Pendidikan adalah hak semua orang. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjamin bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Terlebih UU tersebut telah mengamanatkan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan. Hal ini berarti bahwa negara menjamin terselenggaranya kegiatan pendidikan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali.
Akses terhadap pendidikan terutama bagi warga negara berusia antara 7 hingga 15 tahun dijamin melalui wajib belajar dimana pendidikan diselenggarakan pemerintah tanpa memungut biaya. Salah satu indikator untuk mengukur pencapaian amanat UU ini adalah Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat.
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diklaim secara nasional sangat berkontribusi terhadap peningkatan APK secara signifikan. Walaupun belum terdapat data yang menunjukkan korelasi antara Program BOS dengan peningkatan mutu pendidikan secara nasional, namun program tersebut telah memberikan harapan bagi seluruh Rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan dasar 9 tahun. Harapan tersebut berlaku juga bagi anak-anak dengan disabilitas (ADD) serta berkebutuhan khusus (ABK).
Kajian Singkat Kebijakan Pendidikan Inklusif Jawa Barat
Untuk lebih menjamin terselenggaranya pendidikan bagi ADD dan ABK, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau bakat Istimewa. Dalam konteks advokasi, suatu program baik yang sudah berjalan maupun yang direncanakan dapat digambarkan melalui proses-proses pembuatan kebijakan publik. Proses tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu naskah hukum, tata laksana hukum, dan budaya hukum. Untuk di Jawa Barat, dengan perangkat pemerintahan (provinsi dan kabupaten/kota) serta unit-unit pelayanannya (sekolah dan tenaga pengajar), pendidikan inklusif (IE) dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Konteks nasional. Penyelenggaraan IE mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Namun terdapat hal yang lebih mendasar yaitu penunaian hak atas pendidikan anak tanpa diskriminasi, dimana IE lebih mendapat tempat sebagai nilai atau prinsip penyelenggaraan pendidikan ketimbang sebuah program kerja. Bentuk-bentuk penuaian hak tersebut diatur dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. Asumsi pemerintah daerah di kebanyakan tempat (sebagai efek dari penerapan otonomi daerah, 1999) adalah: sebuah UU tidak dapat diaplikasikan di wilayah kerjanya kalau tidak terdapat sebuah peraturan daerah. Asumsi ini didasarkan atas alokasi sumber daya di daerah yang terbatas sehingga perlu dibuat dasar hukumnya untuk bisa ‘merebut’ anggaran dari DPRD. Penunaian hak atas pendidikan anak yang telah dijamin oleh UU juga telah dijamin oleh peraturan-peraturan daerah di Jawa Barat. Setidaknya Provinsi Jabar dan Kota Bandung (yang biasa dijadikan barometer oleh kota/kabupaten lain di Jabar) telah memiliki Perda Pendidikan[1] dan Perda Perlindungan Anak[2];
3. Karena iE sudah dimaknai sebagai program oleh jajaran pendidikan dan pemda (bahkan mungkin oleh sebagian aktivis) dengan diterbitkannya permendiknas 2009, maka untuk dapat diaplikasikan membutuhkan peraturan kepala daerah mengikuti jenjangnya: Turunan UU adalah Perda; Turunan PP/Permen adalah Pergub/Perbup atau Perwalkot[3]. Namun jika dibedah secara lebih dalam dan menyeluruh, alokasi sumber daya IE di daerah sebagaimana yang diasumsikan dalam pembentukan perda sudah diatur baik dalam perda pendidikan maupun perlindungan anak;
4. Jika dianalogikan: UU Sisdiknas adalah jaminan ketersediaan hard ware, sistem operasi, beserta aplikasi-aplikasinya; PP adalah buku manual untuk sebuah bentuk trouble shooting bernama IE. Aturan-aturan dalam permendiknas 70/2009 yang berkaitan dengan pemda dalam penyelenggaraan IE (Tata Laksana Hukum) antara lain:
a. Pemkab/pemkot menunjuk minimal satu SD dan SMP di tiap kecamatan untuk menerima ABK -Pasal 4. Penunjukkan ini bisa melalui SK kepala dinas seperti yang dilakukan Kota Cimahi pada tahun 2013. Yang menjadi pilihan SK bukan perda karena sifatnya yang progresif, diterbitkan secara periodik berdasarkan skala prioritas;
b. Pemkab/pemkot menjamin terselenggaranya dan tersedianya sumber daya IE; pemprov dan pusat membantu tersedianya sumber daya -Pasal 6;
c. Pemkab/pemkot menyediakan minimal 1 guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk penyelenggaraan iE; pemprov dan pusat membantu hal ini –Ayat 1 & 4 Pasal 10;
d. Pemkab/pemkot wajib meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi tenaga pengajar di sekolah penyelenggara IE; pemprov dan pusat membantu hal ini –Ayat 3 & 5 Pasal 10;
Ketiga butir di atas dapat dikelompokkan menjadi dua komponen anggaran: 1) operasional yang bisa dialokasikan dari dana BOS termasuk untuk guru honorer dan biaya mengundang tenaga ahli untuk datang ke sekolah; dan 2) capacity building. Baik yang operasional maupun capacity building dapat juga didapat dari upaya-upaya gotong royong warga. Terutama untuk bantuan profesional, permendiknas ini mengaturnya dalam Pasal 11. Untuk kompentensi guru tantangannya kemudian adalah bagaimana menyediakan guru dengan kompetensi “mampu menghadapi ABK” yang menjadi siswa di sekolahnya. Tentunya akan sangat sulit jika yang menjadi prasyarat iE adalah satu sekolah satu GPK. Karena untuk menjadi GPK seseorang harus lulus minimal 144 SKS di Jurusan PLB FKIP. Pemkab Bandung baru bisa mengikutsertakan enam guru dalam sebuah kursus 2 semester untuk IE dan mereka diposisikan sebagai trainer bagi guru-guru reguler yang tersebar di 31 kecamatan. Persoalan standar minimal kompetensi guru untuk mampu mengurus ABK di sekolahnya mungkin akan menjadi PR jangka panjang, termasuk di dalamnya modifikasi kurikulum pendidikan GPK;
e. Pemerintah pusat, pemprov, dan pemkab/pemkot melakukan pembinaan dan pengawasan IE sesuai kewenangannya –Pasal 12;
Karena merupakan prinsip penyelenggaraan pendidikan, maka sebaiknya IE melekat dalam benak seluruh aparat pendidikan. Adanya posisi baru dalam dinas sebagai amanat peraturan kepala daerah seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung akan menambah beban anggaran dan/atau alokasi sumber daya di daerah. Walaupun tidak ‘haram’ juga hukumnya untuk memunculkan nomenklatur baru dalam dinas sepanjang tidak justru menghambat penyelenggaraan IE.
Tugas-tugas dan Proses Kebijakan Pendidikan Inklusif
1. Naskah Kebijakan Pendidikan Inklusif. Dalam proses ini, dua wilayah kerja dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Wilayah dimana sudah terdapat kebijakan kepala daerah mengenai IE yang termasuk Provinsi Jawa Barat (pergub), Kabupaten Bandung (perbup), dan Kota Cimahi (SK Kadisdikpora). Tugas-tugas untuk wilayah yang memiliki peraturan kepala daerah adalah mendorong terselenggaranya IE secara meluas dan berkualitas dengan merujuk kepada kebijakan-kebijakan tersebut. Sementara untuk yang memiliki SK kepala satuan kerja/perangkat daerah, tugasnya adalah mendorong perluasan IE dengan penetapan satuan pendidikan yang lebih banyak dalam penyelenggaraan IE. Merujuk pada Pasal 4 Permendiknas 70/2009 dan penunjukan secara bertahap sekolah-sekolah penyelenggara IE berdasarkan skala prioritas, maka apa yang dilakukan Kota Cimahi adalah yang paling realistis untuk diterapkan di tempat-tempat lain. Untuk itu dokumentasi mengenai IE di Kota Cimahi perlu dibuat dan disebarluaskan agar dapat menjadi pembelajaran di wilayah-wilayah lain;
b. Wilayah yang belum memiliki kebijakan tentang IE. Tugasnya terutama mendorong adanya penunjukan tertulis terhadap sekolah untuk penyelenggaraan IE sebagaimana diatur Pasal 4 Permendiknas 70/2009. Jumlah sekolah yang ditunjuk dapat meningkat secara bertahap sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah. Di samping itu, pengadaan tenaga dan/atau peningkatan kapasitasnya serta pembinaan dan monitoring IE perlu diatur dalam dokumen-dokumen perencanaan daerah secara rutin.
2. Tata Laksana Pendidikan Inklusif. Dibutuhkan penyebarluasan pengetahuan dan ketrampilan praktis yang mampu meningkatkan kompetensi guru dalam upaya perluasan penyelenggaraan IE. Menjadikan pengetahuan dan ketrampilan untuk menghadapi ADD dan ABK lebih praktis dapat dilakukan mulai dari meningkatkan interaksi antara guru-guru SLB dan guru-guru di sekolah reguler penyelenggara IE hingga memodifikasi kurikulum pendidikan GPK. Di beberapa tempat, guru-guru mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan mengenai hal ini tanpa mendapat pendidikan khusus. Kompetensi didapat dengan memperlakukan ABK dan ADD yang diterima di sekolahnya sebagai peserta pendidikan dengan ukuran-ukuran standar seperti tingkat kenyamanan murid untuk rutin datang ke sekolah dan sebagainya. Upaya-upaya peningkatan kapasitas guru juga perlu diimbangi dengan upaya pembinaan dan pengawasan yang kuat. Peran dan pelibatan pengawas sekolah dan dinas pendidikan perlu lebih ditingkatkan bukan hanya bagi IE namun juga pendidikan secara umum.
Penyelenggaraan IE yang memiliki konsekuensi munculnya anggaran di sekolah dapat diakomodasi oleh Program BOS. Selain untuk sarana dan prasarana pendidikan, program ini juga dapat digunakan untuk menghadirkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan baik untuk peningkatan kapasitas guru maupun untuk membantu penyelenggaraan IE. Penyelenggaraan IE dan pendidikan secara umum yang biayanya belum dapat dianggarakan dari Program BOS dapat melibatkan orang tua murid dan warga sekitar secara bergotong royong dengan sekolah. Memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekolah serta pemangku kepentingannya untuk penyelenggaraan pendidikan adalah apa yang turut diatur dalam UU dan perda mengenai sistem dan penyelenggaraan pendidikan.
3. Budaya Pendidikan Inklusif. Tugas dalam proses ini terutama adalah menemukan sekolah-sekolah yang sudah menerima ABK/ADD dan melakukan pembelajaran sendiri dalam menghadapi siswa-siswanya. Pembelajaran sendiri juga termasuk dari para orang tua murid dan warga sekitar yang berkontribusi secara aktif dalam penyelenggaraan IE. Temuan-temuan tersebut kemudian didokumentasikan sebagai bahan propaganda bahwa IE merupakan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang harus melekat di benak setiap pegiat dan aparat pendidikan. Dengan demikian IE dapat diselenggarakan melalui upaya belajar mandiri para tenaga pengajar ketika sudah menunaikan hak atas pendidikan dengan menerima siswa tanpa diskriminasi.
[1] Kab. Bandung (26/2009), Kab. Bandung Barat (6/2012), Kab. Garut (11/2011), dan Kota Cimahi (73/2007 yang diubah menjadi 98/2009)
[2] Kota Cimahi (18/2012)
[3] Selain Pergub Jawa Barat, baru Kab. Bandung yang tercatat memiliki peraturan kepala daerah tentang pendidikan inklusif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H