Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Mungkin Secara Matematis Mustahil

3 September 2024   06:00 Diperbarui: 3 September 2024   06:22 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan menyadari hal ini, kita bisa lebih kritis dalam melihat hasil pemilihan, dan memahami bahwa mungkin, secara matematis, sistem yang kita percayai ini sebenarnya tidak seadil yang kita bayangkan.

Masalah pada Sistem Pemilihan "First Past the Post"

Sekarang, kita akan membahas salah satu metode pemilihan yang paling banyak digunakan di dunia, yaitu "First Past the Post" (FPTP). Mungkin istilah ini terdengar teknis, tapi sebenarnya metode ini sangat sederhana dan mungkin Anda sudah sangat akrab dengannya, meskipun mungkin tidak menyadarinya.

First Past the Post adalah sistem di mana kandidat atau partai yang mendapatkan suara terbanyak menang, tanpa perlu mendapatkan mayoritas mutlak (lebih dari 50%). Jadi, jika ada lima kandidat dalam satu pemilihan dan satu kandidat mendapatkan 35% suara, sementara empat lainnya mendapatkan masing-masing 20%, 18%, 15%, dan 12%, kandidat dengan 35% suara ini akan menang, meskipun 65% pemilih tidak memilihnya. Itulah asal usul istilah "First Past the Post," yang berarti kandidat pertama yang mencapai garis finis (meskipun tidak dengan mayoritas suara) dianggap pemenang.

Sistem ini telah lama digunakan di berbagai negara, termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Tapi, seperti yang akan kita lihat, FPTP memiliki sejumlah kelemahan yang bisa berdampak besar pada hasil pemilu.

Mari kita lihat contoh dari Inggris. Di negara ini, FPTP digunakan dalam pemilihan anggota parlemen. Bayangkan ada sebuah distrik di mana ada tiga kandidat: satu dari Partai Konservatif, satu dari Partai Buruh, dan satu dari Partai Liberal Demokrat. Katakanlah, hasil pemilihannya adalah 40% untuk Partai Konservatif, 35% untuk Partai Buruh, dan 25% untuk Partai Liberal Demokrat. Berdasarkan aturan FPTP, kandidat dari Partai Konservatif akan memenangkan kursi di parlemen, meskipun mayoritas pemilih (60%) sebenarnya lebih memilih kandidat lain.

Situasi yang mirip juga terjadi di Amerika Serikat, terutama dalam pemilihan presiden. Meskipun AS menggunakan sistem Electoral College untuk pemilihan presiden, di tingkat negara bagian, pemilihan presiden sering kali didasarkan pada prinsip FPTP. Ini berarti bahwa kandidat yang mendapatkan suara terbanyak di sebuah negara bagian mendapatkan semua suara Electoral College negara bagian tersebut, terlepas dari seberapa tipis margin kemenangannya. Hasilnya, kandidat bisa memenangkan pemilu nasional meskipun mereka tidak mendapatkan suara mayoritas di tingkat nasional, seperti yang terjadi dalam pemilu presiden AS pada tahun 2000 dan 2016.

Salah satu masalah utama dengan FPTP adalah "efek spoiler." Bayangkan ada dua kandidat utama dalam pemilihan, A dan B, dengan pandangan yang sangat berbeda, dan ada kandidat ketiga, C, yang pandangannya lebih mirip dengan A. Dalam situasi ini, C mungkin tidak memiliki peluang nyata untuk menang, tetapi ia bisa mengambil sebagian suara dari A, menyebabkan B menang meskipun mayoritas pemilih lebih memilih A atau C. Inilah yang disebut efek spoiler, di mana kehadiran kandidat ketiga bisa mengubah hasil pemilu dengan cara yang tidak diinginkan oleh mayoritas pemilih.

Efek spoiler ini dapat menyebabkan hasil pemilu yang tidak merepresentasikan mayoritas suara, dan lebih buruk lagi, bisa menciptakan situasi di mana pemilih merasa harus memilih "yang kurang buruk" daripada kandidat yang benar-benar mereka dukung, hanya untuk mencegah kandidat yang paling tidak mereka sukai menang. Ini jelas bukan hasil yang ideal dalam sebuah demokrasi.

Meskipun FPTP memiliki kelebihan, seperti kemudahan dalam penerapan dan penghitungan, kelemahan-kelemahan ini menunjukkan bahwa sistem ini mungkin bukan yang terbaik untuk memastikan bahwa hasil pemilu benar-benar mencerminkan kehendak mayoritas. Jadi, ketika kita melihat hasil pemilu di negara-negara yang menggunakan FPTP, penting untuk diingat bahwa pemenangnya mungkin bukanlah pilihan mayoritas pemilih, melainkan hanya kandidat yang "pertama mencapai garis finis."

Alternatif Sistem Pemilihan: Instant Runoff Voting

Setelah membahas berbagai masalah yang muncul dari sistem First Past the Post (FPTP), mari kita beralih ke alternatif yang sering dianggap lebih adil dan representatif, yaitu Instant Runoff Voting (IRV) atau juga dikenal sebagai Ranked Choice Voting (RCV). Jika Anda pernah merasa frustasi karena harus memilih "yang kurang buruk" dalam pemilihan, sistem ini mungkin menarik perhatian Anda.

Instant Runoff Voting (IRV) bekerja dengan cara yang cukup berbeda dari FPTP. Alih-alih hanya memilih satu kandidat, pemilih dalam sistem IRV akan meranking kandidat berdasarkan preferensi mereka---misalnya, menandai kandidat pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Jika tidak ada kandidat yang mendapatkan mayoritas mutlak (lebih dari 50%) dari suara pertama, maka kandidat dengan suara paling sedikit dieliminasi. Suara mereka kemudian dipindahkan ke pilihan kedua dari para pemilih yang memilih kandidat yang dieliminasi tersebut. Proses ini berulang sampai salah satu kandidat mendapatkan mayoritas dan dinyatakan sebagai pemenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun