Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Berhenti di Titik yang Cukup

8 Desember 2024   20:54 Diperbarui: 8 Desember 2024   21:48 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari terakhir, saya terusik oleh sebuah fenomena yang rasanya sudah sering sekali terjadi. Kasus terbaru ini melibatkan seorang ulama dan seorang penjual es teh. Dari apa yang saya baca dan lihat di media sosial, kasus ini bermula dari pernyataan ulama tersebut yang dianggap menyinggung penjual es teh. Tidak lama kemudian, dunia maya meledak. Potongan video bertebaran, komentar berdatangan, bahkan tak sedikit yang membuat parodi dari situasi tersebut.

Di satu sisi, saya melihat ada hal yang menyenangkan hati: sang penjual es teh akhirnya mendapatkan banyak rejeki dari berita viral ini. Dia mendapat bantuan modal, tawaran umroh gratis, bahkan donasi hingga ratusan juta rupiah. Sebuah keberkahan yang mungkin tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Tapi di sisi lain, hati saya terasa berat. Bukan karena saya membela ulama itu---sama sekali tidak. Saya hanya merasa sedih melihat bagaimana kita, sebagai masyarakat, begitu gemar memperpanjang konflik.

Saya sering bertanya-tanya, "Sampai kapan kita harus berhenti?" Ulama tersebut sudah mundur dari jabatannya. Penjual es teh pun sudah menerima banyak bantuan. Lalu, apa lagi yang kita cari? Namun, seperti pola yang sering saya lihat di banyak kasus sebelumnya, orang-orang tetap sibuk. Mereka menggali kesalahan lain, mencari potongan video lama, menyebarkan, mengomentari, bahkan membanggakan diri sebagai "pahlawan moral" karena merasa telah berkontribusi dalam menurunkan sang ulama.

Saya mencoba mengingat pengalaman pribadi ketika saya terjebak dalam perdebatan yang tak berujung di media sosial. Rasanya seperti masuk ke dalam lubang tanpa dasar. Awalnya saya merasa menang ketika argumen saya didukung banyak orang. Tapi semakin lama, energi yang saya keluarkan terasa sia-sia. Saya kehilangan fokus pada hal-hal yang sebenarnya lebih penting: pekerjaan, waktu bersama keluarga, atau bahkan sekadar menikmati secangkir teh di sore hari.

Fenomena ini adalah cerminan dari budaya "drama digital" yang semakin mengakar di masyarakat kita. Ketika ada satu isu viral, kita seperti tak bisa menahan diri untuk ikut berkomentar, berbagi, bahkan memperbesar masalah. Padahal, kalau dipikir-pikir, apa sebenarnya tujuan kita? Apakah kita benar-benar peduli pada solusi? Atau kita hanya menikmati sensasi menjadi bagian dari keramaian?

Saya tidak ingin menyalahkan siapa pun. Mungkin kita semua pernah terjebak dalam situasi ini. Tapi, mungkin juga sudah saatnya kita mulai belajar untuk berhenti di titik yang cukup. Berhenti memperbesar masalah, berhenti mencari-cari kesalahan, dan mulai memikirkan hal yang lebih besar: bagaimana kita bisa menggunakan energi kolektif ini untuk sesuatu yang benar-benar membawa kebaikan?

Fenomena Psikologis di Balik Kebiasaan Ini

Seiring dengan berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa di balik kebiasaan kita yang gemar memperpanjang konflik atau memperbincangkan masalah yang sudah selesai, ada fenomena psikologis yang mendalam. Saya tidak bisa menutup mata bahwa kita semua, tanpa terkecuali, memiliki kecenderungan untuk merasakan sesuatu---baik itu yang positif atau negatif---dari apa yang terjadi di dunia maya. Terkadang, kita mungkin tidak menyadari seberapa besar dampaknya pada mentalitas kita.

Salah satu hal yang paling terasa adalah social validation---kebutuhan untuk merasa benar atau superior di dalam grup sosial kita. Saya ingat ketika saya ikut berbicara dalam sebuah diskusi online tentang kasus ini, perasaan ingin mendapat dukungan dari teman-teman di media sosial terasa begitu kuat. Begitu banyak komentar yang sependapat dengan saya, saya merasa seolah-olah pendapat saya adalah yang paling benar. Semua orang sepakat dengan apa yang saya katakan. Tapi semakin saya memikirkan ini, saya sadar, apakah pendapat saya benar-benar objektif? Atau saya hanya mencari validasi dari orang lain yang memiliki pandangan serupa?

Inilah yang saya sebut sebagai ilusi rasa benar, yang lebih sering didorong oleh keinginan untuk merasa "terlibat" atau "terhubung" dengan orang lain. Dalam dunia maya, seolah-olah semakin banyak yang setuju dengan kita, semakin kita merasa unggul. Padahal, kenyataannya, kita tidak selalu tahu siapa yang benar-benar terdampak oleh isu yang kita perbesar itu.

Lalu, ada dopamin dari viralitas. Saya tidak bisa bohong, saya sendiri terkadang merasa seperti ada semacam "kecanduan" ketika melihat konten saya dibagikan dan mendapatkan banyak perhatian. Rasanya ada sensasi kepuasan instan ketika saya melihat video atau komentar saya viral---tiba-tiba semua orang membahasnya. Mungkin ini juga yang dirasakan oleh banyak orang yang ikut memperpanjang kontroversi. Mereka menikmati sensasi itu, menikmati momen di mana mereka merasa menjadi pusat perhatian. Semua itu datang dengan mudah, tanpa usaha yang benar-benar berarti, dan kita tak jarang terlena dengan perasaan itu. Namun, apakah kepuasan semacam itu membawa kebahagiaan jangka panjang? Tentu saja tidak.

Selanjutnya, saya menemukan bahwa fenomena ini juga diperburuk oleh confirmation bias---kecenderungan kita untuk mencari informasi yang hanya mendukung pandangan kita. Saya menyadari bahwa saya sering kali hanya memilih berita atau pendapat yang sejalan dengan apa yang saya percayai. Misalnya, ketika saya ingin melihat kasus ini dari sudut pandang yang mendukung pendapat saya, saya lebih memilih artikel atau video yang memperkuat sudut pandang saya dan mengabaikan yang bertentangan. Padahal, dengan terus-menerus mencari "kebenaran" yang hanya menguntungkan diri kita, kita tidak memberi ruang untuk perspektif yang lebih luas dan pemahaman yang lebih mendalam.

Yang lebih mengganggu adalah munculnya rasa schadenfreude---kepuasan yang muncul ketika kita melihat orang lain jatuh atau menderita, meskipun kita tidak memiliki hubungan pribadi dengan mereka. Saya tidak bisa menutup mata bahwa saya pernah merasa sedikit puas ketika melihat seseorang yang "bersalah" akhirnya mendapatkan ganjaran atau hukuman yang dianggap pantas. Dalam kasus ini, apakah kita merasa puas melihat ulama tersebut mundur dari jabatannya? Apakah kita merasa bahwa dia pantas mendapatkannya? Kadang, kita merasa seolah-olah kita menjadi hakim dalam kehidupan orang lain. Ini adalah bentuk kebanggaan palsu yang tak memberikan manfaat apa pun.

Saya merasa perlu untuk mengingatkan diri saya sendiri, dan mungkin juga bagi kita semua, bahwa kita perlu lebih waspada dengan kecenderungan-kecenderungan psikologis ini. Kita harus berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: Apa yang sebenarnya kita cari dalam semua ini? Apakah kita merasa puas karena merasa benar, atau kita sedang mencari kepuasan instan tanpa memikirkan konsekuensinya? Dalam banyak hal, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam lingkaran yang tak ada habisnya ini---di mana kita sibuk mencari pembenaran dan kepuasan, tetapi melupakan efek jangka panjangnya pada kesejahteraan kita dan orang lain.

Jika kita terus menerus terjebak dalam pola ini, kita akan semakin jauh dari solusi nyata, dan lebih dekat kepada perpecahan yang tak perlu.

Dampak Negatif yang Jarang Disadari

Saya pernah terjebak dalam suasana hati yang buruk setelah berlama-lama terlibat dalam perdebatan yang tak ada ujungnya di media sosial. Rasanya, semakin sering saya melihat komentar-komentar penuh kemarahan atau ejekan terhadap suatu pihak, semakin berat pula beban pikiran saya. Terkadang, saya bertanya-tanya, apakah perasaan ini benar-benar datang dari saya, atau apakah saya terkontaminasi oleh energi negatif yang ada di luar sana? Dan lebih jauh lagi, saya mulai menyadari bahwa kebiasaan kita untuk terus mencari-cari kesalahan pada orang lain ternyata dapat berdampak buruk pada mental kita. Ini yang saya sebut sebagai polusi mental.

Polusi mental ini berawal dari kebiasaan mencari-cari kesalahan orang lain. Tanpa kita sadari, setiap komentar yang kita baca, setiap video yang kita tonton, dan setiap potongan informasi yang kita sebarkan, mengisi kepala kita dengan pikiran-pikiran negatif. Kita menjadi terobsesi dengan "kebenaran" kita sendiri, sampai lupa bahwa fokus kita sebenarnya harus lebih besar dan lebih penting. Ketika kita sering terlibat dalam drama digital ini, kita semakin terbiasa dengan pikiran-pikiran yang toxic, yang bisa meracuni cara kita melihat dunia. Apalagi, efeknya tak hanya pada satu orang, tetapi juga bisa memengaruhi bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata.

Saya juga mulai merasa bahwa distraksi sosial yang terjadi akibat kebiasaan ini semakin mengalihkan perhatian kita dari isu-isu yang lebih besar dan mendesak. Coba bayangkan, berapa banyak perhatian kita yang terbuang untuk memperdebatkan sebuah isu yang sebenarnya sudah selesai, sementara ada masalah yang jauh lebih penting yang harus kita tangani bersama. Misalnya, bencana alam yang terjadi di Sukabumi atau di berbagai tempat lain yang sering kali mendapat perhatian sesaat lalu hilang begitu saja. Atau pendidikan yang semakin memprihatinkan, yang butuh perhatian kita lebih besar dari sekadar berbicara tentang kontroversi yang tidak berujung.

Saya sendiri merasa sangat terbagi. Di satu sisi, ada banyak topik yang ingin saya angkat dan bantu sebarkan, seperti tentang pentingnya perhatian terhadap bencana alam atau upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan. Namun, di sisi lain, saya terjebak dalam arus viral yang tidak ada habisnya. Apakah ini benar-benar membuat saya menjadi lebih baik sebagai individu atau masyarakat? Mungkin tidak. Ini hanya membuat kita semakin tenggelam dalam percakapan yang tak produktif, kehilangan fokus pada hal-hal yang benar-benar memerlukan perhatian kita.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah kerusakan hubungan sosial yang bisa timbul akibat kebiasaan ini. Saya merasa ada jurang yang semakin lebar antara satu pihak dengan pihak lainnya. Di dunia maya, kita dengan mudahnya menyebarkan kebencian dan menghakimi orang tanpa mengenal mereka secara pribadi. Padahal, kita tahu betul bahwa hubungan antar individu seharusnya dibangun atas dasar saling percaya dan saling pengertian. Tapi di media sosial, apakah itu yang terjadi? Justru sering kali kita merasa lebih mudah untuk menilai, mencaci, dan menghakimi tanpa melihat keseluruhan situasi.

Saya sendiri pernah merasakan bagaimana hubungan sosial saya sedikit demi sedikit terpengaruh oleh diskusi-diskusi yang tidak sehat ini. Dalam kehidupan nyata, saya menjadi lebih sulit untuk percaya pada pendapat orang lain yang berbeda dari saya. Saya merasa seperti ada benteng tak terlihat yang terbentuk antara saya dan mereka yang memiliki pandangan yang berbeda. Ini adalah efek samping dari kebiasaan kita untuk terus menerus memperbesar konflik dan membiarkan perbedaan pendapat menjadi jurang pemisah yang tak terjembatani.

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa dampak dari kebiasaan ini jauh lebih besar dari yang saya kira. Kita sering kali terjebak dalam kebisingan digital, tanpa menyadari bahwa kita sedang merusak kesehatan mental kita sendiri dan hubungan sosial kita dengan orang lain. Sementara, dunia ini masih penuh dengan masalah yang jauh lebih penting dan mendesak. Jangan sampai kita kehilangan kesempatan untuk memberi perhatian pada hal-hal yang benar-benar membutuhkan bantuan kita, hanya karena kita terlalu sibuk dengan hal-hal yang sebenarnya tidak akan membawa perubahan positif.

Belajar Berhenti di Titik yang Cukup

Seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa untuk keluar dari lingkaran setan drama digital ini, kita perlu melatih diri untuk berhenti di titik yang cukup. Salah satu cara yang sangat membantu saya adalah dengan mindfulness. Ini bukan hanya tentang meluangkan waktu untuk diri sendiri, tetapi lebih kepada kesadaran penuh dalam setiap momen. Ketika kita terbawa oleh emosi atau terpancing untuk memberikan respons berlebihan dalam perdebatan di media sosial, saya berusaha untuk berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri, "Apakah ini benar-benar perlu? Apakah saya hanya bereaksi karena emosi sesaat?"

Mindfulness mengajarkan kita untuk lebih sadar akan reaksi-reaksi otomatis kita, untuk merespon dengan lebih bijak dan penuh pertimbangan. Terkadang, apa yang kita anggap sebagai "pembelaan" terhadap suatu kebenaran, pada kenyataannya hanya memperburuk suasana. Saya pribadi merasa bahwa dengan berlatih mindfulness, kita dapat mengurangi impuls untuk ikut campur dalam segala hal yang sedang viral, dan lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting untuk diperjuangkan.

Selain itu, empati menjadi kunci penting dalam membantu kita berhenti di titik yang cukup. Ketika saya mulai melihat perdebatan-perdebatan panas di media sosial, saya mencoba untuk merenung sejenak dan mencoba melihat dari sisi lain. Apa yang terjadi pada pihak yang kita kritik atau cemooh? Apa yang mereka rasakan? Apakah mereka memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri atau bangkit dari situasi yang buruk? Terkadang, kita terlalu fokus pada perasaan kita sendiri---bahwa kita merasa benar dan ingin orang lain tahu itu---tanpa memberi ruang bagi orang lain untuk berkembang atau belajar dari kesalahan mereka.

Saya rasa ini juga berlaku bagi ulama yang saat ini banyak menjadi sorotan. Walaupun kita mungkin tidak setuju dengan apa yang mereka katakan atau lakukan, bukankah kita juga punya kesempatan untuk melihat sisi lain dari cerita mereka? Apakah mereka tidak berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua? Dengan melatih empati, kita tidak hanya membantu orang lain untuk bangkit dari kesalahan, tetapi juga memberi ruang bagi diri kita untuk lebih bijak dan lebih terbuka.

Keseimbangan emosi adalah hal yang tak kalah penting dalam proses ini. Saya sering merasa terjebak dalam kebencian yang berlarut-larut, dan sebaliknya, juga tenggelam dalam euforia ketika mendengar berita atau komentar yang mendukung pandangan saya. Kedua perasaan ini bisa sama-sama merusak. Kebencian membuat saya semakin terbawa oleh emosi negatif, sedangkan euforia bisa membuat saya merasa seolah-olah saya telah memenangkan sesuatu, padahal itu hanya ilusi dari kepuasan instan yang datang dari melihat orang lain "jatuh".

Saya belajar bahwa keseimbangan emosi adalah kunci untuk menjaga mental kita tetap sehat. Tidak perlu berlarut-larut dalam kebencian, karena itu hanya akan membuat kita semakin terjebak dalam energi negatif. Di sisi lain, euforia juga bisa membuat kita lupa pada apa yang lebih penting, yaitu tujuan besar kita untuk membawa perubahan positif. Dalam setiap perdebatan atau peristiwa yang viral, saya mencoba untuk tetap tenang, menjaga emosi, dan selalu ingat untuk bertindak dengan kesadaran penuh. Dengan demikian, saya dapat berhenti di titik yang cukup---tidak berlarut-larut dalam kontroversi yang tak berujung, tetapi tetap fokus pada hal-hal yang benar-benar bernilai.

Menggunakan wawasan psikologi seperti mindfulness, empati, dan keseimbangan emosi membantu kita untuk melangkah lebih bijak dalam menghadapi dunia digital yang penuh gejolak ini. Ketika kita mulai belajar berhenti di titik yang cukup, kita bukan hanya menjaga kesehatan mental kita sendiri, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan ruang sosial yang lebih sehat dan lebih penuh pengertian. Dunia ini penuh dengan masalah yang lebih besar dan lebih mendesak untuk diperbaiki, dan kita semua berperan untuk memberi perhatian pada hal-hal yang benar-benar penting.

Kewaspadaan yang Perlu Dipelajari

Saat kita melihat dunia maya yang semakin riuh dengan segala drama digital, hal pertama yang saya pikirkan adalah kesadaran akan polarisasi. Tidak semua yang viral pantas untuk diperpanjang. Saya pernah terpikir, apakah kita benar-benar perlu ikut terlibat dalam setiap masalah yang sedang ramai dibicarakan? Dalam situasi seperti ini, mudah sekali bagi kita untuk merasa terpaksa ikut campur dan mengambil posisi, apalagi ketika emosi kita sudah terbakar oleh opini yang beredar. Namun, saya belajar bahwa kita perlu lebih bijak dalam memilih hal-hal yang pantas kita bahas. Drama atau kontroversi yang sedang viral mungkin memikat perhatian kita, tetapi sering kali itu hanya memperburuk situasi tanpa membawa solusi apapun.

Filter informasi menjadi keterampilan penting yang harus kita pelajari. Tidak semua informasi yang viral itu relevan atau bermanfaat untuk dibahas lebih jauh. Saya menyadari, banyak kali kita merasa terpicu untuk berbicara atau berkomentar karena melihat banyak orang yang berbuat hal yang sama. Tapi, saat kita berhenti sejenak dan berpikir, kita akan tahu bahwa ada banyak informasi yang lebih penting dan mendesak untuk diperhatikan. Sebagai contoh, saya belajar untuk memilah mana isu yang benar-benar memerlukan perhatian lebih dan mana yang hanya membuat kita berputar-putar dalam kontroversi yang tak ada ujungnya. Melalui filter ini, kita dapat memilih untuk menginvestasikan waktu dan energi kita pada hal-hal yang lebih bermakna dan berdampak.

Terakhir, fokus pada hal produktif adalah sebuah pilihan yang harus kita buat. Kita bisa menggunakan energi kita untuk banyak hal, tapi apakah kita menggunakannya untuk sesuatu yang benar-benar memberikan manfaat? Saya sering merasa bahwa kita dapat lebih produktif jika lebih memfokuskan perhatian pada kasus-kasus yang mendesak, seperti bencana alam, ketidakadilan sosial, atau masalah-masalah besar lainnya yang memerlukan perhatian segera. Jika semua energi kita hanya tersalurkan pada perdebatan yang tiada habisnya, bagaimana kita bisa membantu memecahkan masalah yang lebih besar yang sebenarnya mempengaruhi kehidupan banyak orang?

"Viral" Menjadi Budaya "Solusi"

Saya percaya bahwa kita bisa mulai mengubah kebiasaan kita dengan menjadi agen perubahan yang lebih produktif. Alih-alih terjebak dalam drama digital yang tiada henti, kita bisa menjadi bagian dari solusi nyata yang memberikan dampak positif. Ini adalah saatnya kita menjadi masyarakat yang lebih bijak dan dewasa dalam menghadapi setiap peristiwa yang viral. Berhenti di titik yang cukup bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru tanda kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Dengan fokus pada hal-hal yang lebih penting, kita bisa bersama-sama menciptakan perubahan yang lebih baik.

Ayo, mari kita alihkan fokus kita dari kontroversi tanpa ujung dan mulai lebih peduli pada hal-hal yang membutuhkan perhatian kita. Kita memiliki potensi untuk lebih dari sekadar menjadi penonton drama digital. Kita bisa menjadi bagian dari solusi nyata yang membangun masyarakat dan dunia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun