Indonesia adalah salah satu negara yang punya potensi besar dalam sektor pertanian. Hal ini tidak saja terlihat dari keanekaragaman produk yang bisa dihasilkan, tetapi juga ditinjau dari kemampuan sektor pertanian dalam memenuhi kebutuhan ekspor, serta luasnya lahan yang sudah digarap maupun lahan yang masih bersifat potensial. Tidak mengherankan jika masih banyak masyarakat Indonesia yang berprofesi sebagai petani baik dalam skala kecil maupun yang sudah menjalankan usaha berskala besar.
Dari sisi penyediaan lapangan kerja, sektor pertanian (dalam pengertian sempit) juga mampu menyediakan lapangan kerja paling besar dengan menyerap 36,91 juta tenaga kerja terhitung sampai bulan Februari 2018. Tenaga kerja tersebut merupakan 28,23% dari keseluruhan tenaga kerja yang ada di Indonesia yang terbagi ke dalam sub sektor tanaman pangan (46,58%), perkebunan (30,79%), peternakan (13,47%), serta hortikultura (9,16%). Sayangnya, sekalipun sektor pertanian bisa membuka kesempatan kerja tetapi hanya mampu menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 9,96% pada triwulan I tahun 2018 (Data Statistik Ketenagakerjaan Sektor Pertanian, 2018). Rendahnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB bisa menjadi indikator rendahnya produktivitas dan kemajuan di sektor ini.
Lalu, dengan adanya dua kondisi kontroversial tersebut (yakni potensi di sektor pertanian dan rendahnya sumbangsih sektor ini dalam PDB), sebuah pertanyaan menarik bisa diajukan "apakah petani di Indonesia sudah sejahtera? Tentu kita bisa bersepakat untuk menjawab belum. Bahkan jika ingin dielaboraasi lebih jauh, kita masih bisa mempertanyakan "apakah perdagangan yang dihasilkan dari sektor pertanian ini bisa dinikmati secara rata atau justru hanya dinikmati segelintir petani saja?" Pertanyaan ini masih sulit dijawab karena faktanya kemiskinan yang berbasis sektor pertanian sampai sekarang masih terus ada.
Bagaimana Kondisi Sebenarnya Sektor Pertanian Indonesia dan bagaimana jika Ditinjau dari Keunggulan Komparatif Berdasarkan RSCA?
Berdasarkan data buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri yang dirilis oleh BPS periode Februari 2018, diperoleh data ekspor nonmigas yang terdiri dari sektor pertanian, industri pengolahan dan pertambangan. Dari data tersebut, nilai ekspor tertinggi berasal dari sektor industri pengolahan mencapai 10.408 juta US$ pada akhir tahun 2017. Sedangkan posisi kedua ditempati oleh sektor pertambangan dengan nilai ekspor tertinggi sebesar 2.679 juta US$ pada tahun yang sama. Nilai ekspor terendah berasal dari sektor pertanian dengan nilai yang hanya berkisar 200 juta US$.Â
Rendahnya nilai ekspor produk pertanian dibandingkan dengan sektor yang lainnya ini bisa menjadi indikasi bahwa telah terjadi penurunan kinerja di sektor ini. Jika dilihat dari pergerakan ekspor industri pengolahan dan tambang yang menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun, sektor pertanian justru menunjukkan kemerosotan ekspor yang cukup signifikan. Ini seharusnya sudah menjadi signal bahwa sektor ini memerlukan perhatian khusus agar bisa terus tumbuh karena sektor ini juga yang menjadi sumber penghidupan bagi mayoritas masyarakat miskin di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Ervani, Widodo dan Purnawan (2019) menganalis apakah negara-negara di kawasan Asia Timur termasuk Indonesia menspesialisasikan diri pada produk-produk yang mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi dengan menggunakan data SITC 3 digit yang bersumber dari UN-COMTRADE. Keunggulan komparatif yang dimaksud di sini adalah keuntungan yang diperoleh suatu negara jika melakukan spesialisasi untuk memproduksi barang yang mempunyai harga relatif lebih rendah dibandingkan negara lain. Pengetahuan mengenai keunggulan komparatif atas suatu produk ini menjadi penting dalam analisis sektor pertanian karena mampu menyediakan informasi mengenai dimana sebaiknya Indonesia melakukan spesialisasi. Idelanya, Indonesia akan melakukan ekspor untuk barang-barang yang punya keunggulan komparatif tinggi dan akan mengimpor barang yang memiliki kerugian komparatif.
Untuk melihat keunggulan komparatif atas produk-produk di Indonesia, digunakan indeks RSCA (Revealed Symmetric Comparative Advantage) dengan nilai yang berkisar antara -1 RSCA 1. Komoditas ekspor dari suatu negara yang memiliki nilai RSCA lebih dari nol (>0), maka dapat dikatakan produk tersebut memiliki keunggulan komparatif, sedangkan nilai RSCA yang kurang dari nol (<0) berarti produk tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. Hasil di bawah ini menunjukkan 20 besar produk Indonesia yang mempunyai keunggulan komparatif sampai tahun 2015:
Ketika berbicara dalam konteks pertanian yang sempit, kita bisa menarik kesimpulan berdasarkan nilai RSCA tersebut, bahwa sangat sedikit produk pertanian yang memiliki keunggulan komparatif. Jika berbicara dalam konteks pertanian yang luas dengan melibatkan sektor perikanan ada keunggulan komparatif seperti Fish, crustaceans and molluscs, prepared or preserved (S2-037), perkebunan seperti cocoa dan coffee (S2-071 dan 072), serta kehutanan seperti Natural rubber latex; rubber and gums (S2-232). Untuk mengembangkan sektor pertanian, pemerintah perlu membuat prioritas dan cakupan yang jelas apakah akan diarahkan untuk pertanian dalam konteks yang sempit atau luas.
Apa Tantangan Yang Dihadapi Sektor Pertanian Di Indonesia, khususnya Menyongsong Era Revolusi Industri 4.0?
Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi telah membawa kita pada era efisiensi, dimana segala hal bisa dilakukan dengan waktu yang relatif lebih singkat, dengan biaya yang relatif lebih sedikit dan dengan hasil yang sebanding atau bahkan lebih baik. Sektor pertanian, tak luput dari salah satu sektor yang perlu melihat peluang serta tantangan dari kemajuan teknologi tersebut yang sebentar lagi akan dihadapi yakni Revolusi industri 4.0. Secara singkat, konsep dari revolusi industri 4.0 ini muncul dengan menekankan pentingnya mekanisasi, komputerisasi, efisiensi, pemanfaatan jaringan internet dan teknologi.
Lalu, apa yang harus dipersiapkan oleh sektor pertanian di Indonesia. Pertama, perlu disadari betul bahwa sektor pertanian akan lebih sulit maju dibandingkan dengan sektor lain seperti jasa, manufaktur dan keuangan. Hal ini dikarenakan masih rendahnya sumber daya manusia muda yang tertarik untuk mengembangkan sektor pertanian. Berdasarkan statistik ketenagakerjaan sektor pertanian tahun 2017-2018 diperoleh data mengenai tingkat pendidikan pekerja di sektor pertanian yang masih didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar dengan 37,53%. Komposisi SDM terbesar kedua didominasi oleh pekerja yang tidak tamat sekolah dasar dengan 24,23% dan tidak tamat sekolah sebesar 7,19 persen. Lulusan sekolah menengah atas dengan 16,83 persen, sedangkan lulusan perguruan tinggi yang ada di tingkatan DI-DIII serta sarjana hanya sebesar 0,45 persen dan 1,02 persen. Dengan rendahnya kualitas SDM, penetrasi teknologi dan pengenalan alat-alat baru mungkin tidak akan cukup efisien karena dibutuhkan waktu lama untuk memperkenalkannya kepada petani.
Kedua, yang juga perlu diingat dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan adalah bahwa komposisi petani Indonesia masih didominasi oleh petani kecil dibandingkan petani besar. Jika petani besar yang selama ini menguasai pasar, maka yang perlu dipertimbangkan pemerintah adalah bagaimana mengakomodasi petani kecil tersebut agar bisa terlibat dalam pasar. Atau dengan kata lain, menciptakan marketplace untuk petani kecil. Pemerintah sebisa mungkin mengambil langkah untuk membantu petani kecil dalam memanfaatkan platform jual beli online yang sekarang ini sudah mulai banyak berkembang, tentunya dengan mempertimbangkan adanya keterbatasan petani dalam penguasaan teknologi dan pengetahuan pasar.
Bagaimana petani memanfaatkan momentum dan menyikapi persaingan di era revolusi Industri 4.0?
Saya rasa pertanyaan ini bisa dijawab dengan melakukan program prioritas sektor pertanian. Pemerintah perlu melakukan pemetaan produk pertanian yang memberikan keunggulan komparatif bagi Indonesia. Dengan mengetahui keunggulan komparatif, Indonesia akan lebih efisien dalam perdagangan international dan dapat memangkas biaya untuk memproduksi produk yang sekiranya tidak kurang efisien. Selain pemetaan produk, pemetaan wilayah dimana produk tersebut berasal pun perlu dilakukan agar masing-masing daerah dapat menspesifikasikan diri sesuai dengan konsep "one way one product". Dari sudut pandang lain, pemerintah juga bisa melihat jenis produk pertanian mana yang kurang kompetitif di pasaran dan mencari langkah yang konkret untuk meningkatkan kapasitas produksi.
Sebelum berbicara mengenai perubahan teknologi atau mekanisasi yang lebih canggih dalam sektor pertanian, hal yang paling penting dan menurut saya lebih krusial dilakukan dalam menyongsong era insutri 4.0 adalah "marketplace" bagi petani untuk menyalurkan produk-produk hasil pertanian, khususnya petani kecil di perdesaan yang hanya bergantung pada tengkulak untuk menjual hasil produksinya. Reformasi dalam meningkatkan aspek pengetahuan pasar ini merupakan langkah struktural yang tentunya memerlukan perhatian khusus dari pemerintah agar sektor pertanian bisa maju ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Ervani, Eva, Tri Widodo, dan Muhammad Edhie Purnawan. 2019."Comparative Advantage and Trade Specialization of East Asian Countries: Do East Asian Countries Specialize on Product group Wwith High Comparative Agdantage?" International Business Research, hlm: 113-134.
Statistik Ketenagakerjaan Sektor Pertanian tahun 2017-2018. Kementerian Pertanian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H