah representasi dari Vox populi vox dei. Suara rakyat suara Tuhan. Kita tak mampu  membungkam Mat Pelor karena Mat Pelor adalah bayang-bayang yang setia mengikuti kita kemanapun kita pergi. Selama ketidakadilan dan kesewenang-wenangan masih ada, Mat Pelor akan muncul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun