Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Financial

Krisis di Ujung Tanduk: Kelas Menengah Perlu diperhatikan

20 September 2024   20:25 Diperbarui: 20 September 2024   20:41 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels/Lino Khim Medrina

Belakangan ini, kita semua pasti merasakan perubahan yang cepat di sekitar kita—baik itu dari segi kebijakan pemerintah maupun kondisi ekonomi yang tidak menentu. Salah satu yang cukup mengganggu adalah kemunculan kebijakan baru yang seolah tidak mempertimbangkan kelas menengah, kelompok yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi kita. Saya sering berpikir, bagaimana mungkin kita bisa mencapai visi "Indonesia Emas" jika kelas menengah—yang diprediksi akan menjadi kunci—dibiarkan terpuruk dalam kesulitan?

Bayangkan sejenak, kita adalah bagian dari kelas menengah, menghadapi stagnasi gaji, naiknya pajak, dan inflasi yang terus melambung. Rasanya seperti berjuang tanpa arah, bukan? Jika pemerintah terus mengabaikan peran dan kebutuhan kita, dampaknya bisa sangat serius. Kita mungkin tidak hanya melihat penurunan daya beli, tetapi juga peningkatan ketidakpuasan yang bisa berujung pada masalah sosial yang lebih besar di masa depan.

Potret Kelas Menengah Indonesia Saat Ini

Jika kita berbicara tentang kelas menengah, mungkin sebagian dari kita langsung terbayang kehidupan yang "cukup," dengan gaji stabil, rumah yang layak, dan tabungan untuk masa depan. Tapi kenyataannya, potret kelas menengah di Indonesia saat ini tidak seindah itu. Stagnasi gaji dan beban pajak yang semakin berat membuat banyak dari kita terjebak di zona yang tidak nyaman.

Bayangkan ini: gaji yang Anda terima hampir tidak naik dari tahun ke tahun, sementara harga kebutuhan sehari-hari terus melonjak. Saya pribadi merasa dampaknya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya kebutuhan pokok yang naik harganya, tetapi juga biaya pendidikan anak, biaya kesehatan, dan bahkan pajak yang seakan tidak ada habisnya. Rasanya semakin sulit menabung, apalagi berbicara soal investasi untuk masa depan. Jika kita merasakan ini, maka bukan tidak mungkin seluruh lapisan kelas menengah mengalami hal serupa.

Kelas menengah adalah kelompok yang paling terdampak inflasi, dan daya beli kita terus tergerus. Menurut saya, fenomena ini sudah berlangsung lama, tapi baru benar-benar terasa signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kenaikan harga bahan pokok dan kebutuhan lainnya semakin menyempitkan ruang gerak finansial. Kita tidak bisa lagi membeli barang-barang konsumtif seperti dulu, karena fokus utama sudah berpindah pada bertahan hidup di tengah kenaikan harga.

Apa yang lebih ironi lagi adalah fakta bahwa kelas menengah selama ini menjadi motor penggerak bagi sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Kita sering kali menjadi konsumen setia bagi produk-produk UMKM lokal, sekaligus berperan sebagai pelaku bisnis kecil-kecilan di sektor ini. Namun, meskipun kontribusi kita jelas terlihat, perhatian dari pemerintah sering kali terasa minim. Bantuan atau insentif yang diberikan lebih banyak difokuskan pada usaha besar atau kelompok masyarakat yang berada di garis kemiskinan. Kita yang berada di "tengah" ini, seolah terabaikan.

Dalam hati saya, saya merasa bahwa perhatian yang layak terhadap kelas menengah tidak hanya soal dukungan finansial. Ini tentang bagaimana pemerintah bisa menciptakan kebijakan yang memihak pada kita—bukan malah menambah beban dengan pajak yang lebih tinggi atau kurangnya akses terhadap pembiayaan yang terjangkau. Saatnya kita bicara, bahwa kelas menengah juga butuh perhatian.

Data dan Statistik Terkini

Untuk memperkuat gambaran tentang kondisi kelas menengah saat ini, mari kita lihat beberapa data terbaru. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan drastis dalam beberapa tahun terakhir. Dari 57,3 juta orang pada tahun 2019, angka ini turun menjadi 47,8 juta jiwa pada tahun 2024. Penurunan ini jelas bukan angka yang kecil, dan tentu saja mencerminkan berbagai tantangan yang dihadapi oleh kelas menengah. Saya merasa data ini hanya mengkonfirmasi apa yang kita rasakan setiap hari—bahwa semakin banyak dari kita yang jatuh ke dalam jurang ketidakpastian ekonomi.

Lebih menarik lagi, meskipun jumlah kelas menengah menurun, kontribusi kita terhadap perekonomian nasional tetap sangat besar. Data menunjukkan bahwa kelas menengah menyumbang sekitar 81,49% dari total konsumsi nasional. Artinya, meskipun kita mengalami banyak kesulitan, daya konsumsi kita masih menjadi pilar penting dalam menjaga perekonomian Indonesia tetap berjalan. Ini bukti nyata bahwa kelas menengah tidak bisa dianggap remeh.

Dari pengalaman saya pribadi, menjadi bagian dari kelas menengah memang sering kali terasa seperti berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita berusaha untuk terus maju dan berkontribusi dalam segala aspek, baik sebagai konsumen maupun pelaku bisnis. Di sisi lain, tekanan dari kondisi ekonomi yang tidak menentu sering kali membuat kita merasa tidak cukup mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah. Jika terus seperti ini, apakah kita masih bisa bertahan dalam jangka panjang? Saya merasa ini adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh para pembuat kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun