Pengalaman tersebut sempat saya sampaikan saat saya menjadi salah satu narasumber dalam Dialog Budaya dalam rangka Restrukturisasi dan Revitalisasi Dewan Kesenian Jombang. Diselenggarakan Kantor Pariwisata Budaya Pemuda dan Olah Raga Jombang, Rabu, 5 November 2008 pukul 08.30 wib di Taman Tirta Wisata Jombang.
Pengalaman lain yang ingin saya sharing adalah saat saya berinteraksi dengan Ludruk Karya Budaya Mojokerto. Masih tetap sama: bermula dari sebuah warung kopi. Kali ini di warung kopinya Mbak Yani samping Kantor Dinas Pendidikan Kota Mojokerto Jl.Karyawan. Saya sedang ngobrol santai dengan Drs H Eko Edi Susanto, Msi, pimpinan ludruk Karya Budaya Mojokerto yang juga PNS di Dinas Pendidikan Kota Mojokerto. Sambil minum kopi beliau sibuk membagi selembar kertas berisi daftar tanggapanludruk Karya Budaya. Menurut Pak Edi, selembar kertas tersebut sangat diminati oleh para penjual yang setia mengikuti kemanapun Ludruk Karya Budaya nerop.
Terbersit dalam benak saya : Kalau daftar tersebut saya ketik dan saya sebarluaskan pada sejumlah milis di internet apakah ada pengaruhnya? Apakah ada peminat ludruk di dunia maya? Ternyata ada. Salah satunya Prof Barbara Hatley dari University of Tasmania. Beliau mengirim email dan ingin menonton ludruk karya Budaya di Lakarsantri, Surabaya, Agustus 2003. Bu Barbara membaca daftar terop Ludruk Karya Budaya yang saya sebar di milis ozindonculture dan perempuan. Alhasil, kami pun “copy darat” beberapa kali. Bu Barbara juga nonton dan mendokumentasi pentas ludruk Karya Budaya, baik di Lakarsantri, Surabaya maupun saat nerop di belakang pabrik Ajinomoto Mojokerto. Catatan Bu Barbara dituangkan dalam reportase singkat dan dimuat dalam katalog ludruk Karya Budaya saat mengikuti Festival Ludruk Jawa Timur, 7 Oktober 2004 di Gedung Utama Balai Pemuda Surabaya. Lakon yang diusung adalah Warisan Mak Yah, ditulis Hardjono WS dengan sutradara Mudjiadi Zakaria.
[caption id="attachment_352397" align="aligncenter" width="300" caption="Prof Barbara Hatley dari University of Tasmania. (foto: dok. Barbara Hatley)"]
Pentas Warisan Mak Yah didukung Yanti, Mudjiadi Zakaria, Budi Kentut, Trubus, Jaswari, Erna, Liwon, Dina Cip, Isbandiah, Winarti, Gawok, Slamet Riadi, Muzet al Huda, Riyanto, Joko Pitono (remo). Dagelan : Cak Trubus, Cak Slamet dan Cak Joko Pitono). Cak Supali absen.
Sebelas tahun telah berlalu sejak daftar terop ludruk Karya Budaya Mojokerto saya sebarkan ke beberapa milis di internet. Saya bertemu lagi dengan Pak Edi Karya pimpinan ludruk Karya Budaya Mojokerto. Masih tetap di warung kopi. Kali ini di kantin Dinas Pendidikan Kota Mojokerto yang telah berpindah ke Jl.Benteng Pancasila. Pak Edi dengan wajah berbinar mengabarkan perkembangan menarik dari publikasi ludruk Karya Budaya Mojokerto di dunia internet. Pertama: Ludruk Karya Budaya Mojokerto menerima dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari PLN sejak tiga tahun lalu. Besarnya sekitar tiga puluh juta per tahun. Kedua: Ludruk Karya Budaya Mojokerto menerima penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai lembaga seni terbaik. Ketiga: Ludruk Karya Budaya Mojokerto menerima penghargaan dari Aburizal Bakrie. Keempat: Kantor Berita ANTARA di Jakarta meliput dan mendokumentasikan Ludruk Karya Budaya Mojokerto dalam sebuah program untuk tayangan televisi. Pak Edi menjelaskan bahwa para kurator, panitia, tim jurnalis dan manager CSR mengaku mendapatkan data ludruk Karya Budaya dengan cara mengetik “ ludruk” pada mesin pencari Google. Hari ini memang era-nya internet.
[caption id="attachment_352398" align="aligncenter" width="300" caption="Cak Edy Karya, Pimpinan Ludruk Karya Budaya Mojokerto. (foto: Abdul Malik)"]
Tak boleh diabaikan adalah kerja keras dan tak kenal lelah dari tim publikasi Ludruk Karya Budaya Mojokerto: Jabbar Abdullah dan Syaiful “Glewo” Anam. ‘Beliau’ berdua bekerja tanpa pamrih. Dalam amatan saya update data adalah bagian yang paling membutuhkan energi dan daya tahan tubuh. Kendala utamanya adalah kemalasan dan dana operasional. Bulan ini, ada dua hal menarik menyikapi perkembangan Ludruk Karya Budaya.
Satu: Ludruk Karya Budaya membuat website www.ludrukkaryabudaya.org. Menurut Pak Edi Karya, pembuatan web ini juga bagian dari bagaimana sebuah lembaga seni tradisi bertahan hidup dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi. Admin website dikelola oleh Jabbar Abdullah dan Syaiful “Glewo” Anam.
Kedua: Ludruk Karya Budaya menerbitkan buku Mbeber Urip, memuat catatan pengalaman Pak Edi Karya dalam mengelola manajemen Ludruk Karya Budaya Mojokerto sehingga tetap survive hingga hari ini. Penerbitan buku tersebut patut disambut gembira dan dapat menjadi motivasi bagi kelompok ludruk dan seni tradisi lain.Editor buku tersebut adalah Agung Priyo Wibowo, SS, alumni Sekolah Tinggi Bahasa dan Sastra Malang; Danial Ahmad, pendiri Warung Grafis Indonesia mengerjakan desain cover dan tata letak dan Jabbar Abdullah menyiapkan materi tulisan dan foto.
Kesenian khususnya seni tradisi tidak perlu ragu mencatatkan diri pada fasilitas informasi gratis internet semisal blog, facebook, twitter, youtube, dll. Milis atau kelompok diskusi yang dikelola yahoo.com merupakan salah satu sarana yang efektif untuk menyebarluaskan informasi kebudayaan. Saya menautkan email saya pada milis: lintaseni, mediacare, artculture-indonesia, ozindonculture, perempuan.