Dalam proses riset mengumpulkan data-data tentang lokalitas dan sejarah Polowijen, Dwi Setyorini berkenalan dengan Pak Isa Wahyudi dari Kampung Budaya Polowijen. "Di Kampung Budaya Polowijen masyarakat dapat belajar membuat topeng, menari topeng, membatik, juga mocopat". Hasil diskusi intens dengan Pak Isa Wahyudi mewujud 11 motif batik tulis khas Polowijen, antara lain: Ragil kuning,Watu dakon,Sumur windu, Pari gogo, Sawah,Ken Dedes.
Dwi Setyorini menguraikan proses membatik di Batik Wisnu. Setelah motif batik selesai di pindah gambar di kain. Proses ini disebut memola, lalu di klowongi atau dibatiki.Setelah itu diberi isen-isen, berupa cecek dan sawut, titik-titik dan garis-garis kecil.Selanjutnya di colet dulu motif-motifnya. Setelah motif selesai dicolet warna lalu mewarna dasarnya. Boleh tehnik colet, boleh tehnik tutup celup.Terakhir warna dikunci atau ditutup supaya tidak luntur lagi. "Saya memakai remasol agar pewarnaan lebih praktis dengan penguat atau pengunci warna pakai waterglass," jelas Bu Rini.Â
Menurutnya, jenis remasol ino menghasilkan warna yang cerah mencolok dan praktis.Jenis indigosol, tergantung dengan sinar matahari, kalau mendung tidak akan timbul warna.Penguat warnanya atau penguncinya pakai asam nitrit, air aki dan air tawar. Menghasilkan warna cerah ngedop."Kalau pakai naptol, ibu-ibu yang ikut pelatihan banyak yang mengeluh karena susah menghafal rumus.Jadi banyak yang gagal mewarna.Makanya saya ambil kesimpulan pakai remasol,"jelas Bu Rini. Perlu proses empat hingga lima hari hingga kering. Wisnu Batik motif Polowijen dijual antara 200 sampai 250 ribu rupiah.Ukuran kain batik 2,25 meter per potongnya.
Sehari-hari Dwi Setyorini adalah guru kelas di SDN Tunjungsekar 1 disebut juga dengan SD Brugge.Karena di jaman Belanda dulu yang mendirikan sekolah itu orang Belgia. Alamat sekolahnya di Jalan Ikan Piranha atas no 187, depan Kelurahan Tunjungsekar Kota Malang. Di sekolah tersebut ada ekskul kriya batik.Diikuti anak kelas 3,4,5.Karena di sekolah unggulan non akademiknya adalah batik. Â "Saya tanamkan untuk mencintai budaya bangsa sendri.Kadang mereka saya datangkan mahasiswa saya yang juga belajar batik.Karena orang asing jadi anak-anak senang,ternyata bangsa lain juga mencintai batik kita," jelas Dwi Setyorini. Setiap tamu sekolah, selalu diberinya kartu nama Wisnu Batik. Menurutnya hal itu cukup efektif. Nama Wisnu Batik dikenal di luar Jawa, bahkan sampai ke Malaysia.
Workshop Batik
Sejak sepuluh tahun silam, Dwi Setyorini intens mengadakan pelatihan batik untuk masyarakat umum, pelajar termasuk mahasiswa asing yang sedang kuliah di Malang. Jumlahnya paling banyak 21 mahasiswa setiap semester. Kalau di ABM khusus mahasiswa Jepang.Di Polinema 5 sampai 6 orang. Dwi Setyorini mencatat asal mahasiswa yang pernah belajar batik padanya. Ada yang dari Nepal,Laos,Thailand,Vietnam,Ceko, Swedia, Palestina, Sudan, Cina, Scotlandia.
"Ada mahasiswa dari Jepang, saat kuliah di Malang ikut workshop batik. Serampung kuliah kembali ke Jepang. Ternyata datang lagi ke Wisnu Batik untuk belajar  membatik," kenang Dwi Setyorini dengan wajah sumringah.
Wisnu Batikberdiri tahun 2013.Sebelumnya bernama Batik Srikandi Putra."Terus saya pikir kok ndompleng mertua namanya. Gak enak. Setelah saya ngurus SIUP namanya saya ganti Wisnu Batik. Alhamdulliah setelah ganti nama kok lancar..", jelas Dwi Setyorini. Menurut penuturan Dwi Setyorini (49), hingga saat ini tidak pernah ada yang memberi modal."Selama ini, semua modal pribadi sendiri. Sudah sering dimintai proposal dan riwayat usaha,tapi tidak pernah ada satupun yang membantu modal. Semoga setelah kegiatan ini, BAZNAS Kota Malang berkenan memberi bantuan modal ke saya."