Mohon tunggu...
Kuntoro Boga
Kuntoro Boga Mohon Tunggu... -

Pemerhati Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengasah Asa Indonesia Berdaulat Pangan

28 November 2018   10:52 Diperbarui: 29 November 2018   15:56 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu harapan tinggi masyarakat Indonesia adalah swasembada dan kedaulatan pangan. Berdaulat pangan tentunya berarti kita tidak lagi menggantungkan kebutuhan pangan kita pada negara lain. Berdaulat pangan juga berarti negeri ini bebas dari pihak-pihak tertentu yang memonopoli rantai pasok pangan kita.

Kedaulatan pangan dianggap sebagian pihak sebagai persoalan yang mudah. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa. Tapi fakta menyebutkan bahwa pada tahun 2014, tercatat beras sebagai komoditas pangan paling strategis, diimpor sebanyak 844 ribu ton. Sementara impor untuk jagung sebanyak 3,2 juta ton dan  bawang merah sebanyak 74,9 ribu ton.  

Fakta ini tentunya menggambarkan bahwa cita-cita Indonesia untuk menggapai kedaulatan pangan bukanlah sesuatu yang mudah diraih. Pemerintah di semua era diyakini sudah bekerja untuk meraih itu. Tapi nyatanya kerja saja tidak lah cukup. Kita butuh sesuatu yang lebih kuat untuk dapat berdikari di sektor pangan.

Kita  memahami bahwa untuk mencapai kedaulatan pangan, Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Untuk itu, diperlukan untuk berpikir "out of the box". Setiap tantangan harus ditempatkan sebagai kesempatan yang justru menguntungkan kita dalam upaya meraih kedaulatan pangan.

Salah satu persoalan yang membayangi sektor pertanian sejak lama adalah konversi lahan pertanian. Di sejumlah sentra produksi pertanian, lahan produktif beralih fungsi menjadi lahan perumahan maupun industri. Tapi kondisi ini tak sepantasnya membuat kita berpangku tangan.

Kementrian Pertanian (Kementan) saat ini  menjalankan program Perluasan Areal Tanam Baru (PATB). Untuk meningkatkan luas areal tanam baru, Kementan tidak lagi terpaku pada lahan irigasi, tapi justru memanfaatkan lahan suboptimal, seperti lahan rawa. 

Berdasarkan data Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) total lahan rawa pasang surut yang berpotensi menjadi lahan pertanian adalah 3,5 juta hektare dan lahan rawa lebak sebesar 11 juta hektare. Lahan tersebut tersebar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Lampung.

Tantangan pengembangannya memang tergolong besar mengingat kondisi lahan rawa yang memiliki tingkat kesuburan rendah, infrastruktur belum berfungsi optimal, indeks pertanaman dan panen masih rata-rata 1 kali setahun, serangan hama dan penyakit tanaman masih tinggi, 

Untuk itu, pemanfaatan teknologi dan sinergi berbagai pihak ditingkatkan sehingga rawa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produksi pangan. Kementerian Pertanian memberikan dukungan mekanisasi pertanian seperti eskavator dan melakukan pembangunan irigasi. Penggunaan varietas adaptif lahan rawa juga dipercaya akan mendorong keberhasilan budidaya tanaman di lahan rawa. Selain itu, pemanfaatan lahan rawa dilakukan dengan menjalin kerja sama antara pemerintah pusat, TNI, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Produktif di Semua Musim
Selain permasalahan konversi lahan pertanian, pemerintah juga dihadapi dengan permasalahan dampak perubahan iklim. Menyikapi musim kemarau yang berdurasi lebih panjang tahun ini, kita justru harus menjadikannya sebagai kesempatan baik yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. 

Musim kemarau sebagai sebuah keniscayaan selayaknya tidak menjadi halangan untuk berproduksi. Kondisi iklim kering seharusnya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin karena hama lebih sedikit, sinar matahari cukup baik untuk fotosintesis dan proses pengeringan. Jadi kualitas gabah lebih baik, biaya produksi juga bisa ditekan.

Kemarau yang terjadi saat ini memang dapat berdampak terhadap ancaman kekeringan pada pertanaman padi yang masih belum panen, bahkan berpotensi menyebabkan puso (gagal panen). 

Namun lahan yang terkena dampak kekeringan menurut data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (Ditjen TP) Kementan, kecil jika dibandingkan dengan luas tanam padi yang ada. Jika dibandingkan dengan luas tanam tahun 2018 periode Januari-Agustus seluas 10.079.475 hektare, dampaknya masih kecil, yaitu 1,34% atau 135.226 hektare. Itu sudah termasuk yang terkena puso atau gagal panen yang hanya 0,26% atau 26.438 hektare dari total luas tanam.

Memasuki musim hujan, kondisi iklim basah juga menyimpan tantangan besar untuk dunia pertanian. Sama seperti kekeringan, curah hujan yang tinggi juga berisiko menimbulkan gagal panen ataupun meningkatkan serangan hama. 

Untuk itu, program adaptasi terhadap perubahan iklim dilakukan dengan mengimplementasikan teknologi adaptif melalui penyesuaian pola tanam, penggunaan varietas unggul adapti, teknologi pengelolaan lahan, serta sejumlah inovasi lainnya. Pendampingan petani sehingga perubahan iklim tidak lagi menjadi halangan untuk berproduksi, menjadi sangat penting.

Mulai tahun 2016 Indonesia telah menghentikan total impor padi umum, cabai segar dan bawang merah. Impor jagung pakan pada tahun 2016 turun 66 persen, dan di tahun 2017 impor jagung sudah tidak ada. Pada tahun 2017, capaian swasembada sejumlah komoditas strategis sudah berkembang menjadi prestasi ekspor. 

Pada tahun itu, Indonesia ekspor beras khusus sekitar 4.000 ton, bawang merah 7.700 ton dan jagung 1.879 ton ke beberapa negara. Rentetan prestasi ekspor pertanian tersebut kembali bertambah di tahun 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporan kinerja komoditas pertanian hingga April 2018 sebesar USD 300 miliar atau naik 7,38 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Keberhasilan kita mengekspor sejumlah komoditas strategis tentunya menumbuhkan harapan bahwa Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. Harapan kita semua adalah Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia pada masa yang akan datang. 

Dengan kerja keras dan optimisme dari semua kelompok masyarakat, Indonesia tidak hanya akan swasembada dan berdaulat pangan, tapi menjadi negara yang menjadi lumbung pangan bagi negara-negara lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun