Produk hukum untuk napza yang disahkan oleh sebuah negara berdaulat bernama Republik Indonesia sudah berlangsung sejak 1971 berupa instruksi presiden yang masih menggabungkan penanggulangan bahaya narkotika dengan hal-hal lain yang dianggap mengancam keamanan negara(ref: 1), menjadi UU tersendiri pada 1976(ref: 2); semakin represif di penghujung tahun 1990-an(ref: 3) telah sangat ceroboh mengetengahkan tema pelarangan dan kriminalisasi untuk sejumlah napza dan pihak-pihak yang terlibat terutama konsumen yang masuk ke dalam kategori korban [dari kebijakan pelarangan yang mengakibatkan zat-zat terlarang tersebut dikuasai sindikat kejahatan yang kemudian berinteraksi dengan rakyat konsumen untuk dieksploitasi demi laba besar bisnis yang dijalankannya]. Di samping ceroboh, proses legislasi produk-produk hukum tersebut jelas mencerminkan kemalasan pembuat undang-undang dengan hanya menambahkan beratnya sanksi bagi pelanggar(ref: 4) terutama konsumen yang mau tidak mau diletakkan sebagai pelanggar peraturan karena untuk mengkonsumsi, pasti mereka memiliki atau menyimpan zat-zat yang dilarang UU tersebut. Para pembuat UU dan penguasa republik ini sangat jelas takluk (takut, kali?) dalam hal pengaturan napza untuk bangsa, negara, dan rakyatnya sendiri dengan mengetengahkan tema pelarangan yang sama artinya dengan melepas penguasaan hulu hingga hilir narkoba kepada sindikat premanisme kapitalis lewat peredaran jalanannya; melalui produk-produk hukum lainnya, kepada produsen zat-zat psikoaktif lewat sales representative-nya.
Sesungguhnya usulan untuk merevisi UU Narkotika dan Psikotropika RI tahun 1997 datang dari keprihatinan akan ancaman kesehatan masyarakat, terutama pesatnya penyebaran HIV di kalangan pengguna napza suntik dan juga pasangannya. Melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA dalam Sidang Umum MPR RI tahun 2002 memandatkan kepada Presiden bersama DPR untuk merevisi kedua UU tersebut. Rekomendasi tersebut baru dilaksanakan pemerintah tiga tahun kemudian melalui Surat Presiden RI No. R. 75/Pres./9/2005 tertanggal 22 September 2005 perihal RUU tentang Narkotika. Rapat paripurna pasca dikeluarkannya surat presiden tersebut segera dilaksanakan. Pembahasan penanganan RUU Narkotika kemudian dibahas dalam Rapat Badan Musyawarah ke-1 pada masa sidang kedua Tahun Sidang 2005-2006 satu bulan kemudian. Lalu Komisi IX DPR RI, yang mengurusi permasalahan kesehatan dan kesejahteraan rakyat – bukan pertahanan, keamanan, atau penegakkan hukum, diserahkan untuk membentuk panitia khusus (Pansus) RUU Narkotika. Hampir dua tahun kemudian putusan mengenai pansus tersebut baru dihasilkan, tepatnya pada 27 Maret 2007.
Sebagaimana yang telah diungkap di atas bahwa usulan revisi UU Narkotika dan Psikotropika RI tahun 1997 berasal dari kesadaran akan ancaman kesehatan masyarakat terkait konsumsi napza yang diilegalkan oleh kedua UU tersebut. Dilihat dari sudut pandang ini, pendelegasian Rapat Paripurna DPR RI kepada Komisi IX untuk membentuk Pansus RUU Narkotika merupakan langkah maju bagi pemenuhan hak kesehatan rakyat yang terimbas oleh UU yang berlaku saat itu – jika tidak ada dampak negatif pelaksanaan UU sebelumnya, untuk apa direvisi? Namun selain kemalasan para pembuat UU, salah satunya tercermin dari terbengkalainya pembentukan Pansus RUU Narkotika pada 2007 padahal MPR RI merekomendasikan revisi kedua UU terkait pada 2002 – hilang waktu 5 tahun, banyak anggota dewan yang mewakili rakyat dalam proses revisi tersebut bersikap masa bodoh: yang penting rapat, dapat uang, sedikit menyatakan pendapat (hanya jika ingin cari muka atau ditanya), dan UU selesai sebelum periode jabatan mereka berakhir pada 2009. Persetan dengan hasilnya! Dari rapat-rapat Pansus RUU Narkotika baik yang menghadirkan sejumlah ahli, dengar pendapat, dsb., dapatlah dikelompokkan tiga golongan anggota DPR RI yang terlibat dalam proses revisi UU ini dimana keparlemenannya bisa ditelusuri di dalam naskah akhir UU tersebut(ref: 5):
1.Golongan Masa Bodoh, seperti yang diterangkan di akhir paragraf sebelumnya. Tercermin dalam dominasi pendekatan represi sebagaimana UU sebelumnya dan Lampiran 1, dimana zat-zat psikotropika masuk ke golongan-golongan narkotika;
2.Golongan Kesehatan Masyarakat, yang concern terhadap perlindungan kesehatan masyarakat sebagai arah kebijakan narkotika di Indonesia, prioritasnya para korban penguasaan napza oleh pasar gelap. Tercermin dengan bertambahnya tujuan UU: Pasal 4 Huruf D mengenai pengaturan rehabilitasi medis dan sosial bagi pecandu dan penyalahguna narkotika; dan
3.Golongan Represif, yang mendesakkan dan tercermin dari sanksi yang lebih berat dari UU sebelumnya, perluasan jerat hukum di antaranya: kewajiban melapor bagi pengguna dan orang tuanya; golongan dan jenis prekursor sebagai obyek UU (Lampiran 2), dan pasal-pasal mengenai [dominasi] kewenangan BNN.
Golongan pertama yang jumlahnya jauh lebih banyak (ini entah siapa yang memilih dan bagaimana mereka bisa terpilih dalam pemilu - Penulis), jelas pro status quo untuk kebijakan represif, sarat akan pengkriminalan napza yang telah diterapkan di Indonesia selama 30 tahun lebih – sebuah periode yang panjang untuk dapat melekatkan dengan kuat keyakinan artifisial tentang narkoba yang diilegalkan di benak mereka(ref: 6). Tarik menarik antara pendekatan represif dan perlindungan kesehatan masyarakat sebenarnya tidak begitu alot diperdebatkan di rapat-rapat pansus, seolah revisi UU ini tidak begitu diperlukan [sepanjang masih selaras dengan UU RI No. 7 tahun 1997(ref: 7)]. Sampai saat mendekati akhir masa kerja DPR RI 2004-2009 barulah perumusan RUU Narkotika mulai gencar kembali dilakukan untuk mengejar target jumlah produk legislasi yang harus dihasilkan DPR RI periode tersebut. Walhasil pada 12 Oktober 2009 disahkanlah UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang represif secara berlebihan jika disandingkan dengan tujuan awal revisi UU ini serta pendelegasiannya kepada Komisi IX: perlindungan kesehatan masyarakat. Kalau tahu hasilnya akan seperti ini, sejak awal saja MPR memandatkan kepada presiden untuk “memperberat sanksi serta melegitimasi BNN dalam UU Narkotika”, bukan “merevisi UU Narkotika & Psikotropika RI”.
UU No. 35 tahun 2009 merupakan penambahan (boleh dibilang klimaks dari) represivitas dua UU Narkotika sebelumnya. Selain penambahan berat ancaman hukuman kurungan dan denda hingga miliaran rupiah, UU yang telah tiga tahun diterapkan ini juga melegitimasi satu lembaga negara tambahan dengan kewenangan khusus bernama Badan Narkotika Nasional, belum lagi ancaman sanksi bagi para pengguna dan orang tuanya yang tidak melaksanakan kewajiban melaporkan aktivitas pemakaian zat yang dilarang tersebut dengan dalih untuk mendapatkan rehabilitasi. Walau sudah sedemikian represifnya, survey mengenai penyalahgunaan narkoba di Indonesia untuk tahun 2011: dua tahun pasca disahkan dan diterapkannya UU Narkotika baru tersebut, tetap menunjukkan peningkatan jumlah konsumen napza ilegal maupun kerugian biaya ekonominya. Lagi-lagi para penyelenggara negara sepertinya tidak belajar dari pengalaman dua periode penerapan dan hasil dari UU represif tentang napza sebelumnya (1976-1997 dan 1997-2009). Peningkatan-peningkatan sebagaimana dimaksud dapat dilihat pada tabel berikut(ref: 8):
KOMPONEN PERBANDINGAN
2008
2011
Jumlah Konsumen*(per Total Penduduk Indonesia Berusia 10-59 tahun)
3.1-3.6 juta (1.5%)
3.7-4.7 juta (2.2%)
Prosentase Konsumen yang Teratur Pakai
27%
45%
Jumlah Konsumen yang Baru Mencoba Pakai
850,000 orang
1,150,000 orang
Biaya Kerugian Individual
(dalam jutaan rupiah)
Konsumsi Napza
15,376,071
17,542,841
Over Dosis
22,124
204,934
Detoksifikasi dan Rehabilitasi
1,094,519
1,336,956
Pengobatan Sendiri
19,688
911,357
Kecelakaan
323,220
2,835,586
Urusan dengan Penegak Hukum
882,602
11,019,744
Urusan terkait Penjara
839,813
2,923,736
Aktivitas yang Terganggu
188,705
1,002,678
*orang yang mengkonsumsi napza illegal dalam setahun terakhir
Ref: 1) Inpres No. 6 tahun 1971 tentang pembentukan badan koordinasi dan pelaksanaan (bakolak) semua kegiatan penanggulangan berbagai bentuk ancaman keamanan negara, yaitu: pemalsuan uang; penyelundupan; bahaya narkotika; kenakalan remaja; kegiatan subversif; dan pengawasan terhadap orang-orang asing
Ref: 2) UU No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika
Ref: 3) UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika
Ref: 4) Mereka yang memiliki, menyimpan, menguasai terutama dan kebanyakan untuk konsumsi pribadi merupakan pelanggar UU dengan ancaman sanksi yang terus diperberat:
UU tahun 1976, untuk penggunaan bagi dirinya sendiri [Pasal 23 Ayat 7] jenis papaver – maksimal hukuman penjara 3 tahun (untuk koka dan ganja: 2 tahun);
UU tahun 1997, untuk kepemilikan tanpa hak narkotika golongan 1 non tanaman – maksimal hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp 500,000,000 (lima ratus juta rupiah), untuk kepemilikan tanpa hak psikotropika golongan 1 – maksimal hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp 750,000,000 (tujuh ratus lima puluh juta);
UU tahun 2009, untuk tanpa hak memiliki narkotika golongan 1 non tanaman (di UU ini, psikotropika masuk dalam golongan-golongan narkotika; ecstasy tergolong narkotika golongan 1) – maksimal hukuman penjara 12 tahun dan denda Rp 8,000,000,000 (delapan miliar rupiah).
Ref: 5) Sejak bekerja sama dengan Indonesia Forum of Parliamentarians on Population and Development untuk mengawal proses revisi UU Narkotika RI dan pindah tugas ke Jakarta pada 2007, penulis aktif menghadiri dan mengamati rapat-rapat Pansus RUU Narkotika di DPR RI. Salah satu kerja sama lembaga tempat penulis bekerja dengan forum tersebut adalah mendatangkan sejumlah pakar di antaranya hakim, epidemiolog, psikiater yang berpengalaman dengan dampak kriminalisasi narkoba dari dalam maupun luar negeri untuk memberikan presentasi dalam rapat-rapat dengar pendapat Pansus RUU Narkotika.
Ref: 6) Saat penulis dkk. melakukan audiensi dengan salah satu fraksi di DPR RI yang anggotanya terlibat Pansus RUU Narkotika, terasa dengan jelas bahwa para anggota DPR ini hanya mengetahui halal dan haramnya narkoba dari sudut pandang agama sehingga akhirnya dilarang di hampir seluruh jagad; tidak memiliki wawasan lebih luas yang dibutuhkan untuk sebuah kebijakan publik bagi bangsa ini seperti: keterkaitan napza dengan politik ekonomi nasional dan global; peta pihak-pihak yang selama ini mendapat untung besar dari sebuah kebijakan publik; atau seberapa rugi negara kala menyerahkan produksi, distribusi, dan peredaran napza pada sindikat kejahatan dan kapitalisnya melalui kebijakan yang dipilihnya.
Ref: 7) UU tentang Pengesahan Konvensi PBB untuk Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988
Ref: 8) Variabel dan angka-angka dalam tabel bersumber dari Survey Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia tahun 2011 – Badan Narkotika Nasional & Universitas Indonesia; serta survey serupa oleh lembaga yang sama untuk tahun 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H