Mohon tunggu...
Sekundus Septo Pigang Ton
Sekundus Septo Pigang Ton Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

SEORANG MUSIKAL

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebahagiaan Sejati sebagai Tujuan Peziarahan Manusia

4 April 2022   10:12 Diperbarui: 4 April 2022   11:58 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image caption:istockphoto.com 

Abstrak

Fokus dalam studi ini mengenai kebahagiaan sejati sebagai tujuan peziarahan manusia. Metode yang digunakan dalam pembahasan ini ialah pembacaan kritis, refleksi dan relevansinya. Kebahagiaan itu pada dasarnya sangat berarti bagi kehidapan manusia. 

Segala tindakkan yang dilakukan berlandaskan kebahagiaan. Tetapi bukanlah alasan untuk merasakan kebahagiaan tersebut, lalu melakukan berbagai perilaku termasuk yang tidak bermoral untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut.

Hal itu bisa dikatakan bahwa, manusia masih secara sempit dalam memaknai kebahagiaan. Namun kebahagiaan seperti apa yang harus dikejar? Yang harus dikejar tiada lain ialah kebahagiaan sejati. Di mana kebahagiaan itu bukan terletak pada materi tetapi dalam tata batin setiap orang. Apabila batin manusia sudah merasa bahagia maka akan berpengaruh pada hal-hal yang berada di luar dirinya. Yaitu relasi yang baik dengan sesama di mana ia sudah merasa bahagia tetapi belum sepenuhnya.

Sehingga berlandaskan kebahagiaan batin manusia menjalin relasi yang baik bukan hanya dengan sesamanya, tetapi dengan Allah yang merupakan sumber kebahagiaan sejati.  

Kata kunci: Kebahagiaan, Peziarahan, Relasi, Liyan, Allah 

 

Pengantar

Bahagia merupakan keadaan dan perasaan hati yang harus dimiliki setiap orang agar memperoleh ketenteraman dalam hidup baik lahir maupun batin. 

Kebahagiaan pada dasarnya  memiliki arti yang sangat mendalam pada kehidupan manusia itu sendiri. Karena alasan bahagia, manusia ingin hidup bersama, berdampingan dan melahirkan manusia baru. Karena bahagia pula manusia dibesarkan dalam kebahagiaan cinta. 

Dan, karena kebahagiaan itu juga setiap orang selalu berusaha, berjuang dan bekerja keras untuk memperoleh kebahagiaan tersebut dalam hidupnya. 

Bertolak dari pemahaman ini, bahwa manusia harus memiliki kebahagiaan, berjuang dengan keras untuk memperoleh dan merasakan kebahagiaan tersebut, maka kebahagiaan itu menjadi hal utama dalam hidup setiap orang.

Tetapi melihat kenyataan yang sedang terjadi, manusia pada saat ini kerapkali memaknai kebahagiaan itu secara sempit. Apa yang dimaksudkan dengan  memaknai kebahagiaan secara sempit? 

Kebahagiaan secara sempit ialah kebahagiaan yang hanya dimaknai pada materi dan harta kekayaan semata atau segala sesuatu yang mewah barulah bisa dikatakan merasa bahagia. Bertolak dari definisi kebahagiaan tersebut, maka yang menjadi pertanyaan ialah apa makna yang sebenarnya dari kebahagiaan itu? 

Tulisan ini bertitik tolak mengenai keprihatinan, di mana nilai kebahagiaan merosot dari kehidupan manusia. Berdasarkan keprihatinan di atas penulis ingin menggali apa makna dan di mana letak kebahagiaan itu? Seperti apa kebahagiaan itu akan diulas dalam tulisan ini.

Hakekat Kebahagiaan Manusia

Dalam hidup manusia tidak ada seorang pun yang terlepas dari rasa bahagia. Hal tersebut bukanlah sebagai ungkapan semata, tetapi sudah mendarah daging didalam masing-masing individu. 

Orang pasti ingin hidup bahagia, siapa pun itu. Segala aktivitas yang dilakukan selalu didasari dengan kebahagiaan dan itulah menjadi tujuan akhir. Bedasarkan pemahaman tersebut, Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan menjadi tujuan akhir manusia. 

Untuk menggapainya perlu dilewati dengan berbagai aktivitas.[1] Tetapi dalam aktivitas tersebut Aristoteles menjelaskan lagi ada tiga pola hidup yang melekat dalam diri manusia sebagaimana membentuk perilaku manusia untuk memperoleh kebahagiaan.

Pertama, Mengejar kenikmatan.[2] Kenikmatan merupakan bagian dari kodrat hidup manusia. Di dalam diri manusia selalu ada keinginan untuk merasakan kenikmatan tersebut. 

Orang yang hidupnya hanya mencari kenikmatan, pasti membuatnya akan terus merasa bahagia, tetapi kebahagiaan yang dirasakan itu hanya sebatas kenikmatan yang diperoleh. Ketika kenikmatan itu tidak lagi dirasakan maka kebahagiaan tersebut pun lenyap.

Misalnya seorang ingin dipuaskan dengan makanan yang enak, ketika makanan tersebut sedang dinikmati ia merasa bahagia, tetapi setelah itu kebahagiaan pun hilang bersama habisnya makanan tersebut. Orang yang hanya mencari kebahagiaan dalam kenikmatan, tidak merasakan kebahagiaan yang sepenuhnya, ia terus mencari dan menjadikan dirinya yang tidak pernah puas dengan apa yang telah didapatkan.

 Kedua, orientasi yang dikembangkan hidup politis adalah keterlibatan sosial.[3] Pernyataan ini mengggambarkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial, tentu ia memerlukan hidup bersama dengan manusia lain, berelasi dengan sesama ini merupakan kodrat manusia juga yaitu keinginan hidup bersama untuk saling melengkapi. 

Disinilah merupakan sebuah kebahagiaan di mana manusia itu hadir untuk saling membantu kerena keterbatasan maka manusia ingin hidup bersama dan saling memberi diri sehingga terciptalah kebahagian meskipun tidak sepenuhnya.

Ketiga, hidup kontemplatif. Menurut Aristoteles pola hidup ketiga ini merupakan aktivitas terluhur manusia, karena manusia mengarahkan dirinya pada realitas yang melampaui dirinya.[4] Dalam pernyataan ini bisa dijelaskan bahwa setiap orang tidak mudah terpesona oleh hal-hal lahiriah atau hal material yang akan binasa oleh waktu. Tetapi lebih memfokuskan diri pada sesuatu yang belum melampaui dirinya. Ketiga macam pola hidup tersebut masing-masingnya mengantar setiap orang untuk sampai pada kebahagiaan. Tetapi polah hidup manakah yang mengantar setiap orang pada suatu kebahagiaan sejati.

Menurut Aristoteles, pola hidup terikat pada urusan publik membuat orang akan berkembang.[5] Setiap orang akan mengasah kemampuan dirinya, sebagaimana partisipasi dalam hidup bersama dengan orang lain dan mewujudkan setiap keutamaan baik kecerdasannya ataupun perilaku baik buruknya. 

Keutamaan itulah yang membuat setiap orang merasa bahagia. Sehingga Aristoteles berpendapat bahwa ketika setiap orang itu merenungkan hal-hal yang melampaui apa yang terlihat di mata dan hal tersebut bersifat abadi dan tidak berubah, maka aktivitas itulah yang membahagiakan hidupnya.

[6] Pola hidup kedua dan ketigala-lah yang bisa mengantar setiap orang pada kebahagiaan. Meskipun pola yang kedua belum sepenuhnya mengantar orang untuk lebih bahagia. Dalam hal ini Aristoteles mengatakan bahwa, kebahagiaan sejati bukanlah hal-hal material, tetapi bagaimana setiap manusia, supaya hidup berdampingan dengan sesama, merenungkan diri dan mengolah tata hidup batinnya. Karena pada dasarnya setiap manusia harus merasa bahagia dari dalam diri atau bahagia dalam hidup batinnya barulah ia bisa merasakan kebahagiaan pada hal yang  ada diluar dirinya.

 Manusia Berziarah Mencari Kebahagiaan

Kehidupan manusia merupakan sebuah peziarahan. Berziarah berarti bergerak, berpindah dan terus berjalan. Bergerak atau berjalan setiap manusia tentu memiliki tujuan yang berarti. Tujuan atau makna yang sangat berarti ini tiada lain ialah mencari kebahagiaan. 

Manusia terus bergerak melepaskan kebahagiaan yang fana, mencari kebahagiaan yang sejati dan sempurna itulah tujuannya. Kebahagiaan itu sesungguhnya  sudah ada dalam diri setiap orang, dan menjadi kodratnya. Sejak lahir manusia telah dianugerahi kebahagiaan dalam dirinya, tinggal bagaimana ia memaknai kebahagiaan itu untuk menjalani kehidupan yang seutuhnya.

Jika kebahagiaan itu hanya dimaknai dengan kesenangan semata maka akan lenyap dengan segera dan tanpa memberi makna apapun. Misalnya ketika ada orang yang ingin menjadi kaya dan banyak harta tetapi kekayaan tersebut bukan diperoleh dari hasil usahanya sendiri melainkan hasil rampok ataupun perbuatan jahat lainnya demi mendapatkan kekayaan, pastilah ia tidak pernah merasa puas, hidupnya pun tidak tenang dan penuh tekanan batin.

Sewaktu-waktu kedapatan ketika sedang merampok dan diadili oleh pihak dan berwajib atau digebuk masa hingga mati dan mati tanpa seuatu yang bermakna dalam hidupnya berarti sia-sialah kekayaan yang diperjuangkan selama ini, tidak menghantarnya kepada kebahagiaan sejati. Manusia tidak dapat memaknai hidupnya apabila kebahagiaan tersebut tidak dimaknai dalam pengalaman hidup keseharian pada situasi dan kondisi apapun. Berkaitan dengan orang yang hanya meletakan kebahagiaan pada harta semata. Ada kasus yang terjadi.

 Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Kejaksaan Agung mengatakan bahwa Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI berinisial YAK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Tabungan Wajib Perumahan Angkatan Darat (TWP AD) periode 2013-2020. Jumat (10/11/2021). Terjadinya kasus tersebut negara terbebani. "Perbuatan kedua tersangka telah memberi dampak kerugian keuangan negara sebesar Rp127,73 miliar, perhitungan kerugian negara oleh BPKP."[7]

 Dilihat dari kasus tersebut bisa dijelaskan bahwa mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak milik pribadi merupakan perilaku yang buruk, dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Mengenai kasus di atas, hal itu merupakan sebuah tindakan memaknai kebahagiaan masih dalam arti sempit. Dalam arti mengambil hak orang lain untuk kepentingan pribadinya dan hanya mengutamakan harta duniawi dan mementingkan diri sendiri.

Dari kasus ini, bisa dijelaskan bahwa orang tidak lagi menggunakan akal sehatnya, memilih untuk menikmati sebuah kesenangan yang sifatnya hanya sementara dan semata pada saat ini, daripada harus memilih untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan yang sangat besar ketika suatu hari nanti. Sehingga yang dilihatnya ialah sesuatu yang mengikat pancaindra itulah yang dikejarnya yang sebenarnya bukanlah suatu kebahagiaan yang sesungguhnya.

 Menganai ilustrasi di atas Armada Riyanto dalam bukunya menjadi mencintai menuliskan demikian. Kerinduan Jiwa manusia tidak bisa dipenuhi oleh apa yang ada dalam realitas dunia di ini.[8]  Melalui pemahaman ini bisa diartikan bahwa kebahagiaan itu bukanlah semata-mata kebahagiaan fana atau terletak pada materi yang ada di dunia ini. Kebahagiaan di dunia ini tidaklah membawa kepada kebahagian sejati dan sempurna tetapi selalu membawa kepada kebinasaan apabila selalu dituruti.

Dalam hal ini bukan berarti maumengatakan supaya manusia jangan mencari kebahagian itu, tidak melainkan bagaimana setiap orang supaya tidak memaknai kebahagian tersebut hanya dalam pengertian yang sempit, tetapi harus memaknai kebahagiaan yang bersifat batiniah bisa membuat dirinya, nyaman, tenang dan sukses menjalankan hidupnya.  

 Kebahagiaan Batiniah

 Bagi Socrates kebahagian itu berkait erat dengan dunia batin, penyempurnaan dimensi spiritual lewat keutamaan-keutamaan atau ilmu dan pengetahuan.[9] Dalam hal ini berarti kebahagiaan itu tidak terletak pada materi, pada kekayan yang sifatnya binasa tetapi terletak pada dunia batiniah dan spiritual. 

Dunia spiritual ini sebanarnya mau mengajarkan bahwa bagaimana setiap orang menggunakan keutamaan ilmu pengetahuan untuk memakai kebahagiaan di dalam batinnya. Ketika setiap orang sudah merasakan kebahagiaan itu di dalam batinnya, maka dorongan dari dalam diri itu akan terasa membuatnya terus memaknai kebahagiaan sejati. Kebahagiaan itu akan menjadi miliknya dan tidak lagi memaknai kebahagian secara sempit.

 Kriteria untuk hidup bahagia adalah selalu mendidik diri untuk bertekun dalam arte (keutamaan) mengasah mata batin, mempertajam hati atau menyempurnakan jiwa dengan keutamaan yang berarti mewujudkan kodrat hakiki manusia.[10] Bertolak dari konsep Socrates maka bisa dijelaskan bahwa pada dasarnya manusia adalah makluk yang berakal budi, memiliki rasio untuk mengatur dirinya, namun apa yang dicari tiada lain ialah kebahagiaan. 

Bagi Socrates kebahagiaan itu ada dalam jiwa manusia, dalam arti ia memiliki kekuasaan sepenuhnya, dan kekuasaan itulah yang harus dilakukan dengan menggunakan akal budi untuk mengelola tata hidup batin agar dapat mencapai kebahagiaan sejati.

 Merasakan Kebahagiaan bersama Liyan

Jika kebaikan itu mengantar pada suatu kebahagiaan sejati, maka hal itu perlu diterapkan dalam kehidupan nyata setiap hari. Aristoteles berpendapat bahwa, manusia perlu berelasi dalam hidup sosialnya dengan orang lain ataupun sesamanya agar bisa merasakan  kebahagiaan tersebut.

Dalam berelasi tentu diterapkan kebaikan-kebaikan itu. Membahagiakan Liyan identik dengan membahagikan diri sendiri, menurut Levinas.[11] Apa yang dimaksudkan dengan Liyan? Liyan adalah mereka yang terpinggirkan. Liyan menempati wilayah pinggir kehidupan. Liyan identik dengan keterbelakangan.[12] Dari pernyataan tersebut bisa dijelaskan bahwa, setiap manusia perlu memandang sesamanya sebagai makluk yang berakal budi sama seperti pribadinya. 

Sehingga menyangkut kebahagiaan apa yang diingini setiap orang pasti juga diingini sesamanya. Dengan demikian berkaitan dengan kebahagiaan jika setiap orang ingin mendapat sebuah kebahagiaan maka tentulah ia juga harus menjadi sumber kebahagiaan bagi orang lain (Liyan). 

Bagi Levinas kebahagiaan itu tidak ada, kecuali berkaitan dengan kebahagiaan orang lain (Liyan).[13] Sebagai makhluk sosial manusia selalu hidup bersama-sama dan berbuat baik terhadap orang lain, inilah yang membuatnya merasa bahagia meskipun belum sepenuhnya. 

Dalam hidup ini ketika orang meletakan kebahagiaan hanya pada kekayaan semata atau halnya bersifat materi, berarti itu bukanlah kebahagiaan sejati. Karena ketika sibuk untuk mengumpulkan meteri maka bisa dikatakan, pasti akan terjerumus untuk cenderung melakukan keburukan seperti mencuri dan melakukan kejahatan lainya. Karena yang diinginkan hanyalah mendapatkan harta. 

Setiap orang ingin mendapat kebahagiaan tetapi cara untuk memperolehnya tidak efektif. Mencuri berarti mengambil hak milik orang lain yang sebenarnya bukan menjadi haknya untuk digunakan. Dalam konsep Levinas bahwa kebahagiaan itu berkaitan dengan kebahagiaan orang lain (Liyan), maka perbuatan mencuri yang hanya untuk mendapatkan harta atau kekayaan semata, bukanlah kebahagiaan yang sesungguhnya. Karena membahagiakan orang lain identik dengan membahagiakan diri sendiri konsep Levinas, berarati perilaku mencuri atau mengambil hak milik orang lain itu merupakan aktivitas yang sedang menjerumuskan diri dalam ketidakbahagian.

 Kebahagiaan sebagai tujuan manusia

Kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia itu berarti kebahagiaan yang harus didasari oleh permenungan yang mendalam untuk mencapai sesuatu yang memiliki nilai kebaikan tertinggi. Ketika manusia mulai merenungkan kehadirannya,  tentu itulah yang harus diraskan sebagai kebahagiaan sejati. Karena melalui permenungan dan mengolah tata batin yang mendalam, ia bisa menyadari kehadirannya sebagai makluk tertinggi, makluk yang memiliki akal budi.

Dalam buku filsafat moral kesusilaan dalam teori dan praktek, W. Poespoprodjo menuliskan demikian, sebenarnya hanya makhluk yang berakal budi yang benar-benar dapat bahagia. Sebab merekalah yang dapat merenungkan keadaannya, dan sadar, mengerti kepuasan yang mereka alami.[14] Inilah kemampuan manusia yang tertinggi, tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam hal ini tentu kebaikanlah yang menjadi prioritas utama sebagai salah satu hal yang mengantar pada kebahagiaan. Karena pada dasarnya kebahagiaan sejati tidak bertumpu pada keburukan.

 Berkaitan dengan kebahagiaan adalah sebuah kebaikan, Armada Riyanto dalam bukunya menjadi mencintai menuliskan demikian, kebahagiaan adalah aktivitas keutamaan yang harus dikerjakan terus-menerus dalam hidup sehari-hari.[15] Jika melakukan sebuah kebaikan identik dengan kebahagiaan maka kebaikan itu harus dilakukan secara terus menerus supaya ia dapat merasak kebahagiaan sejati.

Dan begitu pula dengan sebaliknya, jika setiap orang berhenti mmelakukan kebaikan maka ia akan kehilangan sebuah momen penting dalam hidup. Sehingga ketika kebaikan itu menjadi hal penting untuk mencapai kebahagiaan sempurna, berarti kebahagiaan itu bukanlah terletak pada materi, kekuasan ataupun hal lain yang bersifat fana tetapi hal yang bersifat batiniah. Dengan memperjuangkan untuk mendapatkan materi hanya meraskan kebahagiaan sesaat, tidak menjamin kebahagiaan sejati.

Dan ketika kebahagiaan itu didasari oleh perbuatan baik maka ia tidak pernah menyerah dengan tantangan hidup seperti apapun keadaannya baik miskin, kaya, mempunyai kekuasaan ataupun tidak, baginya itu bukanlah persoalan, karena yang diutamakan adalah kebaikan yang mengantarnya pada kebahagiaan sejati.

 Kebahagiaan dalam Allah

 Mengenai kebahagiaan batiniah, Thomas Aquinas menulis demikian bahwa, Allah adalah asal dan tujuan tertinggi kehidupan manusia. Dari Allah mengalir segala kebaikan dan kepada-Nya segala kebaikan dan kebahagiaan memperoleh kesempurnaanya.[16] Dalam pernyatan ini bisa dijelaskan bahwa kebahagiaan tertinggi yang harus dirasakan setiap manusia itu tidak terletak pada dunia materi, hal yang indrawi ataupun makluk ciptaan. Karena dunia materi ini sifatnya binasa. Ketika materi itu binasa kebahagian itu tidak lagi dirasakan. Sehingga bagaimana manusia sebagai makluk berakal budi mencari kebahagiaan sejati. Menurutnya untuk mencapai kebahagiaan itu ada empat hal yang harus dilakukan setiap manusia. 

Pertama, kasih yang terarah pada tujuan itu. Kedua, keinginan yang tidak lain merupakan semacam gerakan ke arah tujuan dan tindakan-tindakan yang berasal dari keinginan itu. Ketiga, Harus ada forma yang diterima oleh intelek. Keempat, ada kebahagiaan, yang dirasakan pada akhir dari proses pencarian.[17] 

 Untuk mencapai kebahagiaan tertinggi dalam Allah manusia tentu harus  memiliki keempat hal tersebut yaitu, kasih yang terarah padanya, ketika memiliki kasih pastilah memiliki sebuah kerinduan untuk memandang Allah. Sehingga manusia terus melakukan perbuatan-perbuatannya untuk mencapai sebuah tujuan yang tertinggi dan pada akhirnya dengan menggunkan intelek, manusia bisa memahami Allah itulah kebahagiaan sejati hasil dari penglihatan dan pertemuan dengan  Allah.

 Kesimpulan

 Bahagia merupakan keadaan batin yang seharusnya dimiliki setiap orang. Kehidupan manusia sebagai peziarah tiada lain adalah mencari kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati juga merupakan pemaknaan kebahagiaan tidak dalam arti sempit, yang hanya meletakan kebahagiaan tersebut pada unsur meteri, kekayaan duniawi semata yang sifatnya fana hancur dalam berlalunya waktu.

Tetapi kebahagiaan sejati terletak pada pemeliharaan batin. Jika hati dan batin setiap orang merasa bahagia dari dalan dirinya maka tidak menuntutnya untuk mengejar kebahagiaan mengenai harta, kekayaan dan melakukan sesuatu yang hanya memuaskan sesaat untuk kepentingan pribadi.

Dan ketika hatinya terasa bahagia maka terciptalah rasa damai, tenang relasi hidup bersamapun akan semakin terpelihara dan menjauhi segala kejahatan yang bersifat menghancurkan diri sendiri maupun sesama.

Relasi yang baik dengan sesama mecerminkan bahwa kebahagiaan menjadi alasan dasar bagi setiap orang untuk hidup bersama membengun hidup yang baik. Sehingga pada akhirnya kebahagiaan itu tidak hanya membuat orang untuk bisa berelasi dengan sesamanya tetapi berelasi dan hidup dengan Allah yang merupakan sumber kebahagiaan sejati di mana kebahagiaan itu tiada akhirnya.

 

Daftar Pustaka:

Sumber Buku:

Bala, Kristoforus. "Visio Beatifica Kebahagiaan Tertinggi Menurut St. Thomas Aquinas", Dalam Edison R. L Tinambunan, Kristoforus Bala (Editor), Dimana Letak Kebahagiaan? Penderitaan, Harta, Paradoksnya (Tinjauan Filosofis Teologis) Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2014, Vol. 24, No. 23.

Pandor, Pius. "Paradoks Kebahagiaan Dalam Diskursus Filosofis". Dalam Edison R. L Tinambunan, Kristoforus Bala (Editor), Dimana Letak Kebahagiaan? Penderitaan, Harta, Paradoksnya (Tinjauan Filosofis Teologis) Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2014, Vol. 24, No. 23.

Poespoprodjo, W. Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Remadja Karya CV, 1998.

Riyanto, Armada. Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius, 2013 

_______. Aku & Liyan: Kata Filsafat dan Sayap. Malang: Widya Sasana Publication, 2011.

Saeng, Valentinus. Diktat Sejarah Filsafat Barat Yunani. Malang: STFT Widya Sasana, (Tanpa tahun terbit).

_______. "Arti Kebahagiaan Sebuah Tinjauan Filosofis", Dalam Edison R. L Tinambunan, Kristoforus Bala (Editor), Dimana Letak Kebahagiaan? Penderitaan, Harta, Paradoksnya (Tinjauan Filosofis Teologis) Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2014, Vol. 24, No. 23.

Sumber Internet:

Erdianto, Kristian. "Jadi Tersangka Korupsi TWP AD, Brigjen YAK Diduga Gunakan Rp 127,7 Miliar untuk Kepentingan Pribadi", Nasional.kompas.com. Diakses, Rabu, 15/12/2021, pukul 13:03 wib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun