Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Mungkin Secara Matematis Mustahil

3 September 2024   06:00 Diperbarui: 3 September 2024   06:22 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demokrasi, bagi banyak dari kita, adalah sebuah konsep yang begitu akrab namun juga penuh dengan makna yang mendalam. Secara sederhana, demokrasi sering diartikan sebagai "pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat." Dalam sistem ini, suara setiap individu dianggap setara, memberikan setiap orang kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Ide dasarnya sangat idealis: setiap suara dihitung, setiap opini dihargai, dan hasil akhirnya mencerminkan keinginan mayoritas.

Namun, pernahkah Anda berpikir bahwa mungkin ada sesuatu yang cacat dalam proses ini? Bahwa di balik kesan kesetaraan ini, ada ketidaksempurnaan yang tersembunyi? Artikel ini tidak bertujuan untuk merendahkan nilai demokrasi atau meragukan moralitas manusia. Sebaliknya, kita akan mencoba mengurai sebuah masalah yang mungkin jarang kita pikirkan---ketidaksempurnaan sistem pemilihan yang kita anggap sebagai inti dari demokrasi itu sendiri.

Coba bayangkan, dalam sebuah pemilihan, Anda memberikan suara untuk kandidat atau partai yang paling Anda percayai. Anda yakin suara Anda, digabungkan dengan suara orang lain, akan menghasilkan hasil yang adil dan representatif. Tetapi apa yang jika saya katakan bahwa, menurut matematis, hasil akhir dari pemilihan ini mungkin tidak pernah benar-benar mencerminkan keinginan mayoritas?

Inilah inti dari diskusi kita: bahwa meskipun kita mungkin memiliki niat terbaik dalam mendesain sistem demokrasi, ada keterbatasan matematis yang menghalangi tercapainya keadilan yang sejati. Melalui artikel ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana ketidaksempurnaan ini dapat muncul, bahkan dalam sistem yang tampaknya paling adil sekalipun. Dan siapa tahu, mungkin pada akhirnya, kita akan melihat demokrasi dari perspektif yang sama sekali berbeda.

Metode Pemilihan dan Ketidakrasionalan

Sekarang, mari kita beralih ke bagaimana proses pemilihan yang kita kenal ini sebenarnya bekerja, dan kenapa metode yang kita anggap rasional ini, secara matematis, bisa terbukti sebaliknya. Jika Anda seperti saya, mungkin Anda juga pernah merasa bahwa demokrasi, dengan segala mekanismenya, seharusnya bisa menghasilkan keputusan yang paling adil. Tapi, kenyataannya, tidak selalu demikian.

Pada dasarnya, dalam sistem demokrasi, kita sering menggunakan metode pemilihan suara mayoritas. Anda memilih kandidat atau opsi yang paling Anda sukai, lalu suara tersebut dijumlahkan untuk menentukan pemenang. Sederhana, bukan? Tapi tunggu dulu, apa yang terjadi jika ada lebih dari dua pilihan, atau jika preferensi pemilih sangat beragam? Di sinilah masalah mulai muncul.

Bayangkan sebuah situasi di mana ada tiga kandidat yang bersaing dalam pemilihan. Kandidat A, B, dan C. Katakanlah 40% pemilih lebih menyukai Kandidat A, 35% mendukung Kandidat B, dan 25% lainnya mendukung Kandidat C. Jika kita menggunakan sistem suara mayoritas sederhana, maka Kandidat A akan menang, meskipun 60% pemilih lebih suka kandidat lain dibandingkan A. Apakah ini adil? Apakah ini benar-benar mencerminkan kehendak mayoritas?

Sekarang, mari kita tambahkan sedikit matematika ke dalam campuran ini. Ada sebuah konsep yang disebut "paradoks pemilihan" atau "paradoks Arrow," yang pertama kali diidentifikasi oleh seorang ekonom bernama Kenneth Arrow pada tahun 1950-an. Paradoks ini menunjukkan bahwa ketika ada lebih dari dua opsi, tidak ada sistem pemilihan yang bisa memenuhi semua kriteria keadilan yang masuk akal secara bersamaan. Ini bukan sekadar teori, tetapi sebuah kenyataan yang diakui dalam dunia akademis, sampai-sampai Kenneth Arrow dianugerahi Nobel Prize atas penemuan ini.

Inti dari paradoks ini adalah bahwa dalam banyak situasi, preferensi kelompok dapat menjadi tidak rasional, meskipun preferensi individu di dalam kelompok tersebut rasional. Misalnya, dalam contoh di atas, meskipun setiap pemilih memiliki preferensi yang jelas, hasil akhir dari pemilihan mungkin tidak mencerminkan keinginan mayoritas secara adil.

Lebih lanjut, paradoks ini menunjukkan bahwa dalam sistem pemilihan, kita bisa mendapatkan hasil yang berbeda jika kita mengubah urutan pemilihan atau jika kita menggunakan metode pemilihan yang berbeda, seperti sistem ranking atau sistem poin. Misalnya, jika kita meminta pemilih untuk meranking kandidat dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai, hasilnya bisa sangat berbeda dibandingkan dengan hanya memilih satu kandidat. Bahkan, hasilnya bisa sangat berbeda tergantung pada bagaimana suara tersebut dihitung.

Jadi, di sinilah letak ketidakrasionalannya: meskipun kita menganggap bahwa sistem pemilihan dirancang untuk mencerminkan keinginan mayoritas, secara matematis, tidak ada jaminan bahwa sistem tersebut akan selalu memberikan hasil yang adil atau rasional. Ini adalah salah satu alasan mengapa para ahli matematika dan ekonom terus-menerus mengeksplorasi dan mengembangkan metode pemilihan yang lebih baik, meskipun ketidaksempurnaan selalu ada di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun