Oleh: Kunto Nurcahyoko (@kuntonurcahyoko)
Bagiku, bekerja di bidang pendidikan merupakan panggilan jiwa. Sejak kecil, aku selalu dididik untuk selalu berusaha mengejar pendidikan. dan ternyata, sekarang mipiku terwujud untuk mengabdi kepada negeri ini lewat pendidik, sebagai salah satu pengajar di Sekolah tinggi swasta di kalimantan Barat, Perbatasan Indonesia-Malaysia.
Mengajar disini begitu menantang, tak hanya dari segi infrastruktur, tetapi juga secara pola pikir. Pernah dalam kelas Strategi Pembelajaran Bahasa Inggris semester ini, salah satu mahasiswa bilang: banyak pak orang di daerah saya yang bilang bahwa “sekolah tak sekolah sama-sama semangkuk.” Ungkapan itu bermakna bahwa baik dengan sekolah maupun tidak, tak akan ada perubahan yang berarti dalam hidup seseorang. Mereka tetap harus berusaha bekerja mencari makan. Mereka tetap harus berusaha mencari obat saat sakit. Oleh karena itu, dibandingkan dengan membuang-buang waktu untuk bersekolah, lebih baik mereka bekerja dan mencari uang.
Salahkah? Sebagian besar dari kita mungkin akan mengatakan bahwa pandangan tersebut salah. Pun demikian dengan saya sebelum berkesempatan untuk mengajar di salah satu daerah terluar Indonesia ini. Saya berpikiran bahwa pendidikan merupakan kunci untuk memperbaiki kualitas hidup. Karenanya, pendidikan merupakan hal mutlak yang harus dimiliki setiap individu. Tak ada alasan yang cukup kuat untuk mengesampingkan pendidikan. Tapi disini, kenyataannya tak semudah itu. Pendidikan bagi kebanyakan orang disin merupakan perjuangan yang luar biasa berat.
Di tempat ini, saya menyaksikan betapa pendidikan seakan menjadi harapan mereka satu-satunya untuk merubah hidup. Oleh karena itu, mereka bermimpi untuk sekolah tinggi dengan penuh semangat. Namun, akses ke pendidikan merupakan hal yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bagaimana mungkin mereka sanggup membayar sekolah saat untuk makan sehari-hari saja mereka susah.
Aku terhenyak saat salah satu mahasiswaku, (yang berjumlah sekitar 70 orang dalam satu kelas) mengatakan dia sudah terbiasa bangun jam 3 pagi untuk membantu orang tuanya menoreh karet sejak dia berumur 7 tahun. Setelah jam 6, baru dia berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki sekitar 2 jam. Mahasiswa lainnya juga harus rela menjadi tukang bersih-bersih rumah tetangga untuk membayar kuliah mereka dan uang makan. Sedangkan yang lainnya bekerja sebagai buruh angkut di pasar, tukang batu dll. Jangan tanya kalau liburan, tak seperti kebanyakan kita yang sibuk merencanakan kemana liburan berikutnya, mereka akan sibuk mencari pekerjaan apa yang bisa mereka lakukan.Harapan mereka besar untuk melakukan perubahan. Tapi mereka tidak memiliki pandangan dan model tentang perubahan itu. Kebanyakan (kalau tidak semua) mahasiswaku merupakan orang pertama dalam keluarga mereka yang mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan. Banyak diantara mereka yang akhirnya pun DO karena tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan.
Saat musim hujan, banyak mahasiswa yang absen karena rumah mereka yang harus ditempuh dengan sepeda motor selama 2 jam. Itupun kalau sedang lancar. Buku dan internet menjadi barang yang susah sekali didapat. Jadi ketertinggalan informasi menjadi makanan mereka sehari-hari.
Meskipun demikian, mereka tetap bersemangat untuk terus belajar. Setiap perkuliahan, kami banyak mendiskusikan pandangan mereka tentang pendidikan. Mereka selalu menceritakan hal-hal yang unik dan luar biasa. Mungkin secara administratif aku adalah pengajar mereka, tapi justru dari mereka aku belajar banyak hal. Belajar bahwa rasa syukur merupakan kunci kesejahteraan hidup. Aku belajar dari mereka bahwa kata menyerah bukanlah pilihan dalam hidup ini.
Ada harapan di setiap mata mahasiswaku disini, bahwa keadaan mereka akan berubah. Tak lagi harus menjadi kuli di perkebunan sawit, atau mengangkut sayur di pasar, atau menoreh pohon karet, atau menjadi buruh bangunan. Bukan karena pekerjaan itu tidak mulia, tapi mereka ingin merubah kesejahteraan hidup mereka dan memainkan peran yang lebih besar dalam perkembangan zaman.
Ah, andai saja beliau-beliau yang terhormat dan duduk di bangku dewan itu mau belajar dari anak-anak ini, pasti akan semakin terbuka untuk melakukan perubahan. Andai saja beliau mau berbincang dengan anak-anak lugu dan kritis ini, pasti mereka akan semakin menyadari bahwa peningkatan sumber daya manusia harus menjadi agenda utama pembangunan.
Tapi begitulah, memang kesempatan ini tak datang ke semua orang. Jadi saat privilege ini datang pada kita, mampukah kita mengemban amanat?
Ngabang, 26 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H