Pernahkah kita membayangkan menjadi tua dengan kenangan pahit tentang kemacetan jalan, ketakutan akan terlambat ke kantor, dan tugas-tugas rutin yang seolah-olah menjadikan kita bagian dari sebuah mesin yang berjalan tanpa henti?
Kalimat yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma, "Menjadi Tua di Jakarta", seakan-akan menjadi cerminan dari kehidupan sehari-hari yang dialami oleh banyak dari kita yang berada di kelas menengah bawah di perkotaan. Kita mungkin merasa terjebak dalam siklus yang sama, hari demi hari, tanpa melihat adanya harapan untuk keluar dari rutinitas yang monoton tersebut.
Di tengah kehidupan yang penuh tantangan ini, pernyataan dari ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, menambahkan perspektif yang sangat penting.
Beliau mengingatkan kita semua tentang pentingnya pemerintah untuk memperhatikan kepentingan kelas menengah di Indonesia. Mengutip fenomena "Chilean Paradox", di mana kepentingan kelas menengah tidak difasilitasi, Chatib Basri menekankan bahwa kita harus berhati-hati agar situasi serupa tidak terjadi di negeri kita.
Kehidupan sehari-hari kelas menengah bawah di perkotaan seringkali penuh dengan perjuangan. Mulai dari bangun pagi-pagi buta untuk menghindari kemacetan, berdesakan di transportasi umum, hingga kembali ke rumah di malam hari hanya untuk bersiap mengulang rutinitas yang sama esok hari.
Di sisi lain, kita juga dihadapkan pada realitas ekonomi yang menuntut kita untuk terus bergerak, terlepas dari betapa melelahkannya rutinitas tersebut.
Chatib Basri, dalam pernyataannya, seakan membuka mata kita akan pentingnya sebuah perhatian khusus terhadap kelas menengah. Dia menyebutkan bahwa saat ini, banyak di antara kita, khususnya yang berada di kelas menengah ke bawah, mulai menggunakan tabungan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. Ini merupakan sinyal bahaya yang menunjukkan bahwa tanpa dukungan yang memadai, kelas menengah bisa jadi akan semakin terjepit.
Bukan hanya soal bantuan sosial atau uang tunai, yang seringkali lebih diutamakan untuk kelompok miskin, namun lebih kepada fasilitas umum yang baik, pendidikan berkualitas, dan sarana transportasi yang layak. Kita semua menginginkan sebuah kehidupan yang tidak hanya sekedar bertahan, tapi juga berkualitas, di mana kita bisa menikmati hasil kerja keras kita tanpa harus terus menerus khawatir tentang masa depan.
Pernyataan Chatib Basri dan kutipan dari Seno Gumira Ajidarma ini hendaknya menjadi pengingat bagi kita semua, terutama bagi pembuat kebijakan, bahwa kehidupan kelas menengah bawah di perkotaan bukan hanya sekedar angka dan statistik. Ini adalah tentang kehidupan nyata dari jutaan orang yang berusaha keras setiap hari untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Keterbatasan Pilihan dan Kapabilitas Kelas Menengah
Bayangkan kita berada di sebuah ruangan dengan banyak pintu, tapi hanya satu yang terbuka untuk kita. Inilah gambaran yang bisa kita gunakan untuk menggambarkan situasi yang dihadapi oleh kelas menengah kita sehari-hari. Amartya Sen, seorang ekonom terkemuka, mengajarkan kita tentang konsep "kebebasan untuk mencapai" yang terbatas. Apa artinya? Ini berarti bahwa meskipun kita memiliki banyak kemungkinan, realitas ekonomi dan sosial kita seringkali hanya memperbolehkan kita untuk mengejar sebagian kecil dari kemungkinan tersebut.