Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali kita jumpai kesenjangan antara idealitas dengan realitas atau antara teori dan praktek, oleh karena itu ketentuan-ketentuan dan ketetapan-ketetapan hukum yang dalam tataran idealitas bersifat baik bahkan bernilai sempurna dalam implementasinya sering berbeda dalam kenyataannya. Orientasi paham ke-Islaman yang berpihak pada maslahah al-’ammah (kesejahteraan umum) dan sebagai titik puncaknya adalah berfungsi sebagai rahmat lil ’alamin (rahmat bagi alam semesta) dalam tataran historis malah sering ditampilkan oleh umat Islam sendiri dengan nilai yang sebaliknya.
Seperti kasus yang telah diungkapkan di awal bagaimana bisa agama yang mempunyai maqashid atau tujuan kepada maslahah al’ammah, malah terjebak dalam persoalan kekerasan? Adakah reformulasi baru yang pantas dan layak ditawarkan sebagai peredam atau bahkan mengarahkan konflik yang terjadi menjadi konflik yang lebih agamis? Bukankah Islam sendiri mengakui adanya perbedaan?.
Berpijak dari persoalan-persoalan diatas, bagaimanakah semestinya umat Islam harus bertindak dan perprilaku, tidak hanya sebagai umat yang memiliki fungsi dasarnya sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia tetapi juga sebagai umat yang tidak pernah kehilangan landasan dasar atas keyakinan dan budayanya. Telah banyak solusi yang telah ditawarkan oleh para pemikir dan ilmuan Islam terhadap pesoalan-persoalan di atas, salah satunya adalah Fazlur Rahman melalui gerakan Neo-modernismenya, bagi Fazlur Rahman bahwa persoalan umat Islam terutama disebabkan oleh semakin menjauhnya landasan etis yang solid, terutama dibidang hukum. Oleh karena itu dalam pandangan Rahman sudah saatnya umat Islam menafsirkan kembali ajaran-ajaranya dalam sinaran teologi, etika dan moral seperti yang diekspresikan dalam Alquran atau dalam bahasa Fazlur Rahman ditumbuhkannya kembali semangat etika Alquran.
Etika Alquran dalam gagasan Rahman adalah upaya perumusan kembali tiga matra pemikiran Islam, yaitu pertama tentang perumusan pandangan dunia (weltanschauung) Alquran, yang berkaitan dengan konsepsi kita tentang Tuhan, hubungan Tuhan dengan manusia dan alam semesta serta peranan-Nya dalam sejarah manusia dan masyarakat.
Dengan menjernihkan kembali pemahaman tentang hakekat pentingnya Tuhan bagi eksistensi manusia akan menghasilkan ajaran-ajaran moral Alquran yang pada giliranya menghasilkan etika Alquran, inilah langkah kedua yang jika dilanjutkan akan menghasilkan rumusan sistem dan formula hukum yang selaras dengan kebutuhan kontemporer umat Islam.
Permasalahan moral dan etika dalam literature keislaman sering dianggap sebagai kajian yang masuk dalam wilayah privat melalui perkembangan disiplin keilmuan tersendiri (tasawuf), karena itu perkembangan pemikiran dalam bidang ini dianggap tidak memiliki relefansinya denganpermasalahan-permasalahan publik, apalagi permaslahan global kemanusiaan.
Pendekatan etika seperti saat ini memiliki maknanya yang sangat signifikan saat institusi hukum tidak lagi dapat diandalkan untuk dapat membentuk dan mengubah prilaku kehidupan manusia, misalnya tentang persoalan yang kekerasan yang bermotifkan agama, bagaimana manusia bersikap dan bertindak terhadap golongan yang tidak sepaham atau bahkan menyimpang dari pemahaman yang dimiliki. Karena pandangan-pandangan itulah yang akan membentuk tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi nilai dan norma yang dianut manusia. Sebagaimana diketahui bahwa Alquran telah menggariskan pandangan bagi umat manusia tentang tatanan berkehidupan yang dinamis, dalam suatu pengertian bahwa pesan Alquran yang berasal dari Tuhan tentu sesuai dengan fitrah makhluk-makhluk-Nya, karena itu Islam juga disebut sebagai agama fitri (berarti agama yang ada dalam hakekat alamiah). Semangat yang ditumbuhkan dalam peran manusia menurut Alquran tidak diarahkan untuk memandang dunia alam sebagai “musuh” yang harus ditundukkan, melainkan sebagai bagian integral dari jagat religius manusia yang bersamasama mewarisi kehidupan dunia ini.
Agar umat Islam tidak terjebak pada sikap hidup kekinian dan kedisinian (hedonistis) maka selayaknya umat Islam mengembangkan landasan epistemologisnya untuk mengembangkan prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan oleh Alquran dan as-sunnah, dengan terus menggali dan merevisi serta merevitalisasi khazanah ilmu pengetahuan yang telah ada, sesungguhnya kajian epistemologi hukum Islam (ushul al-fiqh) awalnya adalah ditujukan untuk memberikan solusi bagi persoalanpersoalan baru yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam ketetapan-ketetapan hukum yang ada (fiqh).
Melalui maqasid syari’ah diharapkan kita dapat menggunakan logika dalam mengembangkan hukum dan landasan moral dan etika sebagai dasar pijakan dalam setiap tindakan, karena maqasid al-syari’ah berfungsi sebagai metode analisa terhadap realitas yang tak terbatas berdasarkan pada teks yang secara kuantitas terbatas, guna mengembangkan nilai-nilai yang Islami agar tidak terjebak sakralisasi dan kevakuman moral, sehingga cita-cita penegakan syari’ah itu sendiri dapat diwujudkan bukan malah sebaliknya, dikangkangi. Wallahu‘alam bisshawab.
(Mahasiswa Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang/ Penggiat IKAMTI-Pasir)