Belakangan ini ramai isu bahwa penyebaran virus Corona itu berkaitan dengan teknologi komunikasi 5G. Bahkan ada yang menganggap penyebaran virus Corona adalah fiktif dan yang sebenarnya terjadi adalah sakit karena penyebaran jaringan 5G. Hal ini sudah dibantah oleh pemerintah dan WHO.
Kita orang Indonesia paham bahwa kabar tersebut jelas salah karena terbukti bahwa di negara yang masih belum mengembangkan jaringan 5G seperti di Indonesia ini sudah terjadi korban dari virus Corona. Jadi tidak mungkin bila teknologi 5G menjadi penyebab virus Corona.
Lalu mengapa teknologi komunikasi 5G dikaitkan dengan virus Corona?
Hal ini tidak lepas dari efek dari penerapan teknologi komunikasi 5G. 5G merupakan standar baru komunikasi yang merupakan kelanjutan 3G dan 4G. Keunggulan dari teknologi 5G adalah gangguan yang lebih sedikit. Hal ini dicapai dengan penggunaan frekuensi yang sangat tinggi, yaitu di 60 GHz.
Yang menjadi sifat unik dari frekuensi 60 GHz ini adalah pada frekuensi tersebut jarak jangkau dari sinyal menjadi sangat pendek. Dan karena jarak jangkau pendek, maka sinyal bisa mempunyai bandwith yang sangat besar dan tidak mudah terganggu. Sebagai hasilnya, bandwith yang bisa dipergunakan atau kecepatan internet bisa sangat besar.
Berikut ilustrasi penggunaan frekuensi:
Hal itu bisa terjadi karena sinyal dari 5G akan bereaksi dengan oksigen yang ada di udara.
Secara teknologi kelemahan 5G sudah jelas. Penerapan jaringan 5G membutuhkan antena yang rapat.
Secara kesehatan, banyak yang mengkhawatirkan reaksi sinyal dengan oksigen akan membuat orang bisa mengalami kesulitan bernapas, karena darah tidak bisa menyerap oksigen. Dan kebetulan virus Corona mempunyai gejala yang hampir sama, sesak napas. Inilah sebabnya mengapa banyak yang menghubungkan virus Corona dengan penerapan teknologi 5G.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H