[caption caption="Sumber pic: http://sites.psu.edu/ngupta/2014/09/05/im-civic-yeah-im-civic/"][/caption]
Â
Tidak semua peradaban saling berbenturan, tapi berbauran. Premis ini diajukan Graham E. Fuller dalam bukunya Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam? untuk menjawab apa yang sering dikatakan sebagai ‘Ramalan Huntington’ oleh orang-orang. Samuel P. Huntington pernah mengatakan bahwa, peradaban pasca-Perang Dingin akan saling berbenturan. Bagi Huntington, hanya ada satu cara untuk hal-ihwal itu: Barat harus bersikap reaktif dalam sejumlah benturan tersebut. Barat harus hadir dalam benturan-benturan tersebut. Hadir dalam bentuk penengah konflik, bukan sebagai ‘pelaku’.
The Clash of Civilazations, atau benturan antar-peradaban, sepertinya merupakan ramalan tergesa-gesa Huntington dalam melihat dunia. Bisa juga suatu hipotesis pesanan dan dadakan agar Amerika Serikat sebagai representasi Barat dapat ‘hadir’ di setiap konflik yang terjadi di penjuru dunia. Namun, Huntington, atau mungkin orang-orang yang menyetujui wacananya luput bahwasannya konflik dalam sejarah manusia selalu terjadi. Konflik sejatinya hal yang niscaya hadir dalam setiap sendi-sendi kehidupan kita.
Apa yang diramalkan Huntington bahwa kebangkitan peradaban non-Barat dapat menjadi ancaman bagi Barat, nyatanya tidak terjadi. Memang benar bahwa, di belahan bumi lainnya, kita melihat gerakan-gerakan anti-Amerika muncul. Bahkan terlalu gamblang kita bisa mencirikan dengan ‘kebangkitan Islam’ yang identik (atau diidentikkan) dengan terorisme. Sekarang ini malah menunjuk satu titik, yaitu ISIS sebagai musuh bersama. Namun, kita acapkali melupakan bentuk-bentuk peradaban lain yang bisa membaur dengan Barat. Bukan berarti Barat menjadi titik patron, melainkan berusaha seperti apa yang pepatah kita bilang ‘duduk sama rendah, berdiri sama tinggi’ dengan Barat.
Sudah saatnya Indonesia meninggalkan mental inferior di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia. Persoalan konflik atau benturan terletak pada relasi kuasa. Sekarang ini relasi kuasa di antara Barat dan Timur adalah ekonomi. Kita tidak lagi mengenal dikotomi kapitalisme dan komunisme, tidak pula istilah rancu ekonomi kerakyatan dan ekonomi neoliberal. Dalam keadaan ekonomi dunia seperti sekarang, semua meleleh dan berbaur—atau bercampuraduk. Ideologi-ideologi lama sudah usang. Semua negara mencari pasar untuk ekspor mereka. Semua negara juga memproteksi produk-produk dalam negeri mereka. Perang perebutan lahan minyak mulai ditinggalkan karena seberapa lama manusia bisa mengandalkan energi bersumber daya fosil tersebut. Masing-masing pihak kini mengembangkan energi alternatif.
Bisa dikatakan bahwa, ramalan Huntington tidak lagi relevan. Globalisasi yang dulu jadi momok tiap bangsa, toh dengan sendirinya diterima. Bagaimana tidak? Di era digital, internet, dan cloud, semua sudah mengglobal. Bahkan mungkin berita jarum jatuh di tumpukan jerami di daerah pelosok, bisa diketahui oleh semua orang. Tidak penting lagi Barat, Timur, Utara, Selatan. Kita ini manusia. Penghuni bumi yang sama. Hanya ciri khas fisik yang kita bawa ketika lahir. Sedangkan negara adalah hasil konsepsi manusia yang menyekat-nyekat kita. Dulu, sekarang dan esok hari, batas wilayah bisa berubah-ubah. Negara bukan sesuatu yang alamiah dimiliki manusia. Butuh surat, butuh administrasi, butuh segala macam sistem yang sengaja dibuat, dan entah atas dasar apa.
Imagine there’s no countries, it isn't hard to do, begitulah kata John Lennon. Karena itu, kita adalah bagian masyarakat dunia. Global village kalau kata Mahatma Gandhi, Francis Fukuyama, Michael Shuman, dan lainnya. Kita adalah manusia, satu dari sekian banyak penduduk bumi. Kita memang berbeda-beda. Namun sesama manusia, mari kita saling mengerti, memahami, dan berbagi empati. Terlalu sempit dunia ini jika mau kita isi dengan perang. Namun, akan sangat luas bila kita isi dengan kemanusiaan.
Paradigma yang selama ini menekankan pada konflik harus kita ubah dengan menjalin relasi kuasa dengan menekankan pembauran budaya, pengetahuan, dan yang lebih penting lagi adalah kesadaran diri sebagai manusia. Seorang Foucault pernah berkata bahwa, bentuk baru dari pengetahuan dan kuasa di era modern telah menciptakan bentuk baru dari dominasi. Namun, di sini Foucault sepertinya hanya menekankan bahwa pengetahuan adalah manifestasi dari apa yang dikatakan Nietzsche sebagai kehendak untuk berkuasa.
Jika dipahami demikian, maka ‘tabiat’ manusia yang ingin mendominasi dan menguasai sesamanya akan menjadi hal yang alamiah dan patut diterima. Padahal, konflik umat manusia yang terjadi kerap bersumber dari itu, dan bukan hanya menggunakan cara persuasif, tapi juga koersif dan totaliter.
Apa yang kita lihat seperti ketika para politisi mengumbar janji pada masa pemilu guna mendapatkan suara dari rakyat. Namun setelah menduduki kursi kekuasaan, mereka lupa, dan menelantarkan rakyatnya. Tak hanya itu ketika menjabat, mereka melakukan korupsi atas uang rakyat, demi memperkaya diri mereka sendiri, atau menutup pengeluaran mereka, ketika pemilu. Itu semua seolah menjustifikasi kehendak purba bernama will to power. Adapun ketika kehendak untuk berkuasa tersebut bermuara kepada kemunafikan, kontan kita terperangah dan menolak menerimanya sebagai sesuatu yang lumrah.