Sekiranya mampu, maka sungguh ingin kumelesat menuju tempat kau berada. Menatap dalam-dalam dua bening di wajahmu, mengeja kalimat demi kalimat yang kau ucap tanpa suara. Dalam diam yang jujur kita bercerita. Sehitam, sepahit atau seperih apapun.
Sesaat mataku rabun, telingaku pekak oleh kabar sore yang terbawa bersama gemuruh petir, tanpa sebuah penanda. Guruh galau pelan-pelan merajam helai demi helai kasihku padamu. Mengguntingi kuncup-kuncup rindu yang kunanti semi. Menghempasku tergugu memeluk lutut dalam sepi yang bersenandung pilu.
Sungguh ingin aku benam dalam hangat pelukmu. Rebah pada lapang dadamu. Mencari damai yang mewarnai malam-malam kita. Menatap dua cermin di wajahmu. Namun, sesuatu yang tak kukenali namanya itu menjerat kedua kakiku. Mematahkan kepak sayapku. Memaksaku diam. Beku.
Mungkin kini kau pun pelan-pelan menghilang, dalam tembok bisu tak peduli. Hanya lirih bisik angin kemarin sore membawa suaramu: be tough, don’t’ be sad. Lalu, kita tenggelam dalam hening panjang tak berjeda. Memeluk luka kita masing-masing.
Sekiranya mampu, maka sungguh ingin kumelesat menuju tempat kau berada, membisikkan sekalimat pendek dalam kuyu remuk tubuh ini: dalam bait do’a, kau selalu ada.
2011
Sumber gambar ada di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H