17 April 2019, jutaan rakyat Indonesia menjadi saksi adanya demokrasi terbesar sepanjang sejarah kemerdekaan. Untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia secara serentak diberikan kesempatan dan kebebasan untuk mengambil bagian dalam menentukan keberlangsungan bangsa dengan memilih wakil rakyat mulai dari DPRD, DPD, DPR hingga presiden dan wakil presiden.Â
Hingar bingar dan antusiasme warga tampak sangat jelas untuk menyambut pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Sayangnya, di saat yang bersamaan Indonesia juga mencatat sejarah kelam dengan meninggalnya 527 petugas KPPS dan 11.239 petugas yang sakit selama proses pemilu (Kompas, 16 Mei 2019). Hanya selang kurang lebih satu bulan, tepatnya tanggal 21 Mei 2019 dini hari saat hasil pemilu diumumkan, sebagian rakyat juga merasa "diciderai" dengan keputusan pemenang pemilu presiden.
Kembali ke sejatinya demokrasi, pemilu pada dasarnya dilandasi dengan asas yang LUBER dan JURDIL. LUBER yang dimaksud adalah "Langsung, Umum, Bebas, Rahasia" sedangkan JURDIL bermakna "Jujur dan Adil".Â
Sejak dilaksanakannya pemilu presiden pertama kali tahun 2004, pemilu serentak tahun 2019 ini telah mengundang kontroversi dan menambah deretan panjang dari sengketa yang belum terselesaikan.Â
Pertanyaannya, jika rakyat merasa bahwa asas-asas yang menjadi landasan tersebut sudah perlahan-lahan "dikuliti", masihkah demokrasi memiliki arti? Masihkah rakyat berdaulat? Aplikasi teori permainan sederhana setidaknya dapat digunakan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi pemilihan umum yang ada di Indonesia sekarang ini.
Pemilih
Calon yang dipilih
Pemenang pemilu
Utilitas/kepuasan Â
1
1
1
15
2
1
1
15
3
1
1
15
4
2
1
5
2
1
6
2
1
Untuk menyederhanakan pemahaman, kita bisa memisalkan dengan 6 pemilih dan 2 calon pasangan presiden. Pemenang ditentukan berdasarkan banyaknya vote yang diperoleh. Pemilih 1-3 akan memilih calon presiden nomor urut 1 sedangkan pemilih nomor 3-4 akan memilih calon presiden dengan nomor urut 2.Â
Tingkat kepuasan/utilitas pemilih akan maksimal sebesar 15 jika calon yang dipilihnya menang sedangkan akan mendapat kepuasan 0 jika calon yang dipilih tidak menang. Dalam kasus ini, dimisalkan bahwa yang menang adalah pasangan calon 1 sehingga pemilih 1-3 akan mendapatkan utilitas masing-masing sebesar 15 dan pemilih 4-6 akan mendapatkan utilitas sebesar 0.
Dalam teori permainan, kita mengenal apa yang disebut dengan keseimbangan Nash. Konsep ini secara sederhana menggambarkan tingkat kepuasan optimal dari masing-masing pemain setelah mempertimbangkan langkah apa yang dilakukan oleh lawan.
 Dalam kasus pemilu, rakyat akan memperoleh utilitas maksimum ketika calon yang dipilih menang sehingga keseimbangan Nash akan tercapai ketika rakyat memilih calon presiden yang sesuai dengan seleranya.Â
Idealnya, keseimbangan Nash ini akan tercapai ketika tidak ada insentif untuk terjadinya kecurangan dalam proses pemilu. Akan tetapi faktanya, proses kecurangan ini sangat sulit dihindari seperti adanya laporan kasus ditemukannya 17,5 juta DPT yang bertanggal lahir sama.
Dalam sistem demokrasi kita, setiap rakyat Indonesia mendapatkan satu suara yang kemudian akan diakumulasikan dimana calon terbanyak yang akan memenangkan pemilu. Tetapi, apakah ini representatif? Bagaimana dengan orangtua yang tinggal didesa, atau orang-orang paruh baya yang rendah tingkat pendidikannya? Apakah suara yang mereka berikan benar-benar sesuai dengan apa yang ingin dipilih atau hanya "ndherek sedherek" (dalam bahasa Jawa berarti ikut yang lainnya). Ini sebenarnya menjadi pekerjaan rumah (PR) besar dalam penyelenggaraan pemilu di negara kita, bagaimana caranya supaya suara tidak bisa dibarter dan benar-benar bisa mewakili kedaulatan rakyat di tingkat individu.
Hal yang juga tidak kalah penting adalah "bagaimana pemerintah membuat masyarakat tidak fanatik dengan hasil yang muncul". Kasus yang terjadi di Indonesia adalah jika sekelompok masyarakat sudah mendukung calon tertentu, maka fanatisme akan berkembang dengan cepat sehingga tidak heran jika muncul hoax untuk menjatuhkan kelompok tertentu.
Tentu ini akan menimbulkan banyak perpecahan jika tidak segera dicarikan jalan keluar karena esensi besar dari demokrasi adalah kebebasan yang saling menghargai. Jika sikap fanatisme terus menerus dibiarkan mengakar maka nilai-nilai demokrasi yang sama-sama kita junjung tinggi akan hilang.
Untuk mencapai stabilitas politik pasca pemilu, partai politik juga seharusnya ikut andil dalam mengkoordinir pendukungnya untuk bisa menghargai keputusan pemilu sebagai bentuk pelaksanaan prinsip-prinsip LUBER dan JURDIL. Siapapun presidennya, satu hal yang harus diingat adalah tetap fokus pada visi misi dan program kerjanya untuk pembangunan bangsa sehingga tidak perlu berlarut-larut dalam euforia yang berlebihan tentang kekalahan.
Terakhir, presiden terpilih harus bisa amanah dengan janjinya sesuai dengan yang sudah dikampanyekan baik dalam debat presiden yang sudah terselenggara selama 5 kali berturut-turut maupun dalam program kunjungan langsung kepada masyarakat.Â
Hal ini bertujuan agar utilitas masyarakat yang 0 (nol) atau tidak memilih tidak bertambah buruk sehingga sekalipun rakyat tidak memilih presiden yang menang, mereka masih bisa percaya bahwa kepemimpinan negeri ini bisa diserahkan pada wakil rakyat yang bertanggungjawab. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H