“Tahun 2566 lahir Nabi Khong Hu Cu. Tempat ibadahnya di klenteng. Firmannya adalah setia akan firman Tuhan. Bertepo salira terhadap sesama. Berwatak sejati, cinta kasih, dapat dipercaya, kebenaran, susila, bijaksana. Firman Tuhan bahwa di empat penjuru lautan kita semua adalah saudara,” kata Bonsu Anton,mewakili umat Khong Hu Cu.
Pdt. DR. Yakob Tomatala dari Badan Kerjasama Gereja-Gereja di Malang menyatakan bahwa kalau kita mau meningkatkan kebersamaan, meningkatkan kata saling mengasihi, saling tolong menolong, saling saling yang sifatnya positif maka kita harus menghindari saling yang sifatnya negativ. Maka kasus Tolikara tidak terjadi. “Malang adalah miniatur Indonesia yang menggambarkan kesatuan, keberagaman. Sangat berharap, setelah kita pulang dari Dialog lintas Agama kita tidak lupa. Perlu diimplementasikan di kehidupan sekitar. Yang besar menyayangi yang besar, yang kecil menghormati yang besar.”
Bukan hanya Pdt.DR.Yakob Tomatala yang berharap adanya kerja kongkrit sepulang dari Dilalog Lintas Agama. Harapan serupa disuarakan oleh Pak Mateus, mewakili jemaat Kristen yang hadir.Dan seratusan peserta Dialog Lintas Agama yang hadir di Balai Desa Kebonagung.
Pak Soleh, Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Malang memberikan catatan menarik bahwa saat Pak Sukri, menjadi Kepala Desa Kebonagung tahun 1989-1998, sudah pernah dibentuk forum kerukunan antar umat beragama di Desa Kebonagung. “Kami saling berkunjung ke tempat ibadah. Saya ke pura lima kali. Tiap hari besar agama warga saling silaturahmi. Dalam kesempatan ini FKUB mengusulkan agar dibentuk semacam FKUB di Desa Kebonagung.Namanya bisa Paguyuban Antar Umat Beragama.”
Dan Bapak Teguh Santosa, Kepala Desa Kebonagung pun bersedia memfasilitasi terbentuknya Paguyuban Antar Umat Beragama di Desa Kebonagung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H