Mohon tunggu...
KUNTJOJO
KUNTJOJO Mohon Tunggu... Lainnya - Saya menikmati menulis karena saya senang bisa mengekspresikan diri dan ide-ide saya.

"Menulis sesuatu yang layak dibaca atau melakukan sesuatu yang layak ditulis."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori Belajar Konstruktivisme

4 Januari 2023   08:00 Diperbarui: 4 Januari 2023   08:01 2035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Belajar berdasarkan perspektif kontruktivisme (Sumber: Instructional Coaches Corner, 2022)

A. Latar Belakang Pemikiran Konstruktivistik dalam Belajar

Konstruktivisme adalah istilah luas yang digunakan oleh filsuf, perancang kurikulum, psikolog, pendidik, dan lain-lain dan Ernst von Glasersfeld menyebutnya "Area yang luas dan berbulu dalam psikologi, epistemologi, dan pendidikan kontemporer" (Woolfolk, 2016: 399). Paradigma konstruktivisme dalam belajar muncul pada 1970-an dan 1980-an, memunculkan gagasan bahwa peserta didik bukanlah penerima informasi pasif, tetapi mereka secara aktif membangun pengetahuan mereka dalam interaksi dengan lingkungan dan melalui reorganisasi struktur mental. Konstruktivisme, menurut Bruning dan koleganya, adalah perspektif filosofis dan psikologis yang menyatakan bahwa individu membentuk atau membangun sebagian besar dari apa yang mereka pelajari dan pahami (Schunk, 2012: 229).

Berkenaan dengan latar belakang paradigma konstruktivistik, Jia (2010: 197) menyatakan bahwa teori apa pun memiliki dasar dan latar belakangnya sendiri, termasuk teori belajar konstruktivisme yang asal-usulnya terutama mencakup filsafat dan psikologi.

1. Filsafat

Paradigma belajar konstruktivistik bersumber dari salah satu filsafat pengetahuan yang banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan akhir-akhir ini,  khususnya pendidikan ilmu pengetahuan alam dan matematika, yaitu filsafat konstruktivisme. Beberapa orang setuju bahwa konstruktivis pertama adalah Socrates dan studi Kant tentang integrasi rasionalisme dan empirisme menunjukkan jenis konstruktivisme (Jia, 2010: 197). Socrates, seorang filsuf Yunani pada masa sebelum masehi yang mengembangkan suatu bentuk penelaahan filosofis dengan mengeksplorasi implikasi dari posisi lawan bicara untuk merangsang munculnya pemikiran rasional dan gagasan baru. Apa yang dikembangkan Socrates kemudian dikenal sebagai metode Socrates. Imanuel Kant (1724-1804) seorang filsuf dari Jerman, menyatakan bahwa seseorang tidak bisa membuka diri terhadap dunia luar secara langsung dan hanya dengan aturan kognitif utama yang dibangun secara internal, subjek dapat mengatur pengalaman dan mengembangkan pengetahuan (Jia, 2010: 197). Pandangan  konstruktivisme tentang pengatahuan, menurut Suparno (2019: 28),  adalah sebagai berikut.

  • Pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan.
  • Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai.
  • Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang.
  • Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus dan dalam proses ini keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan.

2. Psikologi

Dalam perspektif psikologi, yang pertama memberikan kontribusi besar pada pengembangan pemikiran konstruktivisme dan menerapkannnya ke dalam kelas dan pembelajaran serta perkembangan siswa adalah Dewey, Piaget, dan Vygotsky (Jia, 2010: 197). John Dewey (1859--1952) menolak gagasan bahwa sekolah harus fokus pada pengulangan, menghafal dan mengusulkan agar siswa terlibat secara aktif dalam belajarnya. Dalam bukunya yang berjudul How We Think tahun 1910, ia menekankan bahwa materi belajar harus disediakan dengan cara yang merangsang dan menarik bagi siswa karena mendorong pemikiran orisinal dan pemecahan masalah (Hodgson, 2017: 144). Dewey menyerukan agar proses belajar didasarkan pada pengalaman nyata (learning by doing) . Dia berpandangan bahwa dalam belajar, siswa seharusnya terlibat dalam penyelidikan berkelanjutan: belajar, merenungkan, mempertimbangkan kemungkinan alternatif dan sampai pada keyakinan yang didasarkan pada bukti.

Jean Piaget (1896--1980) mempelajari anak-anak hingga remaja dalam upaya untuk mengungkap bagaimana perkembangan pemikiran logis pada mereka. Menurut Piaget anak-anak memiliki peran aktif dalam perkembangan mereka sendiri, dan secara progresif mengembangkan representasi-representasi mental atas dunia yang lebih rinci dan canggih yang disebut skema, berdasarkan tindakan-tindakan mereka sendiri pada lingkungan dan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan  tersebut (Upton, 2012: 23). Seperti halnya Piaget, Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog dan pakar perkembangan anak dari Rusia, juga menyatakan bahwa anak-anak secara aktif membentuk pengetahuan mereka. Perbedaan pandangan Vygotsky dengan Piaget adalah bahwa Vygotsky memberi perhatian lebih besar akan pentingnya interaksi sosial dan budaya terhadap perkembangan kognitif. Vygotsky menemukan dasar untuk pembentukan konstruktivisme modern. Menurut Vygotsky, belajar adalah konstruksi sosial.

Selain tiga tokoh yang telah disebutkan, ada tokoh lain yang juga dipandang berkontribusi pada pemikiran konstruktivisme. Dia adalah Jerome Seymour Bruner (1915-2016), seorang psikolog dan pendidik dari Amerika Serikat. Dipengaruhi oleh Vygotsky, Bruner menekankan peran guru, bahasa, dan pembelajaran. Dia berpikir bahwa proses yang berbeda digunakan oleh peserta didik dalam pemecahan masalah, yang berbeda dari orang ke orang dan bahwa interaksi sosial terletak pada akar dari pembelajaran yang baik. Bruner membangun tradisi Socrates belajar melalui dialog, mendorong pembelajar untuk mencerahkan diri mereka sendiri melalui refleksi. Bruner terkenal karena mengintegrasikan pendekatan kognitif Piaget ke dalam psikologi pendidikan,  dia menganjurkan untuk belajar penemuan (discovery learning) di mana guru menciptakan lingkungan pemecahan masalah (Hodgson, 2017: 144). Dengan demikian belajar dapat menjadi proses penemuan di mana pembelajar membangun pengetahuan mereka sendiri, dengan dialog aktif para guru, membangun pengetahuan mereka yang ada.

B. Konstruktivisme Kognitif dan Konstruktivisme Sosial 

Meskipun banyak psikolog dan pendidik menggunakan istilah konstruktivisme, mereka sering mengartikan secara berbeda dan salah satu cara untuk mengatur pandangan konstruktivistik adalah dengan berbicara tentang dua bentuk konstruktivisme: konstruksi psikologis dan sosial (Woolfolk, 2016: 399).

1. Konstruktivisme Kognitif

Konstruktivisme psikologis atau kognitif bersumber dari pemikiran Piaget,  berpandangan bahwa belajar adalah proses kognitif aktif dimana setiap pembelajar membangun makna pribadi melalui pengalamannya. Piaget berpandangan bahwa anak-anak tidak dilahirkan dengan ide-ide bawaan tentang realitas, seperti yang diklaim beberapa filsuf yang menganut pandangan nativisme. Dia juga tidak sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa anak-anak hanya diisi dengan informasi oleh orang dewasa, seperti yang diyakini oleh para ahli teori empirisme dan behaviorisme. Bagi Piaget, yang disebut konstruktivisme, adalah bahwa anak-anak secara aktif membangun pemahaman mereka sendiri tentang dunia berdasarkan interaksi mereka dengannya (Sigelman & Rider, 2018: 47). Salah satu prinsip Piaget adalah bahwa belajar merupakan proses adaptif dimana anak-anak membangun pengalaman mereka sebelumnya dan ini berimplikasi pada cara di mana informasi disajikan oleh guru (Ramsook & Thomas, 2016: 129).

2. Konstruktivisme Sosial

Konstruktivisme sosial bersumber dari pemikiran Vygotsky (1978), menekankan sifat kolaboratif dalam belajar dan peran lingkungan sosial dan budaya. Konstruktivisme sosial menghendaki belajar berlangsung dalam lingkungan sosial yang di dalamnya terdapat dialog, diskusi dan kegiatan pemecahan masalah (Ramsook & Thomas, 2016: 129). Belajar dan pembelajaran, menurut paradigma konstruktivisme sosial merupakan fenomena sosial dan pembelajar membangun hasil belajarnya melalui interaksinya dengan individu-individu lainnya, baik itu sesama pembelajar maupun guru. Dalam konstruktivisme sosial, pemahaman anak dibentuk tidak hanya melalui pertemuan adaptif dengan dunia fisik tetapi melalui interaksi antara orang-orang dalam hubungannya dengan dunia yang tidak hanya fisik dan ditangkap oleh indera, tetapi budaya, bermakna dan signifikan, dan dibuat terutama oleh bahasa (Akpan et al., 2020: 51). Belajar kooperatif, yang melibatkan kemandirian positif, akuntabilitas individu, partisipasi yang setara dan interaksi simultan merupakan komponen kunci dari konstruktivisme sosial. Konstruktivisme sosial juga disebut pembelajaran kolaboratif karena didasarkan pada interaksi, diskusi dan berbagi di antara siswa (Akpan et al., 2020: 51).

Meskipun pembedaan konstruktivisme seperti diuraikan di atas, dalam praktik pembelajaran cenderung tidak ada pembedaan. Bahwa Piaget dan Vygotsky sama-sama pemikir psikologi konstruktivisme dan hasil pemikiran mereka diterapkan ke dalam pembelajaran konstruktivistik.

C. Makna Belajar dan Pembelajaran Berdasarkan Paradigma Konstruktivisme

Menurut Suparno (2019: 61), berdasarkan paradigma konstruktivisme,  belajar dan pembelajaran memiliki arti sebagai berikut.

  • Belajar artinya membentuk makna. Makna diperoleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, alami, dst. Konstruksi arti tersebut dipengaruhi oleh pengertian yang telah mereka miliki. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru kepada siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar. 
  • Rekonstruksi arti dalam belajar berlangsung terus-menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, terjadi rekonstruksi.
  • Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru.
  • Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada saat skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut.
  • Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahuinya.
  • Pembelajaran bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya.
  • Peran guru dalam proses belajar dan pembelajaran adalah sebagai mediator dan fasilitator. 

Mugambi (2018: 98-99) menegaskan bahwa ada beberapa prinsip panduan pemikiran konstruktivistik yang harus dipahami oleh pendidik, yaitu sebagai berikut.

  • Proses belajar membutuhkan waktu. Belajar tidak terjadi secara seketika. Untuk belajar yang signifikan, peserta didik perlu meninjau kembali gagasan, merenungkannya, mencobanya, bermain dengannya, dan menggunakannya.
  • Belajar adalah proses aktif dimana pembelajar menggunakan masukan sensorik dan mengkonstruksi maknanya. Peserta didik perlu melakukan sesuatu karena belajar melibatkan peserta didik yang terlibat dengan dunia.
  • Orang belajar untuk belajar saat mereka belajar. Belajar terdiri dari membangun makna dan membangun sistem makna, yaitu, setiap makna yang dibangun membuat peserta didik lebih mampu memberi arti pada sensasi lain yang bisa cocok dengan pola serupa.
  • Tindakan krusial dalam membangun makna bersifat mental. Konstruksi makna terjadi di dalam pikiran. Perlu disediakan aktivitas yang melibatkan pikiran serta tangan (aktivitas motorik).
  • Belajar melibatkan bahasa. Bahasa yang digunakan mempengaruhi belajar. Pembelajar berbicara kepada diri mereka sendiri saat mereka belajar, dan bahasa serta belajar saling terkait erat.
  • Belajar adalah kegiatan sosial. Belajar sangat erat kaitannya dengan hubungan sosial. Percakapan, interaksi dengan orang lain dan kolaborasi merupakan aspek integral dari belajar.
  • Belajar itu kontekstual. Belajar fakta dan teori tidak terisolasi dari pengalaman. Manusia belajar dalam hubungannya dengan apa yang diketahui, apa yang diyakini, apa yang dibayangkan, dan apa yang diharapkan.
  • Seseorang membutuhkan pengetahuan untuk dipelajari. Tidak mungkin untuk mengasimilasi pengetahuan baru tanpa memiliki beberapa struktur yang dikembangkan dari pengetahuan sebelumnya untuk dibangun. Semakin banyak pengetahuan yang telah dimiliki, semakin banyak yang bisa dipelajari.
  • Belajar bukanlah penerimaan pasif dari pengetahuan yang ada "di luar sana." Belajar melibatkan pembelajar  yang terlibat dengan dunia dan mengekstraksi makna dari pengalamannya.
  • Motivasi adalah komponen kunci dari belajar. Motivasi membantu belajar dan memiliki peran penting dalam keberhasilan belajar.

Konsep penting dari pandangan konstruktivis adalah bahwa belajar terjadi dalam konteks (pengalaman dunia nyata) dan pengetahuan itu tertanam dalam pengalaman (Instructional Coaches Corner, 2022).

Instructional Coaches Corner (2022) mengilustrasikan karakteristik belajar berdasarkan perspektif kontruktivisme dalam bentuk gambar sebagai berikut.

D. Penerapan Teori Belajar Konstruktivisme dalam Proses Belajar dan Pembelajaran 

Peran guru dalam kelas konstruktivis tidak terbatas untuk memberikan ceramah kepada siswa tetapi untuk bertindak sebagai ahli pembelajaran yang dapat membimbing siswa untuk mengadopsi strategi kognitif seperti tes diri, mengartikulasikan pemahaman, mengajukan pertanyaan menyelidik, dan refleksi. Peran guru dalam kelas konstruktivis adalah untuk mengatur informasi seputar ide-ide besar yang menarik minat siswa, untuk membantu siswa dalam mengembangkan wawasan baru, dan menghubungkannya dengan hasil belajar sebelumnya.

Berkenaan dengan peran guru dalam kelas konstruktivis sosial, Akpan dan koleganya (2020: 53) menyatakan bahwa konstruktivisme sosial memberikan kepercayaan pada pedagogi instruksional dengan mendefinisikan peran guru dalam proses pembelajaran dan ini menyiratkan bahwa guru harus mengadopsi metode pembelajaran sebagai berikut.

  • Berpusat pada siswa. Siswa didorong untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar mereka sendiri. Mereka diperbolehkan untuk mengemukakan ide, pertanyaan, definisi dan seterusnya.
  • Bersifat kolaboratif, dalam arti menekankan proses belajar melalui interaksi sosial. Hal ini dilakukan dengan membuat siswa bekerja dalam kelompok untuk memecahkan masalah, menyelidiki dan mengeksplorasi topik/situasi untuk sampai pada kesimpulan. Dengan demikian mereka menemukan atau membangun pengetahuan sendiri
  • Guru sebagai fasilitator . Dalam kelas konstruktivis sosial, belajar kolaboratif adalah proses interaksi teman sebaya yang dimediasi dan diatur oleh guru. Diskusi dapat dilakukan  dengan penyajian konsep-konsep tertentu, masalah atau skenario, dan dipandu melalui pertanyaan yang diarahkan secara efektif, pengenalan dan klarifikasi konsep dan informasi, dan referensi ke materi yang dipelajari sebelumnya. Peran guru di kelas konstruktivis adalah:  (1) menunjukkan kepada siswa bagaimana membangun pengetahuan, (2) memonitor proses belajar dan pembelajaran secara efektif, (3) mempromosikan kolaborasi untuk berbagi berbagai perspektif, (4) mempromosikan eksplorasi diri dan penyelidikan, dan (5) merancang pengalaman otentik (Instructional Coaches Corner, 2022).
  • Project-based learning (PBL) dan work-based learning (WBL) adalah dua contoh proses proses belajar dan pembelajaran yang erlangsung dalam pengaturan berbasis konstruktif. PBL dan WBL keduanya didasarkan pada belajar inkuiri di mana siswa membangun pertanyaan esensial (menarik) mereka sendiri untuk diselidiki. PBL dan WBL dianggap sebagai pendekatan konstruktif karena keduanya menekankan belajar kolaboratif dan mandiri sambil didukung oleh seorang fasilitator.
  • Dalam kelas konstruktivistik, pembelajar dihadapkan pada suatu masalah, terlibat dalam diskusi kelompok, berpartisipasi dalam kolaborasi dengan teman sebaya, mengaktifkan pengetahuan sebelumnya, dan membangun pertanyaan esensial berbasis inkuiri berdasarkan masalah yang akan mereka selidiki (Instructional Coaches Corner, 2022). Setelah kolaborasi awal, siswa bekerja secara mandiri dalam studi mandiri untuk meneliti masalah yang diidentifikasi. Siswa menerima umpan balik yang konsisten serta pembelajaran tepat waktu dari fasilitator berdasarkan kebutuhan mereka dalam proses inkuiri. Para siswa kemudian mendiskusikan temuan mereka untuk menyempurnakan pemikiran mereka berdasarkan apa yang telah mereka pelajari.

Menjadi seorang guru konstruktivis mungkin tidak mudah, karena bersedia masuk ke zona tidak nyaman, dan bersedia mengadopsi paradigma baru, dan siap untuk belajar lagi. Dalam pembelajaran konstruktivis, menurut Gagne, fungsi guru adalah mengatur kondisi belajar sedemikian rupa sehingga siswa akan mempelajari apa yang dimaksudkan (Bhattacharjee (2015: 70). Merancang kegiatan yang sesuai membutuhkan perencanaan yang matang dan membutuhkan pula waktu persiapan. Menemukan contoh dan masalah yang sesuai dengan tujuan pembelajaran akan menuntun siswa ke hasil belajar yang diharapkan, dan pekerjaan membutuhkan banyak kerja keras yang menyita waktu.

Pembelajaran konstruktivis biasanya dimulai dengan pertanyaan, kasus, atau masalah. Dalam sesi konstruktivis yang khas, saat siswa memecahkan masalah, guru hanya mengintervensi sesuai kebutuhan untuk membimbing siswa ke arah yang sesuai. Pada dasarnya, peran guru dalam kelas konstruktivistik adalah mempresentasikan masalah dan membiarkan siswa bekerja memecahkannya.

Banyak pendidik dan psikolog kognitif telah menerapkan konstruktivisme pada perkembangan lingkungan belajar. Berkenaan dengan hal tersebut, Windschitl seperti dikuitip oleh Woolfolk (2016: 404-405) menyarankan bahwa kegiatan berikut mendorong pembelajaran yang bermakna.

  • Guru mengidentifikasi ide-ide dan pengalaman siswa dalam kaitannya dengan topik utama, kemudian merancang situasi pembelajaran yang membantu siswa menguraikan atau menyusun kembali pengetahuan mereka saat ini.
  • Siswa sering diberi kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan yang kompleks, bermakna, dan berbasis masalah.
  • Guru memberi siswa berbagai sumber informasi serta alat (teknologi dan konseptual) yang diperlukan untuk memediasi proses belajar.
  • Siswa bekerja secara kolaboratif dan diberi dukungan untuk terlibat dalam dialog berorientasi tugas satu sama lain.
  • Guru mengembangkan proses berpikir dan diperuntukkan siswa dan mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama melalui dialog, menulis, menggambar, atau representasi lainnya.
  • Siswa secara rutin diminta untuk menerapkan pengetahuan dalam konteks yang beragam dan otentik, menjelaskan ide, menafsirkan teks, memprediksi fenomena, dan membangun argumen berdasarkan bukti, daripada fokus secara eksklusif pada perolehan "jawaban benar" yang telah ditentukan sebelumnya.
  • Guru mendorong pemikiran reflektif dan otonom siswa sehubungan dengan kondisi yang tercantum di atas.
  • Guru menerapkan berbagai strategi penilaian untuk memahami bagaimana ide siswa berkembang dan untuk memberikan umpan balik tentang proses serta produk dari pemikiran mereka.

Daftar Pustaka

Akpan, V.I. et al. (2020). Social Constructivism: Implications On Teaching And Learning. British Journal of Education Vol.8, Issue 8, pp.49-56, September 2020.

Bhattacharjee, J. (2015). Constructivist Approach to Learning--An Effective Approach of Teaching Learning. International Research Journal of Interdisciplinary & Multidisciplinary Studies (IRJIMS) Volume-I, Issue VI, July 2015, Page No. 65-74.

Hodgson, C.(Editor) (2017). Educational Psychology: Theory and Practice. New York: Library Press.

Instructional Coaches Corner. (2022). Constructivism. Tersedia pada: https://www.instructionalcoaches.com/portfolio/constructivism/

Jia, Q. (2010). A Brief Study on the Implication of Constructivism Teaching Theory on Classroom Teaching Reform in Basic Education. International Education Studies Vol. 3, No. 2; May 2010 p. 197-199.

Mugambi, M.M. (2018). Linking Constructivism Theory to Classroom Practice. International Journal of Humanities Social Sciences and Education (IJHSSE) Volume 5, Issue 9, September 2018, PP 96-104.

Ramsook, L. & Thomas, M. (2016). Constructivism-Linking Theory with Practice among Pre-Service Teachers at the University of Trinidad and Tobago. International Journal of Learning, Teaching and Educational Research Vol. 15, No. 7, pp. 127-137, June 2016.

Schunk, D.H. (2012). Learning Theories: An Educational Perspective. Boston: Pearson.

Siegelman, C.K. & Rides, E.A. (2018). Life-Span Human Development. Bonston: Cengage Learning.

Suparno, P. (2019). Filsafat Konstruktivise dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Upton, P. (2012). Psikologi Perkembangan (Alih Bahasa: Noermalasari Fajar Widuri). Jakarta: Erlangga.

Woolfolk, A. (2016). Educational Psychology. Boston: Pearson.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun