Memperhatikan rilis BPS tentang Perbaikan Metodologi Perhitungan Data Produksi Beras Dengan Kerangka Sampel Area (KSA), yang dikeluarkan setelah melalui rapat koordinasi yang dipimpin oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tanggal 22 Oktober 2018 yang lalu, stakeholder banyak yang bernafas lega dan berharap ini akan berkontribusi signifikan untuk perumusan kebijakan pertanian dan ketahanan pangan yang lebih akurat dan sekaligus juga dapat menyelesaikan simpang siur justifikasi dan argumen mengenai kebijakan impor beras, apakah diperlukan atau tidak.
Keunggulan metode ini dan kecanggihan peralatan pendukung yang digunakan padanya, sangat memberikan harapan, bahwa Indonesia akan mampu memperoleh gambaran situasi dan tingkat produksi padi, serta gambaran surplus dan defisit persediaan beras untuk konsumsi penduduknya, dengan lebih baik dan akurat. Diharapkan, metode canggih ini benar-benar mampu memberikan gambaran kondisi dan angka-angka terkait padi dan beras, baik produksi maupun konsimsinya, tidak hanya menjadi alat rasionalisasi, untuk mendukung pelaksanaan impor beras.
Lebih-lebih perhitungan akhir Metode-KSA ini memberikan angka surplus beras Indonesia untuk tahun 2018 adalah 2,85 juta ton beras. Angka ini memang lebih rendah dari data Kementan yang sebelumnya memberikan tingkat surplus 16,29 juta ton. Â
Meskipun demikian, ketersedian surplus 2,85 juta ton ini memberikan indikasi bahwa dari sudut produksi, arah kebijakan Kementan sudah selaras dengan keinginan Presiden Jokowi. Â
Bahwa negara kita bisa tidak impor beras. Â Karenanya, kebijakan berikutnya yang diperlukan bukanlah impor beras untuk mengamankan stok, melainkan lakukan penyerapan surplus (gabah maupun beras) itu dengan harga yang sesuai, agar stok aman dan surplus tersebut berada dalam penguasaan pemerintah.
Sejak pemerintahan kabinet kerja Jokowi-JK terbentuk di 2014 lalu, garis besar arah pembangunan nasional adalah kemandirian seperti yang termaktub dalam Nawacita.Â
Tulisan Presiden Jokowi dalam buku 'Revolusi Mental' (editor Jansen Sinamo, 2014), dengan tegas mengatakan, "Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai amanat Tri Sakti. Â
Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Kita jangan mengandalkan impor pangan. Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kita harus melakukan revolusi mental untuk mengikis mental ketergantungan itu".
Agaknya, apa yang menjadi harapan Presiden Jokowi secara perlahan mulai terwujud di sektor pangan nasional dengan berhasilnya Indonesia secara cepat melakukan lompatan dalam meningkatkan produksi.Â
Yang jadi persoalan saat ini adalah, terkait mentalitas para pengambil kebijakan. Seperti yang dikatakan Presiden dalam buku tersebut, "Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga tergantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para "kompradornya".
Korelasi Produksi Padi dan Harga Beras di Pasar