Pernah lihat orang memasak menggunakan tungku kayu atau keren (bahasa jawa untuk menyebut tungku tanah liat)? Saya yakin sebagian besar dari kita pernah menjumpai atau melihat, atau bahkan saat ini masih menggunakan, tungku atau keren untuk memasak. Jika kita survey di daerah pedesaan, akan banyak dijumpai masyarakat desa atau di daerah pinggiran kota yang masih menggunakan tungku kayu atau keren untuk memasak keperluan sehari-hari.
http://www.tungkuindonesia.org/images/upload/IMG_1545.jpg
Tahukah kalian alasan mengapa sebagian masyarakat pedesaan atau di daerah pinggiran kota masih menggunakan tungku kayu atau keren untuk memasak? Apakah di daerah tersebut sulit didapat tabung gas, terutama tabung gas 3 kg sehingga mereka memilih tungku kayu atau keren untuk memasak? Pasti jawabannya bukan karena langka atau sulit didapatnya tabung gas. Salah satu jawabannya adalah karena bahan bakar dari kayu mudah didapat dan murah (kata murah pengganti kata gratis). Bukan hanya kayu, bahan lain pengganti kayu pun juga tersedia dan mudah di dapat, contoh; batok kelapa, sabut kelapa, bonggol jagung , dan sebagainya. Masyarakat pedesaan memanfaatkan bahan bakar kayu dan sejenisnya sebagai alternatif sumber bahan bakar atau sebagai pengganti gas dan minyak tanah.
Penggunaan bahan bakar kayu dan sejenisnya itu tentu akan berdampak pada perekonomian keluarga masyarakat pedesaan. Penggunaan tungku kayu atau keren dapat mengurangi pembelian gas atau minyak tanah. Bahkan bagi keluarga masyarakat desa yang mengandalkan bahan bakar kayu sebagai bahan bakar utama, pengeluaran untuk beli gas dan minyak tanah tentu sama sekali tidak ada. Jika dalam satu bulan dibutuhkan antara 4 sampai dengan 6 tabung gas 3 Kg, dengan anggapan 1 tabung gas 3 Kg seharga Rp 17.000, maka setiap bulan dapat dihemat Rp 68.000,00 sampai dengan Rp 102.000,00. Mungkin uang sebesar itu bagi masyarakat kota atau masyarakat berpenghasilan Rp 30.000.000,00 setahun atau Rp 2.500.000,00 per bulan kurang berarti. Namun bagi masyarakat atau keluarga yang berpenghasilan Rp 1.500.000,00 per bulan atau kurang, dan ini pasti banyak jumlahnya, uang sebanyak Rp 68.000,00 sangatlah berarti.
Jika kita berkempatan untuk mengamati dapur dari keluarga masyarakat pedesaan yang masih menggunakan tungku kayu untuk memasak, dapat kita saksikan beberapa hal berikut ini;
# ketika memasak timbul asap cukup banyak, asap tersebut jika terkena mata akan terasa pedih. Asap yang cukup banyak juga dapat mepengaruhi kesehatan terutama pernafasan.
# Menyalakan tungku kayu tidak semudah jika memasak menggunakan kompor gas atau kompor minyak tanah.
# Alat masak menjadi hitam pada bagian luar, terkena langes (bahasa jawa untuk menyebut jelaga). Langes atau jelaga yang menempel pada alat masak, seperti panci atau wajan, lama kelamaan akan sulit dihilangkan karena tumpukan dari penggunaan sebelumnya.
# Jelaga juga menempel pada langit-langit atau bahkan pada dinding dapur.