Selain ditata menjadi museum musik modern, Museum Musik Indonesia juga dimaksudkan sebagai tempat tujuan wisata di Malang.Saat ini tercatat seribu pengunjung per tahun ke Galeri Malang Bernyanyi.
Dionisius Dino Briananto (23), mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Brawijaya, penyuka musik urun rembug. “Sebelumnya saya sangat mengapresiasi mengenai usaha keras Galeri Malang Bernyanyi sebagai bank data koleksi yang tercatat lebih dari 16.000 koleksi tertampung berupa karya berasal dari Indonesia bahkan luar negeri. Sumbernya berasal dari donasi dari komunitas maupun atas nama perseorangan selaku sesama penikmat karya musik. Hingga kini pengelolaannya bersifat mandiri menggantungkan dana dari donator seiring bertambahnya jumlah koleksi karya musik yang melebihi kapasitas ruang dari segi ruang perawatan maupun ruang display. Persoalan ini bukan hanya mengenai kapasitas atau kenyamanan ruang atau dana donatur saja, namun terdapat hal yang lebih krusial.” Doni, panggilan akrabnya, sedikit terinspirasi perkataan John Lennon dalam suratnya yang ditulis tahun 1971 namun baru tertuju tahun 2005 kepada salah seorang folk-singer Inggris bernama Steve Tilston. Isinya kurang lebih seperti ini, “Being rich and famous doesn’t change the way you think, It doesn’t corrupt your art. Only you can do that.” Benang merahnya yang dapat ditarik adalah seperti ini, dalam konteks tumbuh-kembangnya galeri, sudah seharusnya lebih memperhatikan pelaku karya kesenian lokal Kota Malang yang saat ini sedang bernyanyi dan jujur menyampaikan pesan-pesannya dalam tiap karyanya. Mengadakan kesempatan jejaring ruang-networking tidak hanya ekshibisi namun inkubasi, diskursus, panggung pertunjukan hingga paling penting adalah visi bersama. Menjadi payung bernaung bagi pelaku kesenian sekarang yang kontekstual, dalam artian berbasis pada realita kini terutama terkait demografi tadi, tanpa melupakan pembelajaran masa lalu untuk menempuh perbaikan masa depan. Rekam jejak dan kuratorial juga hal penting tidak hanya terpaku pada romantika masa lalu saja namun melihat realita kekinian menjadi krusial, karena mereka juga menjadi pelaku sejarah mewarnai dunia musik lokal Kota Malang. Karena era ini sudah melampau era modernisme, atau boleh disebut era post-modernisme yang kehilangan kemampuan kolektif, dan saling terkotak-kotak begitu pula dengan permasalahan menumpuk pelaku seni musik lokal yang harusnya diselesaikan bersama. Era ini karya-pelaku-penikmat tidak terbatas pada ruang nyata untuk interaksi, namun ruang maya juga sebagai senjata interaksi. Organik berarti terkait dengan rasa memiliki dan penghayatan karya seni (terutama musik), berarti sebelum melangkah ke skala yang lebih luas, galeri harus mampu menjadi tempat bernaung untuk semua kalangan, keterbukaan adalah kuncinya, realita basisnya bukan hanya impian, dan saling memberi manfaat.
[caption caption="Drs.R.Eddy Herwani Didied Mahaswara, pemegang hak cipta nama Museum Musik Indonesia memberi izin penggunaan nama Museum Musik Indonesia ke Galeri Malang Bernyanyi. Hengki Herwanto mewakili Galeri Malang Bernyanyi. Penandatanganan diadakan di Ciputra Museum dan Gallery, Jakarta Selatan, (29/6/2015)" ]
Beasiswa untuk karya tulis musik
Secara pribadi saya tertarik dengan program Galeri Malang Bernyanyi yang dipaparkan Hengki Herwanto yaitu beasiswa untuk karya tulis yang terkait musik Indonesia.Salah satu koleksi Galeri Malang Bernyanyi adalah sebuah skripsi dari Septanti Ariani, mahasiswi Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya, 2014 berjudul Sylvia Saartje: Lady Rocker di Indonesia 1978-1997. Selama proses riset penulisan skripsi, selain melakukan wawancara dengan Sylvia Saartje (57), salah satu pendiri Galeri Malang Bernyanyi, Septanti Ariani juga menyimak lagu-lagu Sylvia Saartje. Beruntung, Galeri Malang Bernyanyi mendokumentasi dengan baik koleksi piringan hitam maupun kaset Sylvia Saartje. Antara lain album Biarawati yang merupakan debut pertama Sylvia Saartje. Direkam oleh Irama Tara tahun 1978, dan Ian Antono sebagai penata musiknya. Album tersebut memuat komposisi Biarawati, Balada gadis tua, Biarkan aku bebas, Pendeta durna, Opera dosa, Lelaki durjana, Gadjah mada, Kereta terakhir ke Djakarta.
Mahasiswa lain yang sedang menulis skripsi dengan mengakses koleksi Galeri Malang Bernyanyi adalah Mohamad Ulil Albab. Mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember tersebut sedang menulis skripsi dengan judul Intervensi dan kontrol Negara Terhadap Lagu Lagu Kritik di Indonesia Tahun1959-1998: Studi Tentang Kontrol Negara Terhadap Kreativitas Seni dan Budaya. Sebelum ke Galeri Malang Bernyanyi, Mohamad Ulil Albab sudah ke Yogyakarta, mencari sumber untuk kebutuhan penelitian; mulai ke lapak-lapak buku bekas, komunitas, dan Arsip Daerah, namun belum menemukan sumber-sumber yang mencukupi. Hanya beberapa kliping koran dari Majalah Hai dan Zaman.
“Setelah datang ke Galeri Malang Bernyanyi, saya bisa langsung menemukan beberapa kebutuhan sumber seperti, buku Musisiku, Hoegeng, Koesplus, Industri Musik, Rock n' roll, dan beberapa kliping majalah musik, seperti Aktuil, Vista, dll. Belum lagi, melalui Galeri Malang Bernyanyi saya bisa dihubungkan dengan beberapa jaringan para pelaku sejarah seperti Pak Koestono -mantan manager dan bodyguard Koes Plus, sekaligus memiliki status sebagai militer. Selain itu, saya juga sempat mewawancarai salah satu personil God Bless juga berkat bantuan Galeri Malang Bernyanyi, terutama Pak Hengki Herwanto sebagai pihak yang mewakili, untuk meminta Donny Fatah agar mau memberikan waktu wawancara kepada saya. Akhirnya bisa mengetahui bagaimana kondisi musik rock di era transisi Pemerintahan Soekarno ke Pemerintahan Soeharto” katanya. Saya bertemu Mohamad Ulil Albab di Galeri Malang Bernyanyi, saat dia menunggu kesempatan wawancara dengan Yon dan Yok Koeswoyo yang sedang tour show di Malang.(8/6/2015).